Membiarkan Aceh Dalam Kepungan Bencana!

Provinsi paling ujung barat Sumatra ini sulit “bebas” dari amukan bencana. Setiap tahun bencana itu hadir. Paska tsunami 2006, bukan berarti bencana di sana mereda. Lihatlah data bencana 2018, Aceh masih menjadi sebuah negeri yang dikepung bencana.

Kerugianya terbilang besar, mencapai Rp 848,2 milyar. 46 nyawa melayang, 33 mengalami luka luka. Apakah bencana itu tidak bisa dinimalisir? Pemda Aceh dan pihak eksekutif, bila mau, sebenarnya dapat memperkecil bencana. Bukan sebaliknya menambah daftar bencana yang disengaja?

Apakah ada bencana yang disengaja? Kalau kita mau jujur menjawabnya, ada bencana yang “disengaja”. Ada persoalan yang urgen, yang seharus mendapat perhatian cepat dalam penangulanganya. Tetapi, dibiarkan untuk sementara  sehingga menimbulkan korban.

Contoh sederhana, ada jembatan penghubung yang putus, sementara bagi masyarakat jembatan itu sebagai urat nadinya. Masyarakat tidak ada pilihan,memperbaiki seadanya, karena sarana transportasi itu harus tetap dilintasi.

Saat menuangkan aspirasi, dewan membelah gunung membuka jalan, karena ada kompensasi di dalamnya. Dampak dari pembukaan jalan yang belum ada kajian Amdal, apakah bukan membuka peluang untuk menciptakan bencana?

Ketika musim penghujan, longsor di mana-mana. Bila sudah diketahui peluang bencana bakal terjadi, namun dibiarkan, bukankah itu menciptakan bencana? Apakah pemerintah Aceh sampai saat ini sudah memiliki data base tentang peluang bencana dan penyebab dari bencana? Kalau bencana sudah sunatullah, tentu tidak ada manusia yang mampu membendungnya.

Namun bagaimana kalau bencana itu hadir karena ulah manusia. Apakah Pemda Aceh memiliki data bencana yang disebabkan oleh manusia? Apakah Pemda Aceh dan pihak eksekutif tidak mampu memperkecil bencana yang terciipta oleh ulah manusia? Berapa persen dana aspirasi dewan yang dipergunakan untuk memperkecil bencana? Atau justru ada beberapa paket aspirasi dewan yang mengundang bencana?

Banyak juga asfirasi dewan yang memang dibutuhkan masyarakat. Namun apakah pihak eksekutif dalam mengajukan asfirasinya berbentuk fisik, ada melakukan kajian ilmiah dampak positif dan negatif dari sebuah aspirasi mereka. Adakah dokumen itu?

Dana aspirasi itu memang menggiurkan. Ada kompensasi di dalamnya. Maka tidaklah heran, dana asfirasi itu ada nilai keuntungan di dalamnya. Gunung dibelah dijadikan jalan, tanpa kajian lingkungan yang mendalam. Dampaknya longsor tidak terhindari dan menambah daftar bencana.

Lihatlah data musibah di tahun 2018. Menurut Ahmad dadek, kepala BPBA, pada tahun ini terjadi 294 bencana di Aceh, dengan kerugian mencapai Rp. 848, 2 Miliar. Bencana itu telah berdampak pada 110.624 Jiwa yang berasal dari 30.763 Kepala Keluarga. Bencana di Aceh ini, menyebabkan 10.754 KK /36.696 jiwa mengungsi dan 46 orang meninggal dunia, serta 33 orang mengalami luka-luka.

Bencana-bencana itu menurut H. T. Ahmad Dadek, dalam keterangan Persnya, berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hingga puting beliung. Bencana ditahun 2018 meningkat 64 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 jumlah musibah bencana hanya 185.

Bencana pada 2018 berupa kebakaran pemukiman 143 kali. Puting beliung 93 kali, banjir genangan 90 kali dan kebakaran hutan, serta lahan mencapai 44 kejadian. Wilayah yang paling banyak mengalami bencana, Aceh Besar, disusul Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Jaya, Bireuen dan Aceh Tenggara.

Untuk kebakaran pemukiman warga Aceh Besar berada diurutan pertama dengan 18 kali musibah. Aceh Tenggara 7 kali dan Aceh Barat 6 kali kejadian. Untuk kebakaran hutan juga didominasi Aceh Besar, disusul Aceh Tengah dan Aceh Barat. Untuk banjir genangan paling banyak terjadi di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Bireuen, Aceh Jaya dan Aceh Barat.

Pada tahun ini juga terjadi banjir bandang yang melanda Aceh Tenggara, dengan 4 kali musibah, dan teranyar pada 31 Desember 2018. Bencana tanah longsor terjadi di Aceh Tengah sebanyak 9 kali, dan Aceh Barat 4 kali.

Sementara itu, puting beliung dikatakan paling banyak terjadi di Kota Sabang dan Aceh Besar, dan terakhir abrasi paling banyak terjadi di Aceh Barat Daya. Dari data bencana 2018 ini, apakah Pemda Aceh memiliki data pemetaan?

Mana musibah yang terjadi karena ulah tangan manusia, yang seharusnya dapat dihindari atau diminimalisir. Mana musibah yang karena Sunnatullah? Pemetaan itu akan memudahkan semua pihak, khususnya legeslatif dalam membuat perencanaan ke depan. Langkah apa yang harus mereka ambil, untuk menyederhanakan bencana karena ulah manusia.

Namun bila data base itu tidak ada, sama dengan membuka peluang terciptanya bencana. Apakah bencana yang terjadi di Aceh semuanya Sunnatullah, kehendak yang maha kuasa? Berapa banyak musibah yang terjadi akibat ulah tangan manusia? Berapa pula musibah yang terjadi akibat membiarkan peluang bencana yang ahirnya berbuah prahara.

Sudah saatnya Eksekutif dan legeslatif membahas secara khusus tentang bencana Aceh, apa upaya untuk menangkal bencana, sebelum musibah itu menjadi petaka. Sudah saatnya pemerintah Aceh memiliki data base tentang bencana, peluang bencana dan apa upaya yang mampu dilakukan untuk meminimalisir bencana.

Kalau bukan kita yang ingin menyelamatkan Aceh, siapa lagi yang diharapkan mau menyelamatkanya. Ataukah ditunggu bencana itu terjadi (akibat ulah manusia), baru kita disibukan untuk mengatasi dan memperbaiknya?  (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com) 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.