Yuk…Menambang Pahala di Bumi Pertiwi

Oleh: Muhammad Syukri*

Unjuk rasa atau demonstrasi bukanlah sebuah aktivitas terlarang dalam negara demokrasi. Trend yang sudah menjadi trade mark para aktivis kampus ini terkadang mampu mengubah kebijakan pemerintah. Sebaliknya, ada juga unjuk rasa karena terprovokasi melenceng dari tema yang diusung, dan sering terlanjur ”melecehkan” simbol-simbol bangsa. Ironi ini, lalu  ditafsirkan sebagai lunturnya rasa kebangsaan. Ditambah lagi dengan prilaku para politisi, para analis politik, komentar para pakar, yang secara tidak sadar membuat rakyat makin bimbang atas kebesaran bangsa Indonesia.

Refleksi kebimbangan warga negara tercermin dalam penggunaan simbol, atau memilih produk, bahkan budaya bangsa lain dianggap lebih unggul. Ditambah lagi dengan globalisasi informasi yang terus ”merangsek” elemen terlemah dari struktur budaya kita. Akhirnya, gaya hidup masyarakat berubah, semua serba internasional, baik makanan, pakaian, tontonan, cara berpolitik dan tragisnya banyak masyarakat kita lebih kagum kepada tokoh dari negara lain. Ada apa ini? Lunturkah rasa cinta kepada Bumi Pertiwi?

Dari pemberitaan media elektronik, media cetak, film, cinema, maupun cerita orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri, tersimpulkan bahwa hidup di luar negeri lebih enak, semua serba lengkap dan teratur. Seperti cerita para TKI yang baru kembali dari  negeri jiran Singapura bahwa  sebagai pembantu rumah tangga, dia bisa memperoleh penghasilan diatas Rp.5 juta sebulan. Rakyat di negeri jiran ini juga lebih terjamin dan makmur. Kalau menganggur, mereka memperoleh tunjangan sosial.

Menurut sang TKI,  kota-kota di negeri jiran umumnya sangat bersih, rapi, teratur, disiplin dan lalu lintas tertib, pokoknya semua serba menyenangkan. Hampir tidak ditemukan sampah yang berserakan. Jarang ada parit yang tersumbat, atau sungai-sungai yang meluap karena sampah. Taman dan pohon-pohon terlihat sangat serasi. Warga negara tidak direpotkan dengan kerja bakti, karena semua sudah ada lembaga yang mengurusnya.

Beberapa waktu kemudian, seorang motivator trainer dari ESQ Leadership Centre-Jakarta,  bercerita tentang rasa syukurnya bisa hidup dan tinggal di Indonesia. Penulis sangat terkejut mendengar pernyataannya.  ”Saya sangat bangga dan bersyukur kepada Allah bisa hidup dan tinggal di Indonesia, negeri yang penuh dengan ladang pahala. Disini, sangat besar peluang saya untuk memperoleh ”bonus” pahala melalui amal shaleh.”

Dia menambahkan, coba bayangkan kalau kita ditakdirkan hidup dan tinggal di Singapura, apa yang bisa kita lakukan untuk ”menambang” pahala. Jalan dan jembatan sudah bagus karena sudah ada yang ngurus, lingkungan permukiman tertata rapi dan bersih, masyarakatnya sudah terdidik dan tertib, pendapatan rakyatnya lebih tinggi daripada pendapatan kita, lalu kepada siapa lagi kita harus bersadaqah?

Subhanallah, benar juga yang disampaikan motivator trainer tadi. Ternyata ketertinggalan dan keterbelakangan yang kita alami saat ini  adalah anugerah berupa ladang-ladang pahala yang penuh dengan ”bonus” amal jariyah. Kenapa ladang pahala itu dibiarkan tanpa digarap. Sering dan tanpa disadari, kita lebih cenderung mendirikan ladang dosa, sekaligus menambangnya. Malah ladang pahala utama yang jumlahnya ribuan berupa masjid dan mushala tidak ”ditambang” secara optimal. Rumah ibadah itu dibiarkan kosong, malah jamaahnya bisa dihitung dengan jemari. Membangun masjid OK, sayangnya, berjamaah di masjid NO.

Selain rumah ibadah, masih banyak ladang pahala yang ditelantarkan seperti adanya rasa enggan untuk mengulurkan bantuan seribu atau dua ribu rupiah kepada pengemis yang berdiri di perempatan lampu merah atau terminal bis. Masih tega membiarkan orang tinggal dirumah berdinding kardus dan beratap jembatan, sementara kita nyenyak tertidur di kamar ber-AC.

Masih biasa melihat anak-anak yatim yang terlantar tanpa sarapan pagi dan keluyuran di trotoar jalan mengemis sambil memungut sampah, sementara kita minum susu dan makan roti panggang setiap pagi bersama keluarga. Usai sarapan, sopir mengantar putra/putri masing-masing dengan mobil ber-AC ke sekolah-sekolah unggul dan terhormat.

Hanya ucapan kasihan dan prihatin yang terucap manakala melihat orang miskin yang tidak mampu berusaha karena ketiadaan modal, sementara kita begitu pemurah saat bertemu pramuria di pub, diskotik atau café-café. Begitu beratnya tangan kita manakala akan menolong orang-orang susah yang dilanda musibah dan kesusahan, tetapi begitu cepatnya membayar biaya iklan ucapan selamat jika yang dilanda musibah adalah orang-orang tertentu. Terasa sangat terbeban jika ingin jujur pada diri sendiri dan orang lain, tetapi segera berbohong jika uang dan harta membayang di kelopak mata.

Begitu nikmat berendam air hangat dalam bathtub di kamar mandi berdinding marmer, sementara disudut permukiman yang lain, orang-orang hanya bisa minum dan mandi dengan air keruh yang penuh sampah. Terasa nyaman berkenderaan dijalan hotmix yang mulus, sementara dipedesaan orang-orang bergoyang di atas jalan berlubang dan berlumpur. Bibir sangat berat untuk tersenyum sewaktu bertugas memberikan pelayanan publik, tetapi akan tertawa terbahak-bahak saat menggosipkan orang lain.

Inilah sebagian kecil ladang-ladang pahala yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, sayangnya yang terpanen kadang-kadang lebih banyak ladang dosa. Padahal,  dalam kondisi masyarakat kita yang mayoritas miskin, tidak terhingga ladang pahala yang bisa ditemukan. Rasulullah SAW bersabda, membuang sepotong duri dari tengah jalan akan memperoleh pahala. Nah, untuk sepotong duri saja kepada kita dijanjikan pahala, lalu berapa banyak ”bonus” pahala akan diperoleh jika kita bisa membuat orang lain nyaman dalam menempuh kehidupan di Bumi Pertiwi  ini.

Tak terhingga ”bonus” pahala akan mengalir ke “buku catatan” kita jika sepanjang hidup melakukan ibadah, amal shaleh dan mampu menyenangkan orang lain sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Rasanya tidaklah susah ”menambang” pahala dengan melakukan hal-hal kecil dengan penuh keikhlasan.

Senyum yang bisa menyenangkan orang lain, itu juga pahala. Apalagi jika kita mampu membantu orang lain, seperti memperlancar pelayanan publik, membantu modal usaha,  membuka lapangan kerja, melaksanaan pekerjaan konstruksi dengan jujur dan benar, dan bantuan lain yang bersifat moril maupun materil, maka ”bonus” pahala terus menerus mengalir untuk kita.

Tidak terpungkiri bahwa begitu besar potensi ladang pahala berserakan disekitar kita, tetapi kenapa dibiarkan terlantar sampai detik ini. Malah NGO asing yang ramai-ramai menambang pahala di Bumi Pertiwi, ada yang membantu rumah, ada yang bantu makanan dan pakaian, ada yang bantu sekolah, dan berbagai infrastruktur lainnya. Padahal mereka belum pernah mendalami makna surat Al ’Ashr dan Al Maa’uun. Lalu mengapa kita masih melipat tangan dan membusungkan dada.

Tidakkah kita bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di Bumi Pertiwi, negeri yang penuh dengan ladang pahala? Kalau kita bersyukur, mari bahu membahu memajukan masyarakat di negeri ini. Kerjakan apa yang bisa, sehari memilin seutas benang tentu lama-lama akan menjadi selembar kain, yang penting jangan diam dan menunggu. Dalam QS 13:11 Allah menjanjikan: …Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri……

Kalau kita masih diam dan menunggu, sepantasnya kita harus menangis dan memohon ampunan-Nya karena telah menyia-nyiakan ni’mat pahala yang selalu kita minta dalam do’a kepada-Nya. Allahu Akbar, ampuni kami ya Rabb, ternyata jalan menuju syurga-Mu yang begitu nyata Kau tunjukkan, belumlah dapat kami baca. Ampuni kami ya Rabb, ni’mat pahala yang ada di sekitar kami ternyata belumlah kami gapai. Kami tidak bersyukur ya Rabb, ternyata kami dilahirkan di negeri yang merupakan jalan ke Syurga-Mu. Ampuni kami ya Rabb, ternyata kami sudah masuk dalam kelompok orang-orang yang merugi. Ampuni kami ya Rabb, do’a kami atas ni’mat-Mu yang telah Engkau kabulkan ternyata kami sia-siakan. Ampuni kami ya Rabb……,  ampuni kami ….. ya Rabb.

*Pemerhati Sosial di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Pahala ada di mana-mana karena memang Tuhan ada di mana kita berada, qanaah juga mendapatkan pahala karena memang itu yang bisa kita dapatkan