Takengon | Lintas Gayo – Serombongan anak-anak berusia antara 10 sampai 12 tahun, Rabu (26/10) tiba-tiba masuk ke Batas Kota Cafe, Paya Tumpi Takengon Aceh Tengah. Suara riuh yang diiringi oleh tepuk tangan dan dendang syair-syair didong. Dendang seni Gayo itu juga diiringi dengan alunan seruling yang ditiup oleh seorang anak berpakaian kaos merah bergaris putih. Kehadiran mereka mengagetkan pengunjung cafe, “kok ada demo di cafe ini?” tanya seorang ibu yang sedang makan siang bersama keluarganya.
Ternyata, ke-8 orang anak yang berpakaian lusuh itu adalah “artis-artis” cilik yang membintangi acara Ensiklopedi Anak Indonesia untuk sebuah acara di stasiun Kompas TV. Kehadiran mereka diiringi oleh beberapa kru Kompas TV pimpinan Sutradara Erlan Basri yang dilengkapi dengan kamera dan peralatan shooting lainnya. Anak-anak dari desa terpencil, Toweren, yang terletak di sisi Selatan Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah itu sangat ceria. Mereka terus bertepuk tangan mengiringi syair didong yang sedang dilantunkan temannya.
Penampilan mereka yang masih sangat asli dan tanpa polesan, bukan seperti lazimnya artis. Baju dan celana yang dipakainya seperti yang sehari-hari digunakan. Wajahnya tidak di make-up, masih terlihat bekas makanan di pipi mereka. “Artis-artis” cilik itu benar-benar tampil sebagaimana aslinya. Inilah wajah asli anak-anak desa dari tengah rimba belantara Aceh, dataran tinggi Gayo.
Skenario yang akan mereka lakoni di Batas Kota Cafe itu adalah menjual kopi yang sudah jadi bubuk. Ceritanya, sebelum tiba di cafe itu, mereka telah menjual bubuk kopi itu dibeberapa warung kopi di Kota Takengon. Namun, tidak satupun yang berminat membelinya. Akhirnya mereka harus berjalan sejauh 4 Km untuk menjualnya disebuah cafe yang cukup terkenal di Takengon, Batas Kota Cafe, salah satu pilihan tempat pecandu ngopi. Kasihan, anak-anak itu tidak faham jika kopi bahan baku kopi espresso di Batas Kota bukan berupa bubuk kopi, tapi kopi roasting (kopi gonseng). Barista cafe itu mengatakan tidak berminat membelinya.
Namun anak-anak dari desa terpencil itu terus memohon agar bubuk kopinya dibeli. Mereka sudah susah payah mengumpulkan kopi tersebut dari “belelesen”, sebutan di Gayo untuk kopi yang berceceran dibawah pohon kopi atau semak belukar karena rontok atau berupa tahi Musang, (kopi Luwak). Anak-anak tersebut ingin mengganti bolanya yang sudah pecah. Melihat kesungguhan anak-anak tersebut, seorang pengunjung cafe (diperankan oleh Aman Shafa) memanggil mereka. Mungkin si pengunjung terenyuh mengetahui tekad anak-anak itu untuk bermain bola sangat tinggi.
Akhirnya si pengunjung cafe tadi membeli bubuk kopi itu seharga Rp.60 ribu dengan syarat karena berasal dari Toweren yang punya klub Didong ternama, Teruna Jaya, anak-anak tersebut diminta Bedidong dan dengan spontan mereka bedidong bersama-sama diringi suling bambu.
“Oya nge nguk kite beli bal ayu (sudah bisa kita beli bola baru)” teriak anak-anak itu serentak sambil menepuk-nepuk tangannya setelah usai Bedidong dan menerima uang dari pembeli kopi mereka.
Menariknya, akting yang dilakoni anak-anak tersebut cukup standar meski masih natural. Mereka tidak menghafal naskah, tetapi dialognya pas dan sesuai dengan skenario. Mereka juga terlihat sangat berbakat dalam memainkan peran tersebut. Bayakmiko, siswa kelas VI MIN Toweren itu mengaku sangat senang terpilih sebagai salah seorang bintang yang ikut bermain dalam acara Denang Anak Gayo untuk acara Ensiklopedi Anak Nusantara Kompas TV.
Ditanya siapa saja anak-anak dari Desa Toweren yang ikut, Bayakmiko menyebutkan nama-nama 8 orang temannya. Mereka terdiri dari Mitra Yoga, Yasir, Irham, Temasmiko, Iwan Handika, Sapdari, Hardi, dan dia sendiri Bayakmiko. Dia tidak merasa lelah mengikuti shooting itu, malah sangat senang. “Suka, nanti kan bisa masuk TV,” katanya sangat gembira. Ketika ditanya, apakah nanti dia ingin menjadi artis? “Saya mau jadi polisi,” imbuh anak berkemeja lusuh itu.
Khalisuddin, Redpel Situs Online Lintas Gayo yang menjadi guide kru Kompas TV selama di Takengon, mengungkapkan bahwa banyak anak-anak berbakat di Desa Toweren. Sampai hari ini masih ada yang mendaftar untuk ikut shooting dengan Kompas TV. “Kayaknya di Toweren perlu dibuka padepokan seni baik theatre, tari dan lain-lain untuk mengasah bakat-bakat mereka, ini potensi,” ujarnya. (MSy)