Oleh Johansyah*
SALAH satu program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) adalah uji kompetensi bagi guru sebagai syarat mendapatkan sertifikasi. Meski pun hingga saat ini, kalangan guru melakukan penolakan untuk mengikuti uji kompetensi. Menurut rencana, uji kompetensi akan dilaksanakan secara serentak pada Februari 2012 (Kompas Com, 21/01/12).
Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) Kemdikbud, Syawal Goeltom menjelaskan, ruh uji kompetensi adalah untuk membenahi empat lapisan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru. Mulai dari perekrutan mahasiswa di perguruan tinggi, proses pendidikan mereka, rekrutmen guru hingga pengurusan kepangkatan dan distribusi guru yang selama ini dinilai masih bermasalah.
Jika tujuannya untuk membenahi empat lapis yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru di atas, maka hemat penulis program tersebut bisa jadi pemborosan waktu dan duit. Justru yang perlu dirumuskan dan langsung diperbaiki adalah titik-titik lemah yang ada pada rekrutmen mahasiswa calon guru, proses pendidikan, rekrutment calon guru dan pendistribusian guru, bukan mengadakan uji kompetensi.
Lapis pertama adalah rekrutmen mahasiswa untuk calon guru. Sekiranya ditelisik lebih jauh, apakah semua perguruan tinggi memiliki standar jelas dalam merekrut mahasiswa calon guru, misalnya formulasi soal dan bentuk psikotes layak atau tidaknya mereka menjadi calon guru.
Pengalaman penulis semasa S1 dulu dan hingga saat ini, ternyata formulasi soal masuk perguruan tinggi untuk semua jurusan tidak jauh berbeda, bahkan dapat dikatakan sama, ini jelas masalah. Selain itu ada juga teman yang memilih Fakultas Tarbiyah atau Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) karena ikut-ikutan teman, dipaksa orang tua, atau karena tidak bisa bersaing di Fakultas yang dianggap lebih bergengsi seperti kedokteran, keperawatan dan lain-lainnya.
Selain beberapa persoalan di atas, ada juga perguruan tinggi dalam tahapan promosi yang membutuhkan mahasiswa. Dalam perekrutan mereka cenderung mengenyampingkan persyaratan ideal yang harus dipenuhi mahasiswa calon guru, sehingga tidak ada ukuran layak atau tidak. Penulis yakin, beberapa permasalahan di atas masih banyak kita temukan di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam merekrut mahasiswa calon guru.
Adapun lapis kedua adalah proses pendidikan untuk calon guru. Di sini penulis melihat tidak begitu banyak persoalan. Fokus perhatian kita lebih kepada inovasi kurikulum yang ditawarkan, di mana sejatinya terus diperbarui sesuai dengan dinamika keilmuan dan dinamika sosial.
Di sisi lain, persoalan yang serius justru setelah mahasiswa memperoleh gelar sarjana pendidikan yang sekaligus memperoleh AKTA IV sebagai legalitas untuk mengajar. Seharusnya AKTA IV sebagai ‘SIM’ profesi keguruan tidak diberikan berbarengan dengan penyematan gelar sarjana pendidikan pada seseorang, melainkan mereka diharuskan mendalami profesi keguruan di lapangan terlebih dahulu selama lebih kurang satu tahun. Dalam kedokteran kita mengenal istilah ‘koas’. Nah, pemberian akta empat seharusnya diberikan setelah guru menjalani ‘koas’ profesi keguruan di lapangan, sebab micro teaching dan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) jelas belum cukup bagi perguruan tinggi untuk mengakui profesi keguruan seseorang.
Lapis ketiga adalah terkait masalah rekrutmen guru. Setidaknya ada beberapa persoalan yang menjadi titik lemah dalam menyaring calon guru professional, yakni formulasi soal yang tidak menggambarkan muatan kompetensi sesuai dengan konsentrasi seseorang. Kita berani membangun sebuah hipotesis, bahkan aksioma bahwa mereka yang lulus dalam seleksi CPNS bukan berarti lebih potensial dan berkualitas dari yang tidak lulus.
Masalah serius lain yang dihadapi dalam rekrutmen CPNS, apalagi kalau bukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terlebih semenjak diberlakukannya desentraslisasi pendidikan, di mana pejabat daerah banyak yang mengutamakan saudara, kerabat, atau ‘ahli baitnya’ untuk lolos dalam seleksi CPNS walaupun secara intelektual memang tidak mampu.
Adapun lapis keempat adalah pendistribusian guru. Sekarang masalah ini menjadi salah satu sorotan pemerintah. Bahkan, saat ini pemerintah pusat telah mencabut wewenang pendistribusian guru dari daerah melalui SKB lima menteri karena daerah dianggap gagal menjalankan tugas ini dengan baik. Ini merupakan bukti bahwa pendistribusian guru memang masih bermasalah.
Jangan jadi proyek
Betul atau tidak, penulis banyak mendengar bahwa salah satu alasan mengapa Ujian Nasional (UN) sulit untuk dihapus dan bahkan pemerintah cenderung tetap memaksakan dengan berbagai dalih yang dipandang logis. Ya, penyebab utamanya adalah jika UN dihilangkan maka segelintir dari pengelola pendidikan kita akan kehilangan proyeknya, terutama bidang penggandaan soal yang memakan dana miliaran rupiah.
Apa yang ingin penulis katakan adalah, bahwa jangan sampai uji kompetensi juga jangan sampai dijadikan proyek. Soal disetting sedemikian rupa dan dirancang sebuah mekanisme yang sulit. Akhirnya terjadi negosiasi di ruangan kecil atau lewat handphone, ‘berapa anda bisa kasih pada kami?’. Sebab apapun ceritanya guru yang ikut uji kompetensi pasti ingin diluluskan, karena nilai kelulusannya sebagai syarat untuk ikut sertifikasi.
Penulis juga pernah mendapat informasi dari salah seorang teman yang baru saja mengikuti sertifikasi. Katanya, jika ingin mudah menjawab soal maka harus membeli paket soal tersebut lengkap dengan kunci jawabannya dengan bandrol harga Rp 500.000,- sampai dengan Rp 700.000,-.
Jika informasi tersebut benar, maka penulis juga mengkhawatirkan hal yang sama terjadi pada program uji kompetensi guru. Di sisi lain, penulis melihat uji kompetensi untuk guru yang belum sertifikasi tidak perlu, karena saat mereka ikut sertifikasi juga akan diuji lagi.
Untuk memenuhi harapan sebagaimana yang disampaikan pihak Kemdikbud untuk menguatkan kompetensi guru, justru yang harus dilakukan adalah penguatan lapisan-lapisan yang berkaitan dengan kompetensi guru di atas, yaitu penguatan sistem seleksi mahasiswa, proses pendidikannya, rekrutmen calon guru yang berkualitas, serta pendistribusian yang merata.
Baik uji kompetensi maupun sertifikasi, penulis nilai sebagai langkah yang belum menyentuh akar masalah profesionalisme guru. Dan titik kelemahan yang paling fatal dalam setiap program pendidikan kita adalah mindset proyek dan memanfaatkan program untuk mendapatkan fee dari pihak lain terutama guru, dengan cara membuat mekanisme dan aturan yang rumit, sehingga terjadi tawar menawar.
*Penulis adalah Mahasiswa S3 PPs IAIN Ar Raniry Banda Aceh
.