Oleh Sabela Gayo
Secara epistemologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Bureau, yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Ketika pertama kali masyarakat mendengar kata birokrasi yang terbayang dibenaknya adalah prosedur yang berhubungan dengan surat-menyurat, pengisian formulir-formulir dan aturan-aturan hukum yang ketat yang megharuskan seseorang mematuhi sekat-sekat formalitas yang diatur oleh pejabat administrasi publik. Citra yang kurang baik tentang birokrasi perlu segera didudukkan kembali pada pengertian yang sebenarnya.
Birokrasi sebenarnya bertujuan sebagai sarana bagi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik terbaiknya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Yang perlu dicermati disini adalah penyelenggaraan birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dalam rangka memberikan pelayanan publik bukan berpijak dari sudut pandang pemerintah yang berkuasa atau dengan kata lain bukan berdasarkan kemauan pemerintah melainkan berpijak dari sudut pandang masyarakat dan berdasarkan aspirasi dan kehendak masyarakat. Poin penting ini sesungguhnya yang harus benar-benar diperhatikan oleh para pejabat publik dalam menyelenggarakan tugas-tugas pelayanannya.
Pelayanan publik yang baik adalah pelayanan yang mengacu kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya maka pemerintah sebagai perpanjangan tangan negara haruslah menyediakan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin perlindungan hukum tersebut. Selain pelayanan publik yang baik yang harus diberikan oleh badan-badan atau lembaga-lembaga pemerintahan, warga negara yang bersamaan kedudukannya sebagai konsumen suatu barang atau jasa juga dilindungi hak-haknya oleh negara.
Prosedur birokrasi yang lambat dan berbelit-belit dapat menimbulkan peluang korupsi di dalam suatu instansi pemerintahan. Reformasi birokrasi diperlukan dalam rangka memangkas prosedur birokrasi yang tidak strategis, merampingkan struktur organisasi, memperkuat sistem pembinaan dan pengawasan internal maupun ekternal, memberikan akses yang luas bagi masyarakat melakukan pengawasan dan menetapkan jangka waktu bagi pengurusan suatu perizinan tertentu. Secara umum, akar dari persoalan korupsi dalam pemerintahan dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek yaitu;
1. Struktur atau sistem administrasi pemerintahan;
2. Sistem hukum, dan
3. Moralitas aparat.
Akses masyarakat miskin terhadap dunia peradilan yang berada dibawah lingkungan Mahkamah Agung seolah-olah menjadi semakin sulit dan rumit dengan berbagai macam peraturan-peraturan yang ada didalam lingkungan Mahkamah Agung yang terdengar ”asing” bagi masyarakat awam. Mahkamah Agung sebagai sebuah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia telah memposisikan diri secara ekslusif sehingga seolah-olah rakyat enggan berurusan dengan dunia peradilan.
Mahkamah Agung adalah sebuah badan peradilan yang membawahi 4 (empat) badan peradilan dibawahnya seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Tata Usaha Negara. Birokrasi Mahkamah Agung mulai dari sistem rekruitmen pegawai sekrektariatan, rekruitmen hakim, pembinaan dan pengawasan pegawai dan para hakim, promosi, demosi, mutasi dan isu-isu sentral lainnya mutlak perlu dipertajam prosesnya sehingga menghasilkan calon-calon generasi baru Mahkamah Agung yang benar-benar menjunjung tinggi nilai etika, moralitas, keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Proses perbaikan Mahkamah Agung baik secara kelembagaan maupun sumber daya manusia mutlak diperlukan bagi pembangunan hukum indonesia ke depan. Maju atau mundurnya suatu bangsa terletak pada Hakim sebagai pelaksana atau corong Undang-Undang yang berada pada garis terdepan. Para Hakim adalah penafsir Undang-Undang secara nyata (in concreto) di lapangan sehingga tindak-tanduk, pola prilaku hakim baik dalam proses persidangan dan pengambilan putusan secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk wajah hukum Indonesia.
Aceh yang memperoleh status otonomi khusus melalui UU No.11 Tentang Pemerintahan Aceh mempunyai peluang besar untuk memperoleh kekuasaan pengelolaan kehakiman secara independen sebagai implementasi UU Otonomi Khusus. Dalam terminologi ilmu politik yang dimaksud dengan pemerintah pusat adalah Presiden beserta para Menteri. Sedangkan di dalam MoU Helsinki yang termasuk kekuasaan pemerintah pusat adalah hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kebebasan beragama dan kekuasaaan kehakiman. 6 (enam) kekuasaan tersebut diatur di dalam Pasal 7 (2) UUPA. Yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa kekuasaan kehakiman masuk ke dalam ranah kekuasaan eksekutif (pemerintah pusat)? Sejak kapan kekuasaaan eksekutif dan yudikatif di Indonesia digabung menjadi satu kesatuan? Padahal kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka serta bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya termasuk kekuasaan pemerintah (eksekutif)?. ada kerancuan meletakkan kekuasaan kehakiman berada dalam satu kotak dengan kekuasaan pemerintah pusat (eksekutif). oleh karena itu Pemerintahan Aceh dapat menggugat keberadaan Pasal 7 ayat (2) UUPA tersebut agar Mahkamah Agung sebagai pimpinan tertinggi badan peradilan di Indonesia mau dan rela menyerahkan kekuasaan kehakiman yang ada di Aceh agar dikelola secara otonomi oleh kekuasaan kehakiman yang ada di Aceh sehingga akan semakin mempermudah proses pelayanan publik kepada masyarakat. Dan diharapkan ke depan akan muncul Mahkamah Agung khusus yang berada di Aceh sebagai bentuk pengejawantahan UUPA.
Reformasi birokrasi di tubuh Mahkamah Agung harus meliputi dua hal utama yaitu administrasi publik dan pelayanan publik. Kedua isu sentral tersebut merupakan pokok permasalahan yang selama ini menjadi bahan pembicaraan masyarakat, akademisi dan praktisi hukum baik di seminar-seminar dan workshop-workshop tentang hukum baik di dalam maupun di luar negeri. Carut-marut dunia hukum di negeri ini tidak terlepas dari sistem administrasi publik dan pelayanan publik yang selama ini dianut oleh Mahkamah Agung itu sendiri. Selain dari kedua hal tersebut kebijakan publik yang selama ini menaungi dan memayungi Mahkamah Agung pun perlu dikaji secara mendalam untuk menemukan suatu akar masalah yang selama ini menyelimuti Mahkamah Agung baik secara kelembagaan maupun sumber daya manusia.
Pada masa orde baru semua alat-alat kekuasaaan negara dijadikan kendaraan politik oleh Eksekutif untuk melanggengkan kekuasannya. Pembagian kekuasaan berdasarkan asas trias politica menjadi tidak bermakna ketika masyarakat tidak melihat adanya perbedaan kinerja antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Persoalan kebijakan publik yang selama ini memberikan payung hukum bagi Mahkamah Agung menjadi semakin penting ketika ingin mengkaji akar permasalahan yang ada di Mahkamah Agung. Kebijakan publik yang selama ini dianut dan dipedomani oleh Mahkamah Agung kemungkinan telah menjadi suatu budata yang turun-temurun diwariskan oleh satu generasi pimpinan Mahkamah Agung yang satu kepada pimpinan Mahkamah Agung yang lainnya atau dari atasan kepada bawahan.
Doktrinasi yang tidak benar serta penanaman nilai-nilai budaya senioritas-yunioritas, kaum tua- kaum muda, dan bentuk indoktrinasi-indoktrinasi lainnya yang bertujuan untuk membangun semangat kebersamaan dan kekompakan korps (kesatuan) disatu sisi membawa dampak yang positif dengan meningkatnya semangat dan etos kerja para pegawai dan personil yang ada di dalam lembaga Mahkamah Agung. Tetapi sebaliknya, jika budaya kekompakan dan kebersamaan itu ditanamkan dengan tujuan untuk melakukan suatu perbuatan-perbuatan yang melawan hukum di kemudian hari secara bersama-sama maka budaya yang seperti itu harus segera dihapuskan dan diganti dengan budaya-budaya baru yang lebuh humanis dan egaliter.
Peran Mahkamah Agung sebagai salah satu institusi hukum tertinggi di negeri ini harus mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang benar-benar Agung didepan mata masyarakat. Karena orang-orang yang duduk dan menjalankan organisasi didalam lembaga Mehkamah Agung adalah orang-orang pilihan yang diseleksi melalui proses penyaringan yang sangat ketat dan prosedur yang panjang dan berliku. Sehingga sudah sewajarnya apabila Mahkamah Agung benar-benar memberikan sebuah kesejukan dan menjadi pelindung keadilan dan kebenaran di Republik ini. Bukan justru sebaliknya menjadi ”pelindung” dan ”pembacking” pelaku-pelaku kejahatan di negara ini.
Banyaknya kasus yang akhir-akhir ini melibatkan Mahkamah Agung dan mengemuka ke permukaan menunjukkan kepada masyarakat bahwa kinerja Mahkamah Agung masih diragukan. Kasus-kasus tersebut antara lain; vonis kemenangan gugatan pra-peradilan Anggodo Widjaya dalam kasus penerbitan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) kasus Bibit-Chandra Hamzah, kasus menangnya upaya Peninjauan Kembali (PK) Arthalyta Suryani terpidana kasus penyuapan jaksa Urip, dan kasus-kasus lainnya. Menangnya orang-orang yang ”dicap” oleh masyarakat sebagai akar dari permasalahan menyebabkan tercabik-cabiknya rasa keadilan masyarakat. Sehingga masyarakat seakan-akan menganggap bahwa Mahkamah Agung tidak responsif terhadap rasa keadilan masyarakat.
membaca tulisan sabela tentang Reformasi birokrasi Mahkamah Agung RI.saya sangat mengerti dan memahami isi dan maksud dr artikel itu, kita ketahui pelaksanaan reformasi birokrasi yang sedang di jalankan di tubuh mahkamah Agung RI bertujuan untuk peningkatan pelayanan hukum ataupun pelayan yang berhubungan dengan fungsi dari lembaga tersebut yang orientasi nya adalah peningkatan kinerja Mahkamah Agung secara keseluruhan, hal ini sedang berjalan, sy sangat tidak setuju dan merasa sabela tidak punya dasar alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa kinerja mahkamah agung masih diragukan, dari berberapa kasus yang diungkapkan dalam artikel ini tidak cukup dijadikan alasan untuk mendiskreditkan mahkamah agung, kita harus mengetahui konten dari kasus2 itu kalau kita mau “menghakimi”, saya yakin sabela tau dalam pelaksanaan peradilan itu, semua berdasarkan bukti , fakta dan pertimbangan hukum,..jadi keputusan Mahkamah Agung dalam kasus2 tersebut diatas sudah sangat sesuai dengan hukum acaranya,keadilan itu harus ditegakan, namun semua itu harus dengan bukti2 yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum
dan dari beberapa kasus yang sudah ditangani oleh penyidik….dalam setiap perkara, berapa yang masuk ke pengadilan?…..kita/masyrakat hrs mengetahui ini, bisa jadi suatu kasus sudah di sidik, namun dalam beberapa waktu belum sampai ke pengadilan, mungkin di petieskan/damai, dsb..namun masyarakat selalu mengkambing hitam pengadilan ini kan tidak bijak