Sengsara Membawa Nikmat
Oleh: Winni Yusra*
Lintasgayo.com – Kabar mengejutkan dan sekaligus mengkhawatirkan muncul pada senin, 02 Maret 2020. Dimana saat itu presiden Joko Widodo mengumumkan adanya pasien yang positif Covid-19 terhadap dua orang pasien, kasus pertama yaitu perempuan yang berusia 31 tahun dan seorang lagi kasus kedua menimpa ibunya yang berusia 64 tahun. Menurut Presiden Joko Widodo, virus itu di dapat dari warga Negara Jepang yang melakukan perjalanan di Indonesia.
Seiring dengan betambahnya waktu, dan semakin banyaknya warga Negara Indonesia yang terpapar Virus 19, akhirnya presiden Joko Widodo menetapkan virus corona sebagai Bencana Nasional, tercantum dalam keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nasional Non Alam penyebaran Covid 19.
Tak tanggung-tanggung pemerintah pusat menyiapkan biaya hampir 405,1 triliun untuk atasi covid 19 yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Ada 7 jenis bantuan Pemerintah selama pandemi covid 19 antara lain : (1) bantuan Sembako. (2) bantuan Sosial Tunai, (3) BLT dana Desa, (4) listrik gratis,(5) kartu prakerja, (6) subsidi gaji karyawan, (7) BLT Usaha mikro kecil, dimana kuncuran dana tersebut tentu sangat bermanfaat (suatu kenikmatan) bagi warga yang memang sangat membutuhkannya walaupun dia sendiri tidak pernah mengalami langsung bangaimana terjangkit virus corona.
Untuk itu tidak berlebihan jika kami syarankan pada kalian semua wahai manusia yang telah mendapatkan bantuan akibat pandemi walaupun tidak pernah merasakan langsung pnderitaan terkena covid 19 kepada orang-orang yang sudah merasakan sendiri terkena covid 19. Bahkan sampai kehilangan nyawanya sekaliaan, karena gara-gara merelakan kamu mendapat akhirnya kenikmatan. Disisi lain yang menjadi pertanyaan saya sebagai orang awam apakah ada pemerintah mengalokasikan dananya untuk membantu pasien khususnya orang tanpa gejala yang melakukan isolasi mandiri dirumah ?. Wallahua’lam hanya Allah yang tau.
Sebagai warga yang pernah mengalami cobaan dari Allah SWT terpapar covid 19, ini suatu musibah tentunya membawa kesengsaraan lahir maupun batin, bangaimana tidak kalaulah sekiranya yang terjadi itu bencana alam, semua masyarakat berempati (perduli) dan membantu secara maksimal, berbeda perlakuan warga yang jika terpapar covid 19, semua warga menjauh tidak ada yang berani mendekat.
Tapi kami pernah membaca Lintas Gayo dimana warga Bom bahu membahu membantu keluarga yang terpapar covid 19, kami bangga, iri pada mereka, yang mana masyarakatnya memang sudah berpegang teguh pada ajaran Islam yang Rahmatan Lil’alamin, yang bukan hanya mementingkan “Hablum Minallah” tetapi juga “Hamlum Ninannas” bukankah ajaran Islam menganjurkan seperti itu ?
Berbanding terbalik 100 derjat dengan apa yang kami rasakan selama isolasi mandiri dirumah selama 14 hari yang merasakan kesunyian ditengah keramaian, rasanya seperti berada di pedalaman hutan belantara dan jangan pernah bermimpi mendapat perhatian/batuan dari desa, pada hal bagi keluarga yang terpapar covid 19 itu bukan merupakan sebuah Aib, karena kita sendiri tidak pernah menghendaki agar terpapar covid 19, tapi dengan ada sport dari warga sekitanya mungkin bisa sebagai penawar duka bagi kami, sehingga tidak down, tapi akan menambah semangat karena itu penting , bukankah dengan semangat yang tinggi akan melahirkan imunitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan stress, tentu selain makanan yang asup bergizi dan yang banyak mengandung vitamin tentunya.
Suatu ketika pernah kami konfirmasi ke aparat kampung desa kami, apa jawaban mereka, mereka engak berani berbuat apa-apa karena keluarga kami tidak memiliki bukti berupa surat yang menyatakan bahwa ada keluarga kami yang dinyatakan positif covid 19 dari rumah sakit, bagaimana mungkin kami menerima surat itu, sedangkan kami hanya mendapat berita via telpon sekitar jam 23.30 Wib tanpa memberikan bukti data yang tertulis.
Memang kami selama ini tidak mempersoalkan masalah bukti yang tertulis karena kami beranggapan surat itu tidak ada gunanya ternyata mungkin kami salah, kenapa selama ini kami tidak berupaya untuk mendapatkan surat itu pada pihak yang berwenang, dan apakah desa yang lain juga mempersoalkan surat yang sama seperti kami disini.
Sungguh malang nasip kami ibarat pepatah “Sudah jatuh tertimpa tangga sudah Korban covid 19 menjadi Terdakwa lagi”. Seakan akan kami melanggar pasal Kelalaian karena tidak melapor dengan membawa bukti surat keterangan terpapar covid 19 ke kantor kepala kampung di tempat kami tinggal.
Dari pengalaman itu kami menyarankan khususnya pada ketua gugus Kabupaten hendaknya apabila menerima informasi bahwa seseorang dinyatakan positif covid 19 alangkah baik surat bukti positif covid 19 itu tembusan hasilnya diserahkan kepada keluarga yang bersangkutan mungkin surat itu akan bermanfaat didesa seperti di kampung kami Paya Tumpi yang beranggapan kehadiran surat itu sebagai prasyarat untuk membuka kran bantuan, sehingga pengalaman kami ini tidak terulang keanggota keluarga yang lain jika ada terpapar lainnya.
Selanjutnya setelah selesai masa isolasi mandiri dirumah ini juga tim gugus harus memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa kalau ada pasien yang terkonfirmasi positif tanpa gejala, yang melakukan isolasi mandiri dirumah selama 14 hari, dan selama 14 hari tersebut tidak mengalami masalah kesehatan yang berarti, maka besar kemungkinan mereka sudah terbebas dari covid 19, dan pada akhirnya bisa kembali ke masyarakat, tanpa harus di swab ulang.
Akhir kata marilah kita berdo’a kepada Allah SWT mudah-mudahan wabah covid 19 ini dapat berahir sehingga kita semua bisa kembali bersiraturrahmi dengan aman tanpa dihantui berprasangka yang buruk terhadap saudara-saudara kita yang lainnya . Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Paya Tumpi, 01 oktober 2020
*Penulis Adalah Warga Paya Tumpi Pekerjaan PNS
*Catatan Redaksi:
Judul tulisan ini telah dilakukan perubahan, dengan menambah kata “Seorang”, Minggu 4/10/2020.
Comments are closed.