Oleh: Marah Halim*
Tanggal 9 Desember yang telah kita lewati kemarin telah ditetapkan sebagai hari pemberantasan korupsi sedunia; ini menandakan bahwa korupsi bukan lagi masalah lokal atau nasional, tetapi lebih jauh telah menjadi masalag global. Untuk konteks Aceh sudah saatnya kita menggunakan modal moral religius yang ada, yaitu pelaksanaan syari’at Islam.
Pendekatan syari’at memberantas korupsi dengan metode preventif. Dalam ajaran Islam, ada dua hal yang selalu diserukan dalam al-Qur’an secara beriringan, iman dan amal salih. Iman adalah dimensi ruhaniyah atau psikis, sedangkan amal salih adalah ekspresi nyata dari keimanan. Amal salih itu sendiri bermakna perbuatan yang baik, yang bermanfaat dan berguna bagi semua orang. Karena itu, seberapapun iman seseorang tapi ia belum melakukan amal salih, seperti melakukan korupsi, berarti ia bukan orang Islam.
Syari’at Islam telah menetapkan hukuman yang keras terhadap korupsi. Secara logika, jika mencuri saja diganjari dengan potong tangan jika sampai nisab, maka seyogiyanya pelaku korupsi adalah dipotong kepala sebab otak yang ada di batok kepalanya itulah yang bekerja ketika ia korupsi. Dan mungkin pemerintah Cina telah terinspirasi dengan hukum Islam hingga mereka memilih menggantung saja para pelaku korupsi.
Tapi hukum Indonesia tidak mengenal hukuman gantung, terlalu kejam katanya. Tapi pengakuan “terlalu kejam” itu tidak lain dari ungkapan dari betapa takutnya masyarakat Indonesia terhadap hukuman gantung. Alasan para pakar hukum pidana sejak zaman Londo dulu adalah hukuman gantung di luar batas kemanusiaan. Tapi apakah korupsi sampai milyaran rupiah yang menyebabkan jutaan masyarakat melarat masih dalam batas perikemanusiaan? Apakah kejahatan yang dilakukan dukun AS dengan membunuh puluhan orang dengan motif menuntut ilmu hitam masih dianggap dalam batas kemanusiaan? Sangat, sangat absurd pandangan mereka itu. Hukuman pidana di negeri ini memang terlalu lembek, selembek manusianya.
Sesungguhnya negara kita telah sangat bermain-main dalam memberantas korupsi. Sejuta studi banding tentang korupsi telah dilakukan (tapi studi banding itu juga lahan korupsi). Tidakkah kita malu pada Cina yang notabene sebagai negara kominis (komunis) tapi berani memberikan hukuman keras pada pelaku korupsi. Malaysia, negeri tetangga kita juga umat Islam seperti kita, tapi mereka telah lama menerapkan hukuman yang keras terhadap siapa saja. Pengedar narkotika akan ngeri bila hendak mencoba berdagang dadah di negeri itu, karena tantangannya adalah tiang gantungan. Walhasil Malaysia cukup aman dari barang-barang tersebut.
Asal penegak hukum kita sadar, korupsi bukan lagi pidana main-main. Tidak terhitung lagi berapa aset negara yang tidak pernah dinikmati masyarakat karena yang bertugas menghitung dan mengaudit anggaran itupun terlibat korupsi. Jutaan masyarakat tercekik lehernya karena beban negara yang secara tidak langsung dibebankan kepada mereka padahal undang-undang dasar negeri ini telah mengamanatkan bahwa segala kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Dilema pemberantasan korupsi
Korupsi bahkan tidak mengenal yang namanya wilayah syari’at atau wilayah sekuler, yang dia tahu bila ada peluang, semua adalah wilayahnya. Kita mungkin tidak akan terkejut jika ada kasus korupsi yang menimpa instansi seperti dinas pekerjaan umum misalnya, karena kita paham lembaga seperti itu seperti, sekali lagi sepertinya jauh dari pengetahuan syari’at. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, malah instansi yang tahu syari’at yang diterpa badai korupsi.
Kalau lembaga yang agamis saja tidak bisa dijadikan panutan masyarakat, maka siapa lagi yang diharapkan? Orang kampus? Kampus pun tidak kurang lahan korupsi. Berbagai proyek penelitian adalah lahan korupsi yang paling menggiurkan. Dan mungkin prosedurnya lebih mudah dan terhormat karena berkedok untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Dan suah menjadi rahasia umum jika para peneliti Aceh jarang yang sanggup berkompetisi di tingkat nasional karena penelitian yang asal jadi.
Seorang peneliti pernah mengatakan bahwa salah satu kendala adalah minimnya dana penelitian. Proposal yang diajukan kepada lembaga pemerintah misalnya, ketika tembus maka dalam beberapa persen sudah harus direlakan menjadi “uang lelah” pejabat yang mengegolkannya. Jika yang ditandatangani adalah sepuluh juta, maka anda tidak usah berkecil hati bila yang turun adalah lima juga, dan jangan lupa uang minum bendaharanya.
Siapa lagi yang diharapkan? Mahasiswa? Tidak juga, sebab belum lama ini pengurus senat sebuah perguruan tinggi di Aceh ini dihebohkan dengan keterlibatan beberapa oknum dosen dalam pengelolaan proyek BRR? Jadi, siapa lagi yang bisa diharapkan? Polisi? Jaksa? Hakim? Gubernur yang juga diterpa kasus yang sama? Kepala desa yang menilap dana bantuan desa? Camat yang menyunat proyek? LSM, tapi LSM sekarang juga lahan mencari makan, dan sudah banyak yang terlibat penyimpangan dana dengan membuat proyek fiktif misalnya, proyek pelatihan yang jatahnya seminggu tapi “dipadatkan” menjadi tiga hari, dana yang untuk empat hari kemana mas? Tidak ada, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Kalaupun ada yang berani one show man mau memberantas korupsi seperti Baharuddin Lopa, maka akan disingkirkan, konon ia meninggal sebenarnya tidak wajar, dan dalam minggu ini, Jaksa Muhammad Yamin yang terkenal ketegasannya dalam memberantas korupsi, juga telah meninggal dunia, syukur-syukur almarhum meninggal secara wajar.
Mengutip bahasa Habibie, maka korupsi sekarang sudah dari hulu sampai ke hilir. Dari lembaga yang paling mentereng sampai lembaga yang paling kecil sekalipun tingkat kantor lurah. Semakin pintar manusianya maka semakin besar korupsinya, itupun ditempuh dengan berkedok untuk kepentingan masyarakat. Akhirnya masyarakat kecil sampai matipun tidak pernah mencicipi enaknya kue pembangunan. Merekalah yang sebenarnya manusia-manusia yang bebas korupsi. Kelak di hadapan Tuhan Rabbul Jalil dia akan menepuk dada dengan lantang mengatakan, “sayalah manusia yang dulu hidup dengan apa adanya, dengan kerja keras layaknya manusia yang memang harus ksatria menghadapi hidup, dan kalian adalah manusia-manusia pengecut, yang tidak berani bekerja keras membanting tulang untuk anak istri kalian”.
Dalam ajaran Islam, mereka tidak akan pernah dirugikan, mereka akan tetap dalam kebersahajaan. Dan terlepas dari benar atau tidaknya kejanggalan meninggalnya Baharuddin Lopa, yang jelas almarhum akan terus hidup, dalam Islam orang beriman tidak pernah mati, ia hanya berpindah tempat. Dan apakah kita cukup puas dengan meninggalnya manusia-manusia baja itu, sehingga koruptor bebas bergentayangan?
Syari’at sebagai jawaban
Pembaharu besar Cina, Wang An Shih (1021-1086 M) pernah mengatakan bahwa ada dua sumber korupsi yang yang senantiasa berulang, buruknya hukum dan buruknya manusia. Mustahil hanya mengandalkan hukum yang mengendalikan pejabat negara jika mereka yang menjabat itu sebenarnya adalah para gladiator yang siap menelan apa saja yang ada di depannya.
Merujuk ungkapan pembaharu Cina di atas, maka sebenarnya prilaku buruklah yang menyebabkan korupsi terjadi. Prilaku tidak lain adalah akhlaq dalam konsep Islam. Hal ini diakui sendiri oleh Wang An Shih, yang bukan sekedar teoritisi di belakang meja, tetapi tokoh publik yang aktif melawan korupsi. Pada akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa korupsi hanya dapat dicegah dan diminimalisir dengan adanya para pemegang kekuasaan yang bermoral tinggi dan hukum yang efisien serta rasional.
Tokoh Islam abad pertegahan, Ibn Khaldun (1332-1406 M), yang juga bukan sekedar teoritis tetapi seorang birokrat yang ilmuwan, yang menarik dari Ibn Khaldun, ia mengatakan bahwa sebab-sebab korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Untuk memenuhi kebutuhan merekalah korupsi terus terjadi, dan itu akan terus menggurita, ia seumpama lokomotif yang yang menarik korupsi-korupsi dengan berbagai rupa.
Pemerintahan yang bersih dari korupsi bukan tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Pioneernya adalah Umar bin Abdul Aziz, tapi sayang hanya dia seorang diri, itupun harus dibayar mahal karena para kerabat dan pejabatnya tidak tahan untuk tidak korupsi. Selama kekuatan pro dann kontra korupsi masih belum berimbang, maka cita-cita pemberantasanm korupsi hanya akan menjadi utopia.
Benteng terakhir yang bisa kita harapkan tetap pemerintahan yang bersih seperti yang diharapkan Wang An Shih dan Ibn Khaldun. Pemilu kali ini mungkin juga akan membawa titik-titik perubahan. Mayoritas partai politik telah bertekad untuk melakukan pemberantasan korupsi. Agak sumir memang berharap pada mereka, namun sebagai makhluk Allah yang beriman, kita tidak boleh berpangku tangan dan berputus asa, jalan terbaik adalah agar setiap individu kembali pada nilai-nilai moral yang telah diajarkan agama. Perang kita sekarang adalah perang melawan korupsi, jika memang korupsi sudah begitu membahayakan masyarakat, maka perang melawan korupsi adalah wajib adanya.
Jika pendekatan syari’at pun tidak sanggup menekan atau merendahkan volume korupsi, maka jangan mengkambinghitamkan syari’at sebab syari’at yang kita yakini kebenarannya telah mutlak. Kita sebagai pengamal syari’at-lah yang telah gagal memanfaatkan syari’at untuk kebaikan hidup kita sendiri. Ingat saja, syari’at bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia.Tuhan yang punya syari’at tidak pernah rugi jika kita tidak mengikuti peta jalan hidup yang telah ditunjukkannya.
—-
*Widyaiswara BKPP Aceh