Oleh : Dr. Joni MN. M.Pd.B.I
A. Fenomena
Seiring dengan perkembangan tekhnologi saat ini, seperti dalam ruang tekhnologi komunikasi seiring itu juga pesatnya beredar berita-berita hoak, kebncian, beredarnya gambar-gambar asusila dan konten-konten negatif lainnya.
Pada media-media elektronik lainnya sering disuguhkan tayangan-tayangan program yang memicu perasaan pemirsa dan tayangan yang dapat menggiring mereka untuk membenci salah seorang atau satu kelompok/ pihak.
Dalam program interaktif, dialog, dan debat sering dipertontonkan hal-hal yang seharusnya tidak sewajar atau tidak selayaknya menjadi konsumsi masyarakat umum dan alar rumput, karena program dan tayangan tersebut.
Jika diamati ke masyarakat akar rumput, hal ini dapat memengaruhi cara bersikap mereka dan cara berpikir mereka, artinya hal semacam itu dapat membangun keperibadian skeptis dan menanam bibit-bibit kebencian kepada orang lain atau kelompok lain dalam diri mereka.
Yang jelas semua bentuk tayangan yang mempertontonkan pemicu kebencian dan secara terang-terangan salung membuka aib seseorang atau kelompok, berita fitnah, yang merusak marwah orang, mengadu domba, provokasi dan lainnya ini semua sumber menumbuh-kembangkan bibit-bibit konplik dan perusakan norma-norma agama, serta tatanan adat kemudian mencemari nilai-nilai luhur budaya yang ada di masing-masing suku di Nusantara ini.
Jika ditilik asas-asas bernegara, pendidikan, dan bahkan konsep-konsep hidup yang ada dalam kitap suci, dan nilai-nilai indejiniusitas dari beragam suku di Nusantara ini, tidak satupun yang membenarkan ketidak layakan menjadi layak, ketidak baikan menjadi baik, melegalkan untuk mengkonsumsi kebencian , dan tidak satupun keyakinan serta ajaran juga konsep pendidikan pun yang menyuruh, mengajarkan anggota masyarakatnya untuk saling bertikai juga saling membenci, saling menjatuhkan.
Dan yang sangat mwncengangkan kami masyarakat bawah yakni, orang yang demikian ini kebanyakan intelek, memiliki jabatan, dan bahkan berpendidikan tinggi (bergelar). Yang menjadi pertanyaan dalam benak kami saat ini, yakni sebagai masyarakat bawah ialah apakah pendidikan tidak dapat mengutamakan sisi kognitif peserta didik saja, tampa menyentuh sisi spiritualitas dan jiwa peserta didiknya yang kemudian berdampak terhadap perubahan tabi’at buruknya seseorang, apa yang salah dalam pendidikan kita sehingga manusia-manusia yang sudah terdidik banyak menjadi oknum pemicu / sebagai otak kerusakan dan menumbuh kembangkan penyakit sosial lainnya.
B. Tujuan Pendidikan
John Dewey seorang ahli filsafat pendidikan Amerika pragmatisme dan dinamis, pendidikan diartikan sebagai “Proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.
Dari penjelasan pakar tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan berfungsi untuk membantu pertumbuhan bathin indevidu tanpa dibatasi oleh usia, pendidikan juga yang membentuk indevidu tersebut menjadi cakap. Kecakapan yang dimaksud Dewey yaitu, kepandaian dan keahlian melakukakan sesuatu, diimbangi dwngan budi pekerti yang baik pula.
Sudah tentu urusan bathin sangat dekat dengan budi pekerti, dalam hal ini tidak mengenal usia, yang penting diperhatikan pertumbuhan bathin tersebut jangan tergerus kesuciannya hanya karena kepentingan sesaat, yakni karena nafsu serakah dan kemurkaan belaka.
Menurut pendapat M.Arifin (1991) menyatakan bahwa Hakekat pendidikan Islam adalah “usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Cukup jelas bahwa pendidikan menurut konsep Islam ini adalah agar manusianya memiliki akhlaq mulia secara maksimal.
Kemudian jika ditilik pendapat Tilaar, H.A.R, (1995) beliau mendeklarasikan bahwa Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
C. Pembahasan
Betapa pentingya pendidikan itu dan betapa mulianya indevidu-indevidu yang terdidik. Jika ditilik dari pembahasan dan penjelasan-penjelasan oleh para pakar di atas bahwa kemuliaan manusia yang terdidik itu terletak pada akhlaq mulia, yaitu indevidu-indevidu tersebut sudah memiliki kecakapan untuk memuliakan manusia sebagaimana sebenarnya manusia dan inilah yang masuk ke dalam kategori indevidu yang berakhlaq mulia, yaitu indevidu yang sudah memiliki budi pekerti yang sudah sampai titik maksimalnya.
Pendidikan merupakan wadah untuk proses pembentukan kecakapan yang fundamental, seperti yang diungkap oleh Dewey secara intelektual dan emosional, ke arah alam sesama manusia.
Dalam hal ini Dewey mengutamakan “intelektual”, menurut kami sah-sah saja, karena itu adalah pandangan beliau. Jadi menurut pandangan kami unsur yang bernilai kecapannya atau “high superior” , yakni yang paling utama untuk harus terdidik lebih dahulu Ialah Emosional – Spiritual (ES) yang mencakup; perasaan, suasana hati, jiwa dan semangat, unsur-unsur inilah yang membentuk tabi’at para indevidu itu. Kemudian pada tahapan “superior” atau pengutamaan yang mengarah pada intelektual. menjadi baik.
Jika pendekatan “ES” didahulukan, maka prodaknya tidak merusak baik hubungan sosial masyarakat dan pasti selalu menjaga keseimbangan alam serta lingkungan sekitarnya. Karena apa? Kecapan hidup indevidu tersebut sudah berawal atau berdasarkan kecapan “ES” (Emotion- Spritual).
D. Simpulan
Pendidikan yang benar pendidikan yaitu yang mampu membangun budi pekerti di dalam jiwa indevidu peserta didiknya. Kemudian indevidu yang sudah terdidik mereka sudah melembagakan kepada diri, yakni jiwa dan pwrasaannya masing-masing bagaimana memperlakukan manusia lain sebagai manusia yang sebenarnya manusia yang didukung dengan perilaku serta tabi’at yang berbudi perkerti dan bernilai akhlaq mulia.
Jadi, jika hal-hal fundamental tersebut tidak tampak di dalam diri indevidu yang notabenenya sudah terdidik, dapat simpylkan berdasarkan pendapar para pakar-pakar di atas bahwa indevidu tersebut sentuhannya tidak pada potensi suasana hati, perasaan, jiwa, dan semangatnya dengan maksimal, tetapi hanya lebih memperhatikan potensi intelektualnya saja.
Jadi, apabila potensi spritual, emosional, jiwa, dan suasana hati luput dari kepedulian, maka dapat berakibat, kepada perusakan dalam segala aspek kehidupan, akibat semuanta sudah diakal-akali, tidak lagi memikirkan perasaan dan hati indevidu serta tidak lagi berpikir nanti kedepannya bagaimana.
Jadi seolah-oleh dunia ini sudah menjadi segala-galanya, hidupnya akan kekal di dunia ini, yang jelas tabi’atnya sudah mengarah kepada ego dan akal-mengakali, sehingga bukan budi pekerti lagi diprioritaskan dalam pendidikan tersebut, tetapi kompetitif negatif. pengkategorisasian (bodoh dengan yang bodoh; pandai dengan yang pandai).
Jika hal ini tetap bertahan dalam dunia pendidikan maka rasa saling merasa antar satu dengan lainya tidak akan pernah ada lagi, kapan si bodoh merasakan pinter dan kapan si punter itu merasakan bodoh.
Selanjutnya nilai-nilai toleransi akan jauh dari indevidu, yang ada hanya menebar fitnah, menjatuhkan prestise indevidu lain dan menjadi motor kebencian dengan cara seolah-olah terdidik. Beginilah yang dapat disebut dengan indevidu berpendidikan dengan tidak terdidik, sehingga tidak rusak budi pekerti dan tidak ada eksistensi tabi’at yang jelek dalam diri indevidu.
Kemudian, terbangunlah akhlaq-akhlaq yang tidak mulia di diri indevidu tersebut akibat spiritual, jiwa, dan suasana hati terlepas dari sentuhan proses pendidikan. Seharusnya individu yang terdidik dapat membangun akhlaq mulia, yakni menciptakan suasana yang nyaman, damai dan harmunis bukan membangun kegaduhan, dendam dan perpecahan karena sudah merupakan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Penulis : Dosen Alwashliyah Takengon dan Ka. Bidang Penelitian & Pendidikan MAG (Majelis Adat) Aceh Tengah.