Tangerang | Lintas Gayo– Ada banyak kesan yang muncul, khususnya di kalangan masyarakat Gayo setelah adanya Media Online Lintas Gayo. Salah satunya, Al Mansyur, tokoh masyarakat Gayo Jabodetabek. “Ada sesuatu yang kurang, saat saya tidak membaca Lintas Gayo. Seperti orang yang bangun pagi, lalu minum kopi disertai rokok sambil membaca koran, kalau ada yang kurang, pastinya kurang lengkap. Seperti itulah Lintas Gayo bagi saya,” katanya di Tangerang Selatan, Kamis (5/1/2012)
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang (2004-2009) ini, lebih lanjut, mengibaratkan, kalau Bur ni Telong gunung tertinggi di Gayo, maka saat ini, yang ‘tertinggi’ adalah Lintas Gayo. Sebab, orang Gayo bisa melihatnya dimana pun. Bahkan, Lintas Gayo seperti ‘ruh’ bagi masyarakat Gayo. “Bisa dibayangkan kalau kita tidak punya ruh,” katanya lagi.
Saking ingin terus meng-update berita terbaru dari tanah kelahirannya, tanoh Gayo, Al Mansyur sampai mengubahsettingan HP-nya . “Di HP saya yang sekarang, kalau ada berita terbaru di Lintas Gayo, maka tampilan itu yang muncul pertama kali,” tutur Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang Selatan (2009-2014) itu.
Namun, putra Abdul Muthalib dan Hj Maunah ini agak miris, setelah mengetahui seluruh penggiat Lintas Gayo tidak berpenghasilan dari situs tersebut. Pengakuan itu didapatnya dari kontributor Lintas Gayo Jabodetabek, Yusradi Usman al-Gayoni. “Saya pikir, masalah ini perlu dicarikan solusinya,” katanya. Karena, Lintas Gayo sudah memuaskan banyak orang, terutama orang Gayo melalui informasi-informasi yang disampaikannya. Jadi, wajar mereka—penggiat di Lintas Gayo—dapat kompensasi. Apalagi, menurutnya, informasi yang disampaikan Lintas Gayo sangat up to date, mencerahkan, dan mencerdaskan.
Yang salutnya lagi, kata laki-laki yang berasal dari Kampung Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah ini, di tengah keterbatasannya, anggota Lintas Gayo masih sempat membantu sesama. Termasuk, menggerakan kegiatan-kegiatan yang cukup positif “menggugah dan mengubah” baik di Gayo maupun di luar Gayo. “Sudah meliput ke sana-ke mari dan nulis tanpa penayah (gaji), korban waktu, tenaga, dan pemikiran, mereka keluarkan lagi uang mereka. Itu kan luar biasa. Sungguh, jiwa mereka seperti malaikat,” akunya.
Padahal, sambungnya, kalau Lintas Gayo tidak ada, orang Gayo tidak akan tahu apa-apa prihal perkembangan Gayo. Lebih-lebih, yang diperantauan. Mudah-mudahan, Lintas Gayo tetap ‘hidup,’ bertahan, berkembang, maju, dan ‘tidak mati.’ Oleh sebab itu, Al Mansyur mengajak peran serta masyarakat Gayo di dalamnya. Lintas Gayo sudah menjadi bagian dari Gayo. Dengan kata lain, jadi harta bersama yang harus diselamatkan dan diwariskan.
Radio Internet
Disamping itu, saran pencipta lagu Inengku (1985) ini—terinspirasi dari ibunya yang sempat jadi Ibu Teladan Kabupaten Aceh Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh serta runner up di tingkat nasional, tahun 1979 dan dibawakan Miga Satria Gundala—sebaiknya Lintas Gayo juga tampil dalam bentuk radio ‘Radio Lintas Gayo.’ “Rasanya, mewujudkan radio internet tersebut bukan lagi sesuatu yang mustahil saat ini. Dikarenakan, harga perangkat keras dan perangkat lunaknya terbilang murah. Dan, dari segi izin pun boleh dibilang ‘zero cost,’” katanya. Dengan demikian, orang Gayo khususnya, lebih-lebih yang di perantauan, lebih mudah lagi mengikuti seluruh perkembangan tanoh tembuni.
Lebih dari itu, radio tadi dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dan pengajaran bagi seluruh masyarakat Gayo di dunia. “Seperti saya, yang beristrikan orang non-Gayo. Saat keluarga dan anak-anak mendengar siarannya, mereka pun akan tahu tentang Gayo. Ada bahasa, lagu, didong, saer, berita, dan lain-lain, sehingga secara tidak langsung, mereka pun sudah belajar tentang Gayo. Untuk mewujudkannya, InsyaAllah saya siap membantu dari sisi pendanaan,” ujarnya bersemangat (Faiz Akbar/04)