Sedikit demi sedikit rambut seorang pria berperawakan sedang rontok ke lantai bangunan sederhana berukuran sekitar 3 x 3 meter. Dengan lincah, tukang pangkas yang baru mendapatkan status “Aman Mayak” bernama Ridwan itu melakukan pencukuran rambut pelanggannya.
Sesekali dia melihat kecermin lebar yang terpampang didinding untuk mengepaskan keseimbangan potongan rambut pria tersebut. Peralatannya juga digonta-ganti, sebentar terlihat pakai gunting, sebentar kemudian dia pakai alat cukur bertenaga listrik.
Dagu, pipi, kuping pelanggannya kerap dia sentuh untuk mendorong dan menarik agar memudahkannya menyelesaikan pekerjaannya.
Sekitar 10 menit berlalu, dia menyetel tempat duduk pangkasnya dengan mendongkakkan posisi duduk pelanggan tersebut. Sejenis cairan berbusa dia oleskan ke pipi, dagu dan atas bibir orang tersebut. Peralatan pun berganti, sebilah pisau cukur bermata silet yang baru digantinya.
Dengan lincah tangan kanannya memulai bagian pekerjaannya mencukur kumis dan jenggot pria tersebut. Tangan kirinya menekan-nekan bagian muka yang akan dicukur. Mungkin untuk menghindari terjadinya luka.
Tak berapa lama, selembar handuk putih ukuran kecil dia kipas-kipas kekepala pria tersebut. Lalu dia oleskan sejenis minyak. Lincah dan terlatih, jari-jarinya mengurut kepala pria tersebut beberapa saat. Dengan mata terpejam, pria setengah baya tersebut menikmati pijatan demi pijatan Aman Mayak ini.
“Nge bang”, kata Ridwan kemudian setelah meneliti hasil pekerjaannya melalui cermin. Sang pria tersebut lalu mengambil dompet dan mengeluarkan uang Rp.10 ribuan. “Berjin boh, aku mukarat pora, ara buetku,” kata pria ini sambil bergegas meninggalkan kami.
Nah ini saatnya giliranku. Ridwan segera menyiapkan tempat duduk cukurnya untukku. Saya mencoba mengajak dia mengobrol dan ternyata dia sangat ramah dan asyik untuk diajak bercerita sambil bekerja. “Gak ada antrian bang, kita bisa santai,” katanya sambil memulai pekerjaannya.
Saya diberi kesempatan untuk bertanya ini dan itu. Ridwan ternyata masih sangat muda dan masih berstatus mahasiswa jurusan Bahasa Inggeris di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon dan tinggal menunggu sidang sebagai persyaratan terakhir untuk beroleh gelar sarjana.
Dia kelahiran Lumut Kecamatan Linge tahun 1985 dan sejak kelas 2 SD sudah berstatus yatim piatu. “Saya tidak kenal muka ayah saya. Dia meninggal dunia saat kami masih sangat kecil,” kenang Ridwan yang mengaku punya dua orang adik. Satu perempuan sudah tamat SMA dan satunya baru tamat MTsN yang kini ditampung Pak Ciknya di Kampung Remesen Kecamatan Silih Nara.
Dengan status yatim piatu, Ridwan kemudian diasuh di Panti Asuhan Budi Luhur di jalan Lebe Kader Takengon hingga berhasil menamatkan MTsN 1 Takengon dan berlanjut hingga beroleh ijazah dari MAN 1 Takengon. Di panti asuhan inilah Ridwan mengasah bakatnya sebagai tukang cukur. Dia kerap dimintai rekan-rekannya di panti untuk mencukur rambut mereka.
Bercerita tentang Panti Asuhan Budi Luhur, Ridwan agak tercenung dan menarik napas dalam-dalam. “Saya heran, baru-baru ini sebagian lahan panti yang membesarkan saya sudah beralih kepemilikan,” ujarnya singkat.
Hidup tak bisa berhenti sebelum dihentikan oleh Pemiliknya, di tahun 2007 Ridwan bekerja sebagai tukang pangkas di kawasan Belang Kolak II Takengon berbekal hobi mencukur rambut semasa SD hingga di Panti Asuhan. Dia kerap diminta mencukur rambut teman-temannya yang tentunya tanpa dipungut bayaran alias gratis.
Tak terasa 4 tahun berlalu bekerja dengan system bagi hasil 50 : 50 dengan pemilik alat dan tempatnya bekerja. “Lumayan bang, rata-rata penghasilan saya dari hasil bagi antara Rp30.000-Rp35.000 perharinya,” kenang Ridwan.
Dengan penghasilan sebesar itu, Ridwan meneruskan pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon jurusan Bahasa Inggris. Dia juga membantu biaya hidup kedua adiknya yang tinggal bersama sang Pak Cik di Remesen.
“Alhamdulillah, perkuliahan saya sudah hampir rampung. Tinggal menunggu sidang skripsi untuk selanjutnya diwisuda,” kata Ridwan sambil tersenyum yang kemudian diikuti dengan tarikan napas dalam-dalam. Mungkin dia terkenang masa-masa sulit yang dilaluinya.
Bosan hidup melajang yang segalanya dilakukan sendiri atau istilah asingnya “Self Service”, diakhir tahun 2010 Ridwan kemudian menikah dengan seorang gadis tamatan SMA, warga Remesen Silih Nara.
Hidup dengan tanggungan seorang istri dan secara alamiah akan mempunyai anak, Ridwan memutuskan untuk berhenti bekerja ditempat pangkas di Belang Kolak II Takengon. Bermodal tabungan sebesar Rp.5 juta, Ridwan menyewa bangunan sederhana di sisi jalan Takengon-Isaq Kampung Simpang Kelaping Kecamatan Pegasing Aceh Tengah. Luasnya hanya sektar 3 X 3 meter dengan sewa Rp.1.5 juta pertahunnya.
Dengan uang sisa sewa tempat tersebut, Ridwan membeli sejumlah perlengkapan mulai dari kursi cukur, cermin, alat cukur elektronik hingga sisir.
“Lumayan bang, selama disini saya beroleh rata-rata penghasilan antara Rp.70.000 hingga Rp.80.000 perharinya,” ungkap Ridwan sambil menambahkan umumnya yang datang minta jasanya adalah anak-anak dengan bayaran Rp.7.000 perkepala. Sementara orang dewasa perkepalanya Rp.10.000.
Ditanya apa keinginannya setelah beroleh gelar sarjana, Ridwan mengaku ingin jadi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan meneruskan sekolahnya ke jenjang Strata Dua (S2) dan Strata Tiga (S3). “Saya ingin sekali jadi guru PNS dan punya gelar S2 dan S3,” kata Ridwan polos. Dia mengaku belum tau bagaimana dan darimana dia mendapat jalan untuk meraih gelar tersebut.
Walau kelak nanti sudah berstatus PNS dan gelar master dan doctor, Ridwan mengaku belum ada rencana akan meninggalkan profesinya sebagai tukang cukur. “Seperti kebun kopi bang, pekerjaan ini adalah kebun bagi saya,” pungkas Ridwan. (Khalis)