Selepas pukul 07.00 WIB, Kamis (30/6), menggunakan mobil Toyota Inova carteran yang dikemudikan Pak Hafiz (35), aku dan 4 teman dari Aceh mulai keluar dari pusat kota Surabaya, merayap pelan diantara kemacetan. Tanpa sengaja aku melihat sejumlah batang pisang dengan tandan buah yang masih utuh disandarkan di dinding kios. Aku berpikir, barangkali model penjualan pisang di Surabaya seperti itu? Aku coba bertanya kepada Pak Hafiz tentang pisang itu. Menurutnya, batang pisang utuh itu dibeli oleh mereka yang sedang ada hajatan perkawinan. Menarik! Nampaknya konsep pemasaran pisang seperti ini perlu diinformasikan kepada para petani pisang di Aceh, hitung-hitung untuk mendongkrak nilai jual.
Menit demi menit, roda mobil berputar begitu cepat. Tanpa terasa, diantara areal persawahan dan hamparan tanaman tebu, kami sudah memasuki wilayah Mojokerto. Mulutpun mulai terasa asam, malah beberapa teman mulai menunjukkan tanda-tanda mual. Timbul keinginan untuk menghirup secangkir kopi dan sepiring cemilan khas Mojokerto. Menjelang sebuah SPBU, Pak Hafiz membelokkan mobil Inova warna silver itu ke sebuah restoran. Restorannya apik, tetapi nama restoran ini lupa kami catat. Didalamnya masih sepi, hanya beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi.
Semua teman dari Aceh memesan secangkir kopi tubruk, termasuk aku. Soalnya, sudah hampir 4 hari di Jawa Timur belum pernah bisa menikmati kopi arabika beraroma khas. Berharap, di restoran itu bisa menemukan kopi yang bisa membuat tubuh makin segar, dan mata makin jinger. Uppss..begitu cangkir didekatkan ke bibir, ternyata aroma jagung yang menonjol. “Kalau sudah sering minum kopi arabika gayo, yang lain pasti kehilangan rasa,” kata teman-teman.
Selesai menikmati kopi Mojokerto, kami melanjutkan perjalanan melewati daerah eks pusat Kerajaan Mojopahit itu. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya areal persawahan. Wajar jika Jawa Timur menjadi salah satu daerah lumbung pangan di Indonesia. Pak Hafiz yang begitu tenang menyetir mengatakan perjalanan ke Nganjuk masih cukup lama, sekitar 2 jam lagi. Bagi kami, waktu 2 jam itu cukup singkat bila dibandingkan perjalanan dari Takengon Aceh Tengah menuju ke Polonia International Airport di Medan yang butuh waktu 10 jam.
Mobil hanya bisa melaju dengan kecepatan 60 km/jam karena jalanan begitu padat. Satu persatu permukiman, desa, dan kota terlewati, tak terkecuali Kota Jombang. Saat berada di Kota Jombang, teringat kepada almarhum Gus Dur, Presiden R.I. di era reformasi. Bercerita tentang joke-joke Gus Dur yang tak terlupakan. Semua teman ingin melihat lokasi Pesantren Tebuireng yang terkenal itu. Yahh…menurut Pak Hafiz, lokasi pesantrennya bukan dipinggir jalan, tetapi harus masuk beberapa kilometer lagi kedalam. Akhirnya perjalananan pun terus dilanjutkan ke arah Nganjuk, dan sekitar pukul 11.30 WIB, kami tiba di Sentra Pengembangan Agribisnis (SPA) Nganjuk, sekitar 6 Km diluar Kota Nganjuk.
Sebenarnya, tujuan ke Kabupaten Nganjuk Jawa Timur adalah untuk sebuah studi banding tentang Sistem Resi Gudang yang sudah berjalan di sana. Setelah melakukan peninjauan dan diskusi yang cukup lama dengan pengelola Sistem Resi Gudang di SPA Nganjuk, eh..kami ditawarkan makan siang khas Nganjuk. Wow….semua mengangguk, setuju. Tambah penasaran dan makin ngiler karena disebut-sebut khas Nganjuk. Disebutkan lagi bahwa belum sah berkunjung ke Nganjuk sebelum makan di tempat itu. Penuh misteri!
Memasuki pusat Kota Nganjuk, mengingatkan kami kepada Kota Takengon yang nuansa pertaniannya begitu menonjol. Seperti pulang kampung, kata teman-teman. Tidak lama kemudian, mobil Toyota Inova yang dikemudikan Pak Hafiz belok kiri dan berhenti di sebuah jalan sempit mengikuti mobil pengelola Sistem Resi Gudang yang menawarkan kami makan siang. Disebelah kiri mobil, berjejer kios-kios kecil yang bernuansa tahun 1970-an. Para pengelola Sistem Resi Gudang Nganjuk masuk ke salah satu pintu kios berwarna hijau muda, dipapan namanya tertulis “NASI BECEK & SATE KAMBING MAKANAN KHAS NGANJUK.”
Begitu kaget membaca papan nama itu, masuk atau tidak (wajah teman-teman menunjukkan kebimbangan). Aku yakin, semua jadi ragu manakala membaca kata becek. Itu pasti! Sebab, konotasi becek menggambarkan sebuah kubangan yang menjijikkan. Becek dalam pengertian bahasa Indonesia adalah berlumpur, seperti jalan tanah yang berair atau kumpulan air limbah. Namun pribahasa mengatakan: sekali layar terkembang, berpantang surut ke tepian. Jelasnya, tiada kata mundur. Akhirnya semua menguatkan hati, masuk ke dalam warung nasi becek dan mencari tempat duduk masing-masing.
Seorang wanita paruh baya duduk di depan sebuah dapur pikulan, mengisi nasi, kubis cincang dan toge kedalam cawan kemudian menuangkan semacam kuah soto warna kuning yang berisi daging dan jeroan. Selanjutnya daging dari dua tusuk sate ditambahkan kedalam cawan itu. Adonan itu menebarkan bau harum, seperti aroma Soto Medan. Aroma yang mengundang selera ditengah perut yang cukup lapar. Aku menyimpulkan dalam hati, akibat kuah soto yang dicampur dalam nasi terkesan seperti becek dan berair sehingga disebut “nasi becek.”
Begitu sendok pertama menyentuh lidah, wow maknyusss, ternyata seperti makan Soto Medan. Bedanya, jika Soto Medan antara kuah gulai dipisahkan dengan nasi, sehingga tidak terlihat “becek.” Pastinya, konotasi “becek” yang sering diartikan sebagai dampak air kubangan (limen) berubah menjadi selera yang bikin tambah ngiler. Akhirnya, cawan yang satu berganti dengan cawan yang lain, sampai semua yang tersaji di atas meja ludes semuanya. Kesimpulan, nama tidak selalu menggambarkan bendanya, “Nasi Becek” hanyalah sebuah nama, yang jelas menunya cukup enak….bravo Nganjuk!
*Pemerhati sosial budaya, warga Takengon