Sungai Peusangan, salah satu sungai besar yang terdapat di Provinsi Aceh yang panjangnya mencapai 130.796 meter. Sungai yang berhulu dan (sumber airnya) berasal dari Danau Laut Tawar Takengon, “mengirim” air ke daerah hilir sebesar 5.664 liter/detik. Sungai berair jernih ini membelah Kota Takengon, membawa air jernih itu mengalir menelusuri bukit terjal dan lembah, akhirnya sampai di Selat Malaka.
Aliran air dari Sungai Peusangan ini memberi rezeki kepada masyarakat yang tinggal disepanjang bibir sungai, sejak dari hulu di Kota Takengon, sampai ke muaranya di Kabupaten Bireuen. Rezeki yang didapat masyarakat dari aliran air ini, mulai dari sumber air bersih, sumber ikan, sumber energi listrik sampai kepada sumber air irigasi.
Bagi masyarakat Kota Takengon, aliran air Sungai Peusangan menjadi sebuah kebutuhan primer, terutama untuk tempat mandi, cuci dan kakus (MCK). Sebaliknya, bagi anak-anak, Sungai Peusangan menjadi arena bermain. Mereka, hampir setiap hari, menghabiskan waktunya “bercanda” dengan sungai yang berair jernih dan cukup dingin itu.
Mereka adalah anak-anak penjelajah yang tidak pernah takut melompat dan merenangi hulu Sungai Peusangan. Sungai yang “konon” sangat angker dengan makhluk gaib bernama “lembide.” Mereka juga begitu berani mengayuh sampan ditengah aliran sungai yang cukup deras, terkadang dihempas ombak dan angin. Disisi lain, orang tua mereka juga tiada pernah khawatir terhadap kemampuan anak-anaknya berenang, karena sang penjelajah telah menjadikan aliran air bagai sahabat.
Andi (10) dan Iko (8) warga Kampung Bale Bawah yang ditemui di lokasi pemandian mereka, Kompleks PI Kampung Bale Takengon, Minggu (16/10) mengaku hampir setiap hari ikut pertandingan melompat bersama teman-temanya. “Siapa yang jauh melompat, dia yang menang.” sebut Iko, anak kecil tanpa pakaian yang tidak merasa dingin ditengah suhu udara 19 derajat Celcius.
Menurut mereka, begitu pulang sekolah, mereka tidak langsung ke rumah tetapi ramai-ramai menuju tempat pemandian di Kompleks PI itu. Kadang-kadang mereka sampai lupa waktu, bahkan lupa makan. Mereka lebih suka mandi, lompat, berenang dan mendayung perahu daripada menghabiskan waktunya di tempat penyewaan play station (PS). “Ndak ada uang untuk main PS, kalau mandi ndak bayar pak,” kata Andi siswa sebuah SD di Takengon.
Mereka anak-anak berbakat, tubuhnya begitu ringan mengarungi air Sungai Peusangan yang dingin. Mereka begitu bertenaga ketika mendayung perahu berukuran puluhan kali lebih besar dari tubuhnya. Sungguh tidak terbayangkan keberaniannya bermain di air tawar. Mereka anak-anak berbakat yang menunggu polesan dari para pencari bakat. Akankah anak-anak penjelajah dari Sungai Peusangan ini berhasil menorehkan sejarah bagi ibu pertiwi?
Teringat penggalan syair Fikar W Eda, penyair asal Kota Dingin Takengon, Aceh Tengah: “disini, di tanah ini, di cadas ini, sejarah peradaban manusia mulai ditorehkan.” Siapakah nantinya yang akan memoles mereka, anak-anak penjelajah itu? Siapakah yang mengantar mereka untuk menjadi bagian sejarah bangsa ini? Inilah secuail harapan anak bangsa dari tengah rimba belantara, Tanoh Gayo-Aceh. (MSy)