Catatan : Munadia*
Seiring berkembangnya bidang kesehatan, masalah pasien yang kompleks membutuhkanketerampilan dan pengetahuan dari banyak tenaga profesional. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dan kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan untuk meningkatkan kepuasan pasien dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit disediakan oleh berbagai tenaga profesi kesehatan. Rumah sakit membutuhkan berbagai inovasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasiennya, salah satunya adalah kerjasama antar tenaga kesehatan.
Pendekatan kolaborasi yang masih berkembang saat ini adalah Interprofessional Collaboration(IPC) sebagai forum untuk praktik kolaboratif yang efektif antar profesi. Interprofesional Collaboration didefinisikan sebagai situasi dimana tenaga kesehatan darilatar belakang profesi yang berbeda bekerja sama dengan pasien, keluarga dan masyarakat untukmemberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. IPC merupakan forum kerjasama yang efektif untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada pasien, dengan berbagai tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, antara lain: tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenagakeperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenagaketeknisian medis dan teknik biomedika.Dalam konteks IPC, semua tenaga kesehatan berkomunikasi untuk keselamatan pasiendalam pelayanannya, memberikan kesempatan yang sama bagi semua tenaga kesehatan, danbekerja sama untuk keselamatan pasien.
Saat ini, IPC adalah kunci utama dalam menerapkans sistem kesehatan yang efisien. Namun, praktik kolaboratif tersebut belum terlaksana secara optimal karena berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yang terhambat oleh ketimpangankewenangan, keterbatasan pemahaman masing-masing peran profesional dalam tim, tanggungjawab, dan gesekan antar spesialisasi saat memberikan perawatan kepada pasien. Lebih lanjut, anggapan bahwa dokter sekaligus sebagai pemimpin dan pengambil keputusan, sedangkan tenaga medis lainnya hanya sebagai pelaksana, membuat pelaksanaan praktik kolaboratifinterprofesional masih terbatas.Persepsi ini secara tidak langsung membatasi komunikasi antar profesi dan menghambatpraktik kerjasama. Perbedaan kognitif terkait dengan gangguan yang dirasakan saat terlibatdalam kolaborasi interprofessional, yang diketahui lebih dirasakan oleh perawat karena kendala hierarkis dan sosiokultural yang didominasi oleh otoritas spesialisasi dalam tim kesehatan.Hambatan tersebut juga didukung oleh kurangnya komunikasi yang baik antar petugaskesehatan.
Komunikasi merupakan salah satu kompetensi untuk mengembangkan praktik kolaboratifinterprofessional dimana tenaga kesehatan harus mampu berkomunikasi dengan pasien, keluarga pasien, masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya secara responsif dan bertanggung jawab. Tenaga kesehatan harus berkolaborasi dengan baik, tidak melakukan pelayanan kesehatan secaratersendiri.
Komunikasi yang efektif sangat berdampak dalam praktik kolaborasi interprofessional dan dapat memberikan aspek positif serta manfaat perawatan pasien, termasuk peningkatan kepuasan pasien dengan hasil pengobatan, meminimalkan kesalahan pengobatan, penguranganmortalitas dan komplikasi, sehingga mengurangi biaya pasien. Selain itu, staf lebih produktif dan bekerja di lingkungan yang lebih nyaman. Hal ini dimaknai sebagai upaya yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan dan menjadi salah satu strategi efektif pelayanan kesehatan.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Keperawatan Univ. Syiah Kuala Banda Aceh. Warga Desa Kute Lot, Kecamaran Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.
Comments are closed.