Oleh Drs. Jamhuri, MA*
Percaya kepada taqdir Tuhan adalah salah satu rukun iman yang ke enam, banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi berbicara tentang taqdir. Diantaranya adalah : “Tiada satu musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah (at-Taghabun. 11), dan dalam hadis Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah s.w.t. jika mencintai suatu kaum, maka Ia akan mengujinya”
Saya punya saudara dekat yang namanya tidak perlu disebutkan, ketika saya masih kecil sering berkunjung kerumahnya, bahkan pernah juga tinggal bersamanya seminggu atau dua minggu, saya selalu mengamati kehidupannya sejak dahulu bahkan sampai sekarang ini. Ketika saya berumur sekitar enam tahunan saya melihat dia dan keluarganya selalu membersihkan kebun orang, guna mendapatkan uang untuk membeli makan untuk kebutuhan keluargnya. Kebun yang dibersihkan bukan hanya satu, tetapi berpindah dari satu kebun kebebun yang lain.
Pekerjaan ini menjadi rutinitas yang tidak bisa dia hentikan, karena ia harus menghidupi enam orang anaknya. Namun saya merasakan keikhlasan dalam hidupnya, ketika suatu waktu pada saat mendekati hari raya ‘idul fithri saya tinggal bersamanya dan dengan hasil upah yang didapat dari membersihkan kebun orang, ia membeli baju untuk anaknya sebanyak enam potong tapi tidak luput dari benanknya untuk membelikan baju untuk saya.
Ketika menjelang hari raya saya dijemput orang tua saya, dengan perasaan sedih orang tua saya berkata: kenapa harus kamu beli bajunya. Ia menjawab dengan bahasa yang sederhana “Alhamdulillah kami baru dapat uang dan cukup untuk membeli baju satu orang satu”.
Ingin keluar dari penderitaan itu, ia mencari tanah ke daerah perbatasan dengan Bereuen. Tanah yang didapat ia garap dengan menebang kayu-kayu yang besar, lalu ditanami dengan bermacam-macam tanaman : Seperti rambutan, durian, kopi robusta, pinang dan lain-lain. Beliau bekerja tidak pernah mengenal lelah sejak pagi hari sampai sore, dan itu dilakukan sejak ia berada di daerah asalnya. Namun karena banyaknya kebutuhan tanggungan yang harus dipenuhi, ia tidak bisa menggunakan tenaga dan waktunya secara maksimal pada tanah garapannya, pekerjaan yang dilakoni sebelum menggarap tanah sendiri (man ongkosen) harus juga dilakukan di tempat barunya. Akibatnya tanah miliknya sendiri tidak sempat dikerjakan secara maksimal, dengan sendirinya juga pemenuhan kebutuhan sehari-harinya tidak cukup.
Tidak hanya itu, keinginan berubah kepada kehidupan yang lebih baik tampaknya tidak berpihak kepada dia, karena dalam penilaian saya ketika sekali berkunjung ketanah garapannya sangat sangat prihatin. Kopi yang ditanam sangat kerdil dan tidak subur, pohon langsat yang ditanam masih lama baru menghasilkan, pinang yang ditanam jumlahnya tidak begitu banyak, demikian juga dengan durian dan tanaman lainnya.
Tidak sanggup hidup dalam kondisi seperti itu dan selalu ingin berubah, maka datang tawaran dari abangnya yang mempunyai kehidupan yang lebih baik sedikit, untuk berpindah lahan garapan ke kilo meter 35 tidak jauh dari perbatasan antara Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah)) dengan Bereuen. Mereka memulai kembali garapannya dengan menebang hutan secara tradisional, yaitu dengan menggunakan kapak (pada saat itu belum ada mesin pemotong kayu) yang memiliki kemampuan tebang terkadan hanya satu batang pohon satu hari.
Melihat cara yang digunakan dan tanah yang digarap, saya sebagai saudara kendati pada saat itu masih bersekolak di MIN merasa pesimis tentang keberhasilan kebun yang akan ditanam. Tapi mungkin karena tidak ada pilihan lain saudara tersebut harus melakukannya. Saat ini terbukti apa yang saya khawatirkan ketika itu terjawab, saya melihat (sambil pulang atau pergi ke Banda Aceh dari Takengon) tanah yang pernah digarap tersebut telah ditinggalkan oleh semua orang.
Ketika tahun 80 an, harga nilam sangat menjanjikan beliau dan keluarganya mencari lahan baru yang cocok untuk menanam nilam. Mereka memilih tempat yang cocok di kilo meter 33, dari jalan Bereuen Takengon harus berjalan kaki selama dua atau dua jam setengah lagi. Ditempat ini mereka menebang hutan kembali sambil mencari rotan ke hutan-hutan untuk di jual guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nilampun ditanam, sawah juga mulai digarap, tanda-tanda kebahagiaan sudah mulai nampak dalam keluarga mereka. Tapi Nasib belum berpihak kepada mereka, nilam yang ditanam mulai terkena penyakit, harapan akan datangnya masa depan yang lebih baik mulai kabur kembali, rutinitas sebagai pencari rotan tidak bisa dihentikan,
Tiba-tiba dengan petunjuk dari-Nya, ada orang yang menawarkan penggarapan lahan baru di tempat lain, dengan system segala kebutuhan ditanggung oleh yang punya tanah selama enam bulan dan satu saat akan dibayar dengan hasil kebun kopi yang yang ditanam. Tidak ada pilihan lain demi kehidupan hari ini dan kehidupan anak-anak di hari esok, segala garapan dan tanaman yang telah dirintis sebelumnya ditinggalkan. Anak-anaknya yang sudah sanggup bekerja, walaupun dalam usia pendidikan di beri tanah untuk digarap, dengan bertupang biaya pada hutan yang diberikan oleh pemilik tanah garapan. Akhirnya sekarang diwajah mereka sudah tampak apa yang dicita-citakan yaitu cukup untuk makan.
Sebagai keluarga keperihatinan saya belum selesai, anak-anak beliau baik yang sebaya dengan saya atau adik-adiknya seharusnya mendapat pendidikan yang layak walaupun dipadai dengan wajib belajar 6 (enam) dahulu atau sekarang 9 (sembilan) tahun. Tetapi karena tuntutan kondisi dan alam semua itu tidak bisa ia nikmati. Lalu bagaimana dengan cucu-cucu beliau yang sekarang sudah banyak yang bersekolah di SD, SMP dan kebanyakan setelah tamatan sekolah menengah pertama tersebut tidak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Dengan alasan yang dapat kita tangkap sangat klasik, bahwa orang tuanya tidak punya biaya, anaknya tidak punyai kemauan untuk sekulah.
*Pemerhati Sosial Masyarakat dan Mahasiswa Program S3 pascasarjana IAIN.