Satu persatu kawasan hutan dijelajahinya sendiri, hanya sesekali ada teman yang menemaninya. Dinginya sungai telah dilaluinya. Keluar masuk rimba dengan beragam tantanganya harus dilakukan demi menghidupi keluarga, demi sang buah hati agar kelak hidupnya tidak sama seperti dirinya.
Hasil yang didapat dari mengandalkan fisik, menjelajahi hutan, naik turun bukit, tidak bisa membuatnya kaya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dia sering mengalami kesulitan.
Namun walau fisiknya dari tahun ke tahun semakin melemah, dia tetap mengayunkan langkah kaki demi sesuap nasi. Profesi mengitari hutan, menuruni lembah sudah dilakoninya sejak dia duduk di bangku kelas 4 SD.
Inilah hidup Mahyuddin,45, penduduk Wih Porak, Kecamatan Bies, Aceh Tengah, yang mengandalkan hutan sebagai sumber rejekinya. Dia mengandalkan lebah menghasilkan madu, dari lebah ini dia memberi nafkah keluarga.
Ketika ayah enam anak ini diwawancarai santri dayah yang ikut pelatihan jurnalistik diselenggarakan Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah, Aceh Tengah, awal Desember ini, dia tidak sungkan mengisahkan pahit hidupnya.
“Sepekan mencari madu belum tentu dapat 200 ribu rupiah. Namun inilah hidup saya, demi anak anak. Agar mereka kelak hidupnya tidak susah seperti saya,” sebut Mahyuddin yang menjadikan hutan sebagai tumpuan hidupnya.
Fisiknya nampak sudah lelah, kulitnya legam dibakar matahari. Namun semangatnya masih tinggi dalam mencari penghidupan. Kakinya harus kuat, hujan, panas, dan dinginya alam bukan halangan baginya untuk terus melangkah.
Bahkan dia tidak menghiraukan fisik dan kesehatanya. Lelahnya dalam mengitari hutan tidak sebanding dengan hasil yang didapatnya. Apalagi ketika dia mengitari hutan, menuruni lembah, asupan makanan yang dibutuhkan tubuhnya tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan.
Hampir seluruh kawasan hutan di Aceh Tengah dan Bener Meriah dijelajahinya, dia ada kalanya yang menemani derap kakinya. Namun lebih banyak waktu mengitari hutan dia lakukan sendiri.
Hutan dan perkampungan sudah dijelajahinya, seperti Samar Kilang, Rusip, Pamar,Tanoh Depet, Celala, bahkan ada kalanya sampai ke kawasan Ronga-Rongan ke bagian bawah diantara sungai dan hutan.
Untuk mencari sarang lebah dia menggunakan mediasi yang unik, duan sirih. Tumbuhan yang menjalar ini dibakar ujungnya dibakar. Ada kalanya alam tidak bersahabat, dia tidak mendapatkan rejeki.
Madu yang diperasnya dia jual Rp 100 ribu untuk ukuran satu botol limun, namun bila botolnya lebih kecil dia jual Rp 50 ribu. Dari situlah dia menghidupi anak-anaknya, dimana dari enam anaknya, tiga lagi masih mengenyam pendidikan di pesantren.
“Ada kalanya susah, namun saya harus mencari pinjaman demi menyekolahkan anak-anak saya. Mereka harus sekolah agar kelak hidupnya tidak seperti saya,” sebut lelaki yang postur tubuhnya sedikit jangkung ini.
Ketika dia sedang tidak mencari madu, dia bekerja serabutan, menjadi buruh upahan membersihkan kebun tetangganya. Apapun dia lakukan demi menghidupi keluarganya. Dia tidak punya keahlian dan usaha lainya.
Hal itu dia lakukan sudah puluhan tahun. Baru belakangan ini dia memiliki kebun kopi yang lokasinya terbilang jauh dari kediamanya. Namun mencari madu masih tetap dilakukanya, walau dari segi fisik dia semakin lelah dan sudah nampak kerutan di wajahnya.
“Tidak apa-apa saya seperti ini, yang penting kelak anak-anak saya menjadi orang sukses, saya bahagia bisa mendidik mereka dengan sebatas kemampuan saya,” sebut Mahyuddin.
“Semoga Allah yang maha menentukan hidup ini memberikan kemudahan, melapangkan jalan buat anak-anak saya, agar mereka kelak menjadi manusia yang berguna, menjadi manusia yang sukses dalam hidupnya,” pinta ayah enam anak ini.
Manisnya madu dan dicari manusia karena khasiatnya, ternyata tidak semanis kehidupan Mahyuddin. Lelaki pencari madu yang keluar masuk hutan ini seorang diri, penghidupanya tidak semanis madu. Namun dia punya semangat melebihi madu untuk menafkahi hidup keluarganya. **** Maya Serungke. Penulis santri Dayah Darul Mukhlisin, Bur Jimet, Bebesen, Aceh Tengah/ Editor Redaksi LG
Comments are closed.