Media Indonesia, 09 May 2010
BAHASA menunjukkan bangsa. Bagaimana bila bahasa bisa punah? Akankah bangsa juga ikut punah? Beberapa tahun lalu dikabarkan ada beberapa bahasa daerah yang sudah punah. Pen\ ebabnya, tidak ada lagi yang menuturkan, mengajarkan, dan menyebarkannya.
Kini ada satu lagi daftar bahasa daerah yang terancam punah, yaitu bahasa Gayo. Padahal di Aceh, masyarakat Gayo merupakan etnik kedua terbesar di sana setelah etnik Aceh. Namun, bahasanya nyaris tertelan bahasa lain.Yusradi Usman al-Gayoni, seorang peneliti bahasa Gayo menerangkan kepada Media Indonesia, Rabu (5/5), bahwa bahasa Gayo kini jarang dituturkan, diajarkan, bahkan disebarkan masyarakat Gayo di berbagai daerah, termasuk di kampung halamannya sendiri.
Pusat kebudayaan Gayo ada di daerah Takengon dan sekitarnya. Namun, bahasa yang masuk rumpun Pro-to Melayu (Melayu tua) ini tidak bisa berkembang dan lestari sebagaimana bahasa Aceh atau bahasa Jawa.”Ada dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Internal itu lebih kepada masyarakat Gayo yang tidak menyi barkan, mengajarkan, dan menjadikan muatan lokal di kurikulum pendidikan,” terang Yusradi.
Adapun faktor eksternal karena adanya dominasi bahasa Indonesia, interaksi budaya dari luar, pendidikan, komunikasi, dan pengaruh media massa.Dia menambahkan dari kebijakan politik tidak adanya perencanaan bahasa dari pemerintah kabupaten di tanah Gayo. Bahkan sampai keluar negeri. Akibatnya kontak bahasa tidak terjadi.
Staf ahli DPD dari Aceh sekaligus dosen di STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah itu baru saja lulusS-2 dari Universitas Sumatra Utara dengan bidang ekolinguistik, yang mengambil subjek penelitian bahasa Gayo.Persoalan lain yang menyebabkan tidak berkembangnya bahasa Gayo, adanya pemaksaan penyeragaman budaya dari pusat ke daerah.”Masyarakat Gayo sudah memiliki kebudayaan dan pemerintahan sendiri. Ada raja, imam, kaum cerdik pandai, dan rakyat sebagai lembaga perwakilan.
Namun, karena adanya penyeragaman dari pusat ke daerah, lembaga-lembaga itu hanya sebagai simbol yang kaku,” jelasnya.Akibatnya, perlahan tapi pasti, budaya Gayo pun mulai terkikis dari akarnya karena tidak lagi didukung raja sampai lembaga rakyat.
Yusradi membayangkan jika penduduk Gayo yang jumlahnya mencapai 500 ribu, yang tersebar, baik di Aceh maupun di berbagai daerah, tidak lagi memakai bahasa ibunya, bagaimana dengan bahasa-bahasa lokal yang didukung etnik lebih kecil?”Ada dua pendekatan untuk menyelamatkan bahasa Gayo, yakni dengan membangkitkan lagi muatan lokal bahasa Gayo di sektor pendidikan, dan kepedulian masyarakat merawat warisan budaya ini,” tegas putra Gayo itu. (Nda/M-5)
http://bataviase.co.id/node/204320