Menasah Jendela Dunia di Bulan Puasa

Oleh. Drs. Jamhuri, MA*

Seset berbunyi pada bulan Ramadhan, sebagai tanda waktu menjelang maghrib, semua orang besar kecil, tua dan muda bergegas mendekati apa yang telah dihidang. Jenis hidangan bermacam-macam, ada cecah kelat— paling sederhana bahannya terdiri dari jambu kelutuk yang masih muda (gelime mude), putik nangka (bajik), pisang muda (awal mude), kunyit (kuning), daun kates (ulung pertik) ditambah dengan terong belanda yang masih muda (agur/terong payung mude)– berahrum, pecel, kolak ubi (kepile atau gadung), kolak nangka, gelame, ditempat tertentu pengganti pecel adalah kanji (kanyi).

Satu keluarga duduk melingkar dengan posisi seolah telah ditentukan, bapak duduk di tempat yang terhormat dengan gelas yang lebih besar, hidangan nasi yang lebih banyak, bukaan juga telah diasingkan dengan tempat piring tertentu. Anak yang paling kecil duduk di dekat bapak, karena hanya mereka yang bisa mengambil apa yang menjadi bagian bapak, kendati mendapat  teguran dari ibu.

Semua anggota keluarga pada saat berbuka telah mengambil wudhuk untuk shalat maghrib, sehingga ketika azan berbunyi mereka hanya berkumur dan menyiapkan perlengkapan untuk shalat. Mereka shalat maghrib berjamaah di rumah masing-masing, dengan di imami bapak sebagai kepala keluarga dan semua anggota keluarga menjadi makmum. Yang shalat di menasah (mersah) hanyalah tengku imam dan mereka yang tidak sempat mengambil wudhuk pada waktu sebelum maghrib.

Hidangan seperti yang telah disebutkan masih berserakan, dan dilanjutkan menikmatinya setelah shalat maghrib. Biasanya usai shalat maghrib mereka makan nasi, karena sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Gayo bahwa sebanyak apapun makanan yang disajikan untuk berbuka belumlah dianggap sebagai “makan”.  Orang tua akan katakan pada anaknya makan terus meh kase gule “makan terus habis nanti ikan”, sehingga terbiasa dalam keluarga selesai shalat maghrib dalam bulan puasa makan nasi.

Azan Isya berkumandang sebagai tanda panggilan kepada semua masyarakat kampong untuk melaksanakan shalat berjamaah di menasah, tidak ada yang tinggal di rumah, semua anggota masyarakat berkumpul di menasah untuk melaksanakan shalat isya dilanjutkan dengan tarawih dan kadang-kadang ceramah.

Pada awalnya masih ada pertentangan di masyarakat tentang jumlah raka’at shalat tarawih, ada yang melaksanakan 11 raka’at ada juga yang berpahaman 23 rakaat, biasa pertentangan ini berakibat pada perpecahan di satu kampong. Kelompok yang melaksanakan 11 shalat tarawih di menasah yang 23 di rumah atau sebaliknya, yang 23 di menasah dan yang 11 di rumah. Namun sebagian besar kampong melaksanakan satu diantara 23 atau 11.

Anak-anak lebih cepat berangkat ke menasah, mereka bermain kejar-kejaran, lompat-lompatan dan teriak-teriakan  sebelum mulai azan, anak-anak juga bershalawat ramai-ramai sambil bermain dengan menggunakan pengeras suara. Kesempatan menggunakan pengeras suara bagi anak-anak hanya pada waktu bulan puasa, pada bulan lain tidak dibenarkan kerena takut rusak. Barang elektronik seperti mic dan tape adalah barang yang lux dan mahal, sehingga sangat dijaga dari tangan anak-anak, dan kalau rusak kemungkinan tidak dapat diganti dalam waktu yang lama.

Motivasi anak-anak pergi cepat kemenasah pada bulan puasa diantaranya disebabkan menasah itu mendapat penerangan, lampu-lampu strongkeng (strongeng) dipasang sampai dua, sedang di rumah-rumah mereka hanya menggunakan lampu teplok atau juga obor. Lampu strongkeng itu milik desa yang berada di tangan tengku imum, tengku imum bertanggungjawab terhadap penerangan menasah dengan minyak juga dari harta kekayaan kampong.

Shalat tarawih dilaksnakan secara bersama-sama, baik anak-anak, remaja dan orang tua. Anak-anak shalat sambil bermain, yang sering mereka hanya shalat sampai shalat Isya dan sesudah itu mereka akan tertidur di pinggir dinding menasah, orang tua mereka tidak merasa khawatir, karena saat itu nyamuk belum mampu hidup di tanah Gayo.

Pelaksanaan shalat telah berlangsung dengan khusu’, setelah berdo’a penceramah berdiri, semua jama’ah melingkar di dinding menasah kecuali kaum perempuan yang tetap duduk pada shaf mereka sambil mendengar ceramah yang disampaikan penceramah yang datang dari luar Kampong atau tengku yang ada di Kampong tersebut.

Pemuda Kampong bertugas menghidang kopi atau teh yang dibawa secara bergiliran selama bulan Ramadhan, mereka menikmati minuman tersebut sambil memakan makanan yang kadang-kadang disediakan oleh keluarga yang diwajibkan membawa minuman, atau juga makanan yang disediakan oleh warga kampong yang mempunyai penghidupan lebih baik dari kebanyakan mereka.

Sebagian mereka setelah selesai shalat dan minum bersama, pulang kerumah untuk mengambil kain selimut dan kembali lagi kemenasah. Mereka bertadarus secara bergantian sampai waktunya pulang makan sahur, sebagian mereka membuat kelompok di setiap sudut menasah dan bercerita tentang apa yang mereka kerjaan pada siang harinya. Tidak hanya itu, melalui kelompok-kelompok itu mereka merancang apa yang akan mereka kerjakan besok hari dan diselingi juga dengan obrolan-obrolan lain, yang terkadang mereka lupa telah sampai pada waktu membangunkan orang untuk bangun sahur.

Di Gayo pada jam 3 malam, mereka yang tidur di menasah sudah membangunkan ibu-ibu di rumah melalui pengeras suara, hal ini melreka lakukan karena di kampong-kampong mereka memasak nasi dengan menggunakan kayu bakar, sehingga waktu untuk memasak memakan waktu yang yang agak lama.

Orang-orang yang berusia lebih tua juga tidur di menasah, mereka akan bercerita (berkekeberen) kepada kaum remaja dan anak-anak yang sudah lelah mengaji, banyak anak-anak atau kaum remaja mengetahui sejarah Gayo dari kekeberen ketika bulan Ramadhan, banyak juga kekeberen yang lucu dan ada juga yang jahil.

Mereka yang sudah menikah ada juga yang belum bisa membaca Al-Qur’an, kesempatan bulan Ramadhan ini dimanfaatkan untuk belajar mengaji, belajar bersama-sama dengan semangat dan harapan bisa baca Al-Qur’an. Kebanyakan mereka berhasil, mereka tidak malu kepada semua orang yang ada di menasah, orang lain juga tidak pernah mencemoohkan. Tidak pernah terdengan ungkapan “dup nge tue gere pane ngaji”.



* Kelahiran Kampong Blang Ara, kini berdomisili di Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.