Oleh Johansyah*
Akhir bulan lalu (nopember), ketua pengurus besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo meminta pemerintah menetapkan standar minimum gaji guru honorer, saat memberi sambutan pada peringatan hari guru nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-66 di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Rabu 30 November lalu (Tempo.Com, 01/12)
Harus diakui, hal ini memang menjadi salah satu problem besar dalam dunia pendidikan kita di samping masalah lainnya, walaupun terkadang banyak yang menyepelekannya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa guru honorer itu jangan mengharap gaji, akan tetapi dituntut untuk tulus dan ihklas dalam mendidik, nanti setelah mereka diangkat jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru bisa menikmati gaji. Ya, kalau diangkat, tapi bagaimana kalau tidak?.
Sekiranya merujuk kepada Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, memang pada bagian kedua tentang hak dan kewajiban, pasal 14, ayat (1) point a, ditegaskan bahwa; dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Sayangnya, ini hanya berlaku bagi mereka guru PNS.
Lebih jauh lagi, di lapangan ternyata pembebanan kewajiban dan tugas untuk guru honorer, tuntutan disiplin, persiapan pembelajaran dan tugas lainnya sama dengan guru PNS. Bahkan banyak kita temukan bahwa betapa berat tugas yang dibebankan ke pundak guru honorer yang terkadang melebihi tugas dan tanggung jawab guru PNS itu sendiri. penulis pernah berbincang-bincang dengan seseorang yang tinggal di wilayah ketapang kecamatan Linge Aceh Tengah.
Ceritanya, suatu saat dia diminta untuk mengajar pendidikan agama di SD wilayah tersebut karena guru Agama PNS di sana tidak aktif dengan alasan terlalu jauh dari tempat dia tinggal. Walhasil, pendidikan agama akhirnya ditangani sebagian besarnya oleh guru honorer tersebut, bahkan sampai persiapan menghadapi Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Di balik itu, taukah kita bahwa yang menerima gaji rutin dari pemerintah adalah guru PNS yang malas, sementara guru honorer tadi hanya mendapatkan gaji Rp. 50.000/bulan, itupun diterima triwulan. Ya, begitulah manusia, urusan kerja kalau bisa minimalis, namun giliran pendapatan maunya maksimalis.
Kuat dugaan kita, bahwa kasus di atas tidak hanya terjadi di satu tempat, melainkan terjadi di banyak tempat. Guru honorer yang dengan keterbatasan dikomando sedemikian rupa untuk memenuhi kewajibannya, sementara hak mereka diabaikan begitu saja, karena barangkali kita menganggap dia bukan manusia yang butuh makan, pakaian dan sebagainya.
Lalu siapa yang peduli dengan nasib guru honorer?, jika terus berharap kepada pemerintah, kelihatannya kita akan terganjal dengan pengkajian, perencanaan, pengesahan peraturan mengenai gaji untuk guru honorer yang membutuhkan waktu lama dan penuh prosedur. Kita tidak tau, apakah setelah ketua PGRI mengusulkan standar gaji untuk guru honorer, pemerintah langsung merespon dan bereaksi mengkajinya secara serius, ataukah dimanfaatkan sebagai amunisi politik untuk promosi kekuasaan jelang 2014. Semoga tidak.
Menyejahterakan guru honorer
Untuk sementara dapat dipastikan bahwa belum ada garansi dari pemerintah mengenai standar gaji guru honor, kita tidak terlalu berharap banyak. Jika demikian harus ada alternatif lain dalam upaya menyejahterakan guru honorer dengan tidak mengandalkan pemerintah, tapi lebih kepada upaya internal antar guru itu sendiri.
Hemat penulis, ada dua alternatif yang dapat ditawarkan dan layak kita diskusikan terkait dengan gaji guru honorer; pertama, pemanfaatan dana zakat profesi guru. Kita tau bahwa guru PNS selama ini sudah dibebankan zakat sebesar 2.5 persen per bulannya. Mengapa dana ini tidak coba kita manfaatkan untuk membantu pembiayaan gaji guru honorer. Masalah ke kategori dan senif apa guru honorer dimasukkan dalam zakat, barangkali kita membutuhkan ijma dan fatwa ulama untuk masalah ini. Jelasnya, membayar gaji guru honorer dari zakat profesi guru sangat layak kita pertimbangkan dan kalau bisa secepatnya dapat direalisasikan.
Kalkulasinya, satu guru yang membayar zakat profesi dari total gaji Rp 4.000.000,- misalnya, maka jumlah zakat yang dikeluarkanya adalah 2.5 persen dari total gaji, sekitar Rp 100.000,-/bulannya. Maka jika batas minimal gaji guru honorer Rp 400.000,-/bulannya, empat guru PNS sudah cukup untuk membiayainya. Penulis tidak tau persis berapa jumlah guru PNS dan guru honorer semuanya, namun penulis yakin guru PNS pasti jauh lebih banyak. Artinya jika gaji guru honorer diplot dari zakat profesi, jelas tidak akan menemukan kesulitan yang berarti.
Di sisi lain, penyaluran dana zakat profesi selama ini (contohkan saja di Aceh Tengah), tampaknya belum begitu professional dan terarah dengan baik. Untuk itu, kiranya mengkaji manajemen penyaluran zakat adalah sebuah keniscayaan dan mewacanakan pembayaran gaji guru honorer dari dana profesi guru menjadi salah satu agendanya.
Tawaran yang kedua adalah gaji guru honorer diambil dari infak guru PNS setiap bulannya. Hal ini sebenarnya tidak jauh dengan tawaran pertama, di mana sumber sama-sama dari guru. Hanya saja, jika zakat memang sudah dikelola oleh Badan Baitul Mal (BBM), namun jika dana tersebut dalam bentuk infak guru PNS maka belum jelas siapa yang pantas mengelolanya.
Wajar kan?, jika guru PNS membantu guru honorer, mengapa dalam membebankan tugas guru PNS begitu mudah melakukannya, namun kenapa untuk kesejahteraan guru honorer kita tidak pernah berpikir dan merasakan penderitaan mereka. Lagi pula, banyak di antara guru PNS sebelumnya bernasib sama seperti mereka menjadi tenaga honorer yang kurang mendapat perhatian.
Selanjutnya, bagaimana pendapat dan pandangan kita (khususnya guru PNS) dalam menyikapi persoalan ini. Kata seorang teman, belajar matematika jangan hanya pintar menambah, mengali dan mengurangi, tapi bisa juga membagi. Artinya jangan untuk urusan menerima saja kita gesit, giliran memberikan bagian pada orang lain, kitapun banyak perhitungan dan pertimbangan. seperti kebanyakan pejabat saat ini lah, giliran menambah dan mengali dia bisa, tapi giliran membagi dia keberatan. Para guru PNS, bukalah mata hati kita dengan penuh ketulusan, berbagilah dengan mereka, karena tugas mereka sama dengan kita juga, yaitu mendidik. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?.
———-
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh