Pentingnya Mitigasi Bencana Kebakaran

Indra Setia Bakti*

RUMAH penduduk di Kabupaten Bener Meriah rentan mengalami musibah kebakaran. Tercatat dalam waktu yang sangat berdekatan telah terjadi dua musibah kebakaran besar, yakni kebakaran yang terjadi baru-baru ini di Kampung Mutiara Baru, Kecamatan Bukit (Lintas Gayo, 2/2/12) dan di Kampung Ramung Jaya, Kecamatan Permata (Lintas Gayo, 22/12/11). Setiap terjadi bencana kebakaran, akan sangat terasa dampaknya bagi masyarakat, tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga masalah psikologis.

Tidak seperti bencana alam, kebakaran merupakan bencana yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Jadi, bencana kebakaran bukan merupakan takdir, melainkan sebuah nasib buruk yang masih bisa diubah kalau kita memang punya kemauan untuk mengubahnya (bisa dilihat di dalam Al Qur’an Surat Ar Ra’d ayat 11).

Sebagai masyarakat, mungkin kita sepakat bahwa kebakaran beserta dampaknya merupakan salah satu masalah sosial yang perlu bersama-sama dicari penyelesaiannya. Terlebih lagi bahwa salah satu indikator tercapainya kesejahteraan sosial adalah sejauh apa masalah sosial yang ada dapat ditanggulangi. Rumah-rumah kita perlu dilindungi dari kerentanan terhadap bencana kebakaran.

Pola kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Bener Meriah, Tagore Abu Bakar, yakni memberikan bantuan pasca terjadinya kebakaran di dua kampung di atas bagaimanapun juga perlu mendapat apresiasi sebagai salah satu bentuk kepedulian pemerintah daerah. Namun kebijakan yang bersifat reaktif dan kuratif saja rasanya kurang lengkap. Sudah sewajarnya diperlukan upaya lain melalui kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat preventif (pencegahan).

Sementara itu, penanganan bencana kebakaran di Kabupaten Bener Meriah sesungguhnya tidak hanya menjadi tugas pemerintah daerah melalui Dinas Pemadam Kebakaran, tetapi juga diperlukan kerja sama dan partisipasi dari masyarakat setempat. Kita bisa belajar dari Kota Jakarta. Walaupun kondisi lingkungan Kota Jakarta sangat buruk, namun ada satu sisi positif yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat di sana dalam hal menanggulangi masalah kebakaran ini.

DKI Jakarta memiliki sebuah konsep penanganan masalah bencana kebakaran yang berbasis masyarakat (partisipatif) melalui Sistem Ketahanan Lingkungan terhadap Kebakaran (SKLK) di setiap kelurahan, yang salah satu manifestasinya terwujud dalam Barisan Sukarelawan untuk Kebakaran (Balakar). Balakar ini merupakan salah satu pilar yang mempunyai tugas membantu masyarakat dalam menjaga bangunan, penghuni, harta, dan lingkungannya dari ancaman bahaya kebakaran serta memberikan informasi kejadian kebakaran kepada Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta. Selain itu, Balakar juga melakukan pemadaman dini sebelum Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta datang ke tempat kejadian. Balakar juga melakukan upaya-upaya penyuluhan kepada warga, yang terdiri atas pengetahuan pencegahan bahaya kebakaran sampai operasi pemadaman sehingga masyarakat tahu apa yang mesti dilakukan bila terjadi kebakaran (Lihat skripsi Tyasti Aryandini, Universitas Indonesia, 2007).

Kegiatan di atas merupakan salah satu bentuk mitigasi bencana non-struktural, melalui peningkatan public awareness, dan kita perlu belajar dari pengalaman pemerintah dan masyarakat Kota Jakarta dalam menanggulangi masalah kebakaran tersebut.

Selain itu, sesungguhnya masih ada banyak kegiatan lain yang dapat kita lakukan dalam mengani masalah kebakaran. Misalnya secara struktural pemerintah daerah perlu melibatkan arsitek dan insinyur yang kompeten (tidak sekedar cari proyek) dalam melakukan desain, perencanaan, penataan, dan pengawasan ruang lingkungan dan perumahan penduduk. Mereka pada dasarnya dapat menilai apakah suatu pemukiman rentan atau tidak terhadap bencana kebakaran. Semua ini perlu didukung oleh legal system melalui peraturan daerah. DKI Jakarta memiliki Perda No.3 Tahun 1993 mengeni Penanggulangan Bahaya Kebakaran dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota, bagaimana dengan Kabupaten Bener Meriah?

Sementara itu, ada suatu manfaat yang sesungguhnya dapat diperoleh ketika masyarakat memiliki kecintaan terhadap tanaman. Sesungguhnya tanaman juga dapat menjadi salah satu media penghambat terjadinya kebakaran (agricultural mitigation), terutama di malam hari. Caranya yaitu masyarakat menyiram tanaman yang ada di sekitar rumah mereka masing-masing sebelum tidur.

Satu hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah masalah edukasi, terutama kepada para pelajar sebagai generasi masa depan Tanah Gayo. Pendidikan dan pelatihan mengenai bencana perlu diupayakan masuk ke dalam kurikulum sekolah. Jepang sudah melakukan hal itu sejak dulu, kenapa kita tidak?

Sebagai pelengkap rekomendasi, Tanah Gayo pada masa lalu juga memiliki satu bentuk kearifan lokal melalui keben (lumbung pangan masyarakat). Ini juga merupakan salah satu bentuk mitigasi bencana, walaupun berguna pasca terjadinya bencana. Mungkin salah satu tujuan nenek moyang kita dahulu menyediakan keben di setiap kampung adalah untuk jaga-jaga, ketika terjadi bencana, kita dapat mencegah masyarakat yang menjadi korban tidak menjadi kelaparan. Sudah saatnya kita berbenah, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Semoga kita tidak lagi menjadi bangsa yang terlambat sadar.

*Penulis adalah alumni jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia, warga Takengon

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.