Kota Wisata yang Dicampakkan

Oleh Johansyah*

 Gayo memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat dikatakan istimewa bila dibandingkan dengan wilayah lain di Aceh. Keistimewaan yang palin menonjol adalah danau Lut Tawar yang dikelilingi bukit nan indah. Tidak hanya itu, ketika mengelilingi danau yang melingkar ini, para pengunjung dapat menikmati tempat wisata lain, di antaranya adalah Loyang (goa) koro, Loyang Peteri Pukes, Ujung Paking dan tempat-tempat lain yang tidak kalah menariknya. Ini belum lagi merambah ke tempat-tempat wisata lainnya seperti Pantan Terong, Kerajaan Linge, Atu Belah dan tempat lainnya.

Dari sekian banyak tempat wisata, menurut pemantauan penulis tidak ada satu tempat wisatapun yang dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah maupun kelompok tertentu. Untuk membuktikannya sangatlah mudah; bahwa tidak ada pengelola tempat wisata atau masyarakat sekitar yang dapat memperoleh penghasilan layak dari sana.

Fenomena ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tempat wisata di Gayo Takengon, khususnya danau Lut Tawar belum dikelola dan termenej dengan baik. Padahal potensi wisatanya sangatlah besar dan berpeluang untuk menjadi salah satu icon penting dari Aceh Tengah (Gayo), bahkan Aceh sekalipun.

Banyak teman-teman  yang mengeluh ketika berkunjung ke dataran tinggi ini, salah satu keluhannya adalah sulitnya menemukan cendera mata seperti baju kaos, gantungan kunci, pulpen dan bentuk cendera mata lainnya yang bertuliskan lake Lut Tawar, atau Gayo Land. Yang dapat mereka temukan adalah kerang Gayo dengan harga yang cukup mahal.

Hal ini lagi-lagi membuat penulis untuk kesekian kalinya menyatakan bahwa otak bisnis dan usaha masyarakat Gayo kurang berjalan, mereka belum membaca kebutuhan pasar. Kita tidak tau penyebabnya, apakah memang tidak suka, atau tidak memiliki modal, atau merasa hal itu tidak penting untuk dikembangkan.

Bagi kita yang pernah berkunjung ke Medan umpamanya, di sana akan mudah ditemukan baju kaos atau gantungan kunci yang sederhana bertuliskan lake Toba atau Pulau Samusir. Atau ada kawan yang pergi ke Bali dan membawa bentuk cendera mata dari sana. Secara tidak langsung cendera mata yang kita bawa menjadi iklan yang dapat memperkenalkan sebuah tempat kepada masyarakat di wilayah lain, bahkan masyarakat dunia.

Inilah yang belum terlihat dalam hiruk pikuk dan suasana wisata kota dingin Takengon. Seolah-olah kita mengandalkan ‘keperawan’ Lut Tawar; dulu begitu, kemarin begitu, dan sampai sekarang masih seperti itu. Tidak ada upaya untuk menata rias bibir pantai untuk dijadikan tempat yang nyaman dan indah bagi wisatawan, kalaupun ada belum memenuhi standar ideal yang kita inginkan. Di samping itu, belum ada tene mata murah dan meriah yang dapat mengekspos kenaturalan alam Gayo ini.

Paling yang makin terlihat banyak adalah kerambak di One-one, Birangpanyang dan beberapa tempat lain. Barangkali beberapa dari kita perlu untuk coba menata rias dan mengekspos Lut Tawar dengan bentuk lain, terutama masyarakat sekitar. Misalnya mereka dapat membuat gantungan-gantungan kunci yang bertuliskan Lut Tawar atau pemandangan Lut Tawar. Penulis yakin model usaha seperti ini prospeknya meyakinkan karena tidak membutuhkan modal besar, sekaligus dapat memperkenalkan Gayo ke tempat lain. Kita harus sadari bahwa setiap cendera mata yang di bahwa oleh seseorang ke tempatnya, secara tidak langsung akan menjadi iklan yang jitu. Bayangkan jika pemerintah mengiklankan Gayo lewat media massa, pasti dananya cukup besar.

Bukan mustahil usaha model ini akan berkembang. Namun sangat disayangkan ketika pelakunya kemudian bukan masyarakat Gayo, tetapi orang dari tempat lain yang memanfaatkan kesempatan ini. Apakah tidak boleh?, tentu saja boleh, tetapi yang kita sayangkan kenapa masyarakat tidak mau berpikir ke arah tersebut (gere bebike), sementara orang lain terus menari ria di kediaman kita dan orang Gayo hanya mampu menjadi penonton, bahkan pembeli produk tersebut.  Sungguh memilikan bukan?

Dengan kondisi Gayo saat ini, sebenarnya kita masih malu untuk mengklain kota ini sebagai kota wisata sebab masih banyak aspek yang belum kita penuhi. Maka untuk menuju ke sana, secara simultan masyarakat Gayo harus membangun sebuah pola pikir baru; pola pikir yang lebih terbuka (tidak picik memikirkan uken toa), pola pikir yang tidak lagi dibatasi oleh batas territorial Gayo tetapi Indonesia bahkan dunia. Dan inilah yang dinamai globalisasi, di mana batasan ras, suku, agama semakin tidak terlihat.

Kondisi inilah yang selayaknya disadari oleh masyarakat kita. Jika masih banyak orang tua yang berpola pikir munene (mencari lahan kosong untuk dijadikan area perkebunan), maka entah kapan Takengon akan maju, entah kapan Lut Tawar  akan menjadi target utama para wisatawan dan entah kapan masyarakat mampu meningkatkan taraf ekonominya ke jenjang yang lebih baik, bukan saja bertani, berkebun, tetapi mampu mengembangkan usaha dan bisnis walaupun kecil-kecilan.

Untuk itu, yang wajib dipikirkan oleh semua orang tua adalah bentuk usaha apa yang layak dikembangkan dan itu akan mampu memberikan jaminan hidup bagi keluarga. Maka, terkait dengan pemikiran di atas, salah satu usaha yang dapat dikembangkan adalah usaha kecil seperti membuat cendera mata.

Barangkali, lagu karangan AR. Moese yang menyerukan “uwetmi ko rakyat Gayo, si megah mureta dele” akan menjadi ekspektasi yang tidak akan pernah tercapai, hanya sebatas angan. Gayo hanya bisa bangkit jika masyarakatnya memiliki pola pikir terbuka disertai kesungguhan dan keseriusan untuk berubah. Kebangkitan sebuah komunitas ditentukan oleh tingkat kualitas berpikirnya yang hijrah dari berpikir lokal ke arah berpikir global. Dari komunitas model gajah yang enggan untuk diganggu dan lamban kepada komunitas model singa yang agresif dan berani bersaing.

Akhirnya, kita semua berharap bahwa potensi alam dan kekayaan yang dianugerahkan Tuhan kepada masyarkat Gayo, hendaknya dapat dikelola dengan baik. Maka tidak ada jalan lain untuk mewujudkannya selain merubah pola pikir sebagaimana disebutkan sebelumnya. Selain itu, mau tidak mau SDA tersebut harus kita imbangi dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Jika tidak masyarakat Gayo ke depan akan menjadi penonton di kandangnya sendiri, bahkan akan menjadi jongos di istananya sendiri. Marilah kita renungkan pepatah Gayo “akal kin pangkal, kekire kin belenye”. Maka dengan itu kemungkinan kita akan mampu menjadikan Gayo menjadi kota wisata yang hidup dan layak diperhitungkan.

*Penulis adalah Staf Pengajar STAI Gajah Putih Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.