Gayo Negeri Syari’at

Oleh : Andi Tharsia*

Wacana bahwa tanah Gayo adalah negeri yang menjunjung nilai syariat Islam sebagai dasar sosio-kultural yang dipegang teguh oleh masyarakat Gayo, menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pasalnya, tanah Gayo berada dalam wilayah “karesidenan” Aceh dengan imej sebagai daerah implementor nilai-nilai Islam di ujung barat Indonesia dan wacana ini berimplikasi pada peluang dan potensi bagi daerah Gayo untuk lebih pro-aktif dalam menjalankan syariat Islam dengan dukungan baik dari stakeholder yakni ulama dan umara.

Kajian ini mengetengahkan otokritik beserta solusi terhadap gejala dekadensi religiusitas masyarakat tanah Gayo di tanah endatu yang belum sepenuhnya sadar dalam menegakkan nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, meski hukum adat Gayo sudah mengadopsi nilai Islam itu dalam mengatur tatanan hidup orang Gayo, salah satunya seperti pemberlakuan hukum jeret naru (pengucilan sosial) terhadap pelaku sumang (zina).

Politisasi Syariat Islam

Jika berkeliling ke pusat ibukota kabupaten yang ada di Gayo, maka akan kita saksikan sejumlah fenomena yang miris. Belum saatnya beranjak pada pembahasan seputar pakaian ketat, tetapi arahkan dulu pandangan pada masjid-masjid yang berdiri megah di tanah Gayo. Kesan pertama adalah kesunyian dan barisan para orang tua.

Orang tua kita yang sebagian sudah uzur, berdiri di shaf terdepan sedangkan kaum muda masih sangat jarang ditemukan untuk meramaikan rumah Allah. Pengalaman pribadi di sebuah pelosok kampung di Gayo, lebih parah lagi. Ada imam merangkap sebagai muadzin, dengan makmumnya bisa dihitung dengan jari. Dan ini terus terjadi setiap kali saya mudik ke tanah Gayo, dan ternyata belum menunjukkan perubahan berarti.

Kasus KDRT, miras dan perjudian di Gayo menunjukkan data yang mengkhawatirkan di bandingkan dengan daerah lain di Aceh. Belum lagi munculnya rasa tidak bersalah remaja putri Gayo yang berseliweran di pasar dan tempat publik lainnya (bank, tempat rekreasi, dsb) dengan memakai pakaian ketat dan tidak berjilbab.

Kembali kita bertanya, dimanakah peran ulama dan umara dalam membangun moral rakyatnya. Mengapa hal demikian masih saja terjadi dan belum ada perbaikan yang signifikan. Saya khawatir, bila syariat Islam di Gayo selama ini hanya dijadikan lini politisasi para pemimpin di Gayo, untuk menyenangkan hati publiknya, apalagi menjelang pilkada. Publik akan merasa, bahwa pelaksanaan syariat Islam tanah Gayo seakan “baik-baik saja”. Padahal, kebohongan terus bergulir, membentuk lingkaran setan. Politisasi syariat Islam akan terus ada sepanjang zaman, jika moral dari pemimpinnya tidak mau berubah untuk menghentikan praktik tersebut di tanah Gayo, dan sikap kritisi dari publik terhadap pemimpin terus dibungkam.

Solusi

Saya optimis tanah Gayo akan menjadi daerah yang sangat baik menerapkan syariat Islam, jika : Pertama, setiap putra/i daerah yang pulang dari rantau, mau untuk “membakti-sosial”-kan dirinya pada masyarakat, minimal di lingkungan rumah, serta memprioritaskan program pengajaran Al-Qur’an bagi anak-anak dan masyarakat sekitar, disamping memberikan pengetahuan umum bagi mereka. Kita hidupkan surau, mesjid, mushalla yang ada di kampung halaman dengan pembinaan Islam.

Untuk memudahkan program ini, setiap kepala desa/ama reje, imam mersah/masjid ikut memfasilitasi persediaan sarana baik fisik maupun non-fisik. Alumni organisasi-organisasi pemuda/mahasiswa Gayo di tanah rantau yang sudah balik kampung dan membangun daerah Gayo, saling berkoordinasi dan membantu jika terdapat kendala di lapangan. Tujuannya, selain efektif untuk mengaktualisasikan potensi diri yang di dapat dari tanah rantau, juga menghindari adanya gap generasi antara orang tua dan kaum muda.

Kedua, dukungan legislatif dan eksekutif. Tanpa peran legislatif dan eksekutif, sebuah kebijakan tanpa eksekusi akan sia-sia. Kita tidak bisa menutup mata dari dua elemen ini, karena suksesnya sebuah kegiatan selain karena pertolongan Allah swt., juga karena ada amanah Allah swt. di dua elemen ini. Maka, daya lobi pada dua elemen ini begitu penting dalam menegakkan syariat Islam di tanah Gayo, tentu dengan dialog dan tinjauan langsung terhadap tujuan program implementasi syariat Islam di Gayo.

Ketiga, peran jurnalis dalam mendesak bahkan mem-pressure kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro pada syariat Islam. Aspek jurnalistik tidak bisa diremehkan, karena pembangunan opini publik berada di tangan jurnalis dalam mengabarkan sebuah pesan. Dunia jurnalistik di Gayo perlu ambil bagian dalam mensyi’arkan Islam menjadi sebuah identitas bagi generasi yang tumbuh di Gayo. Sehingga Gayo, selain dikenal sebagai daerah “gudang”-nya seniman dan sastrawan lokal dan nasional, juga diingat sebagai daerah yang di cap sukses menerapkan nilai syariat Islam di berbagai sendi hidupnya oleh orang-orang yang berkunjung ke tanah Gayo.

Begitu indahnya mendambakan Gayo baru yang bersyariat, disatu sisi memiliki lokasi wisata yang indah, di sisi lain juga diliputi rasa syukur berupa ketersediaan sarana pendukung yang sarat dengan nilai Islam. Tidak harus mewah dan tidak pula sebatas menyediakan tempat beribadah, tetapi memiliki arti dan kesan mendalam berupa nilai-nilai edukasi bagi pribumi maupun pendatang untuk mau taat menghormati kearifan lokal Islami di Gayo tanpa harus mengedepankan sikap anarkis.

Waktu, tenaga dan dana yang dihabiskan untuk penegakan hukum syariat Islam di Gayo sendiri bahkan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan sosial lainnya jika pemda kabupaten tanggap dengan hal ini. Kita berharap untuk tidak lagi menemukan berita kasus pemukulan terhadap pelanggar syariat kembali muncul di halaman mass media, jika pemda kabupaten di Gayo dan semua elemen masyarakat mau dan mampu untuk memberikan pemahaman dan teladan bagi publik untuk menerima syariat Islam dengan lapang dada.

*Mahasiswa Gayo, aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) wilayah Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.