Jakarta | Lintas Gayo – Ada fotret kontras yang terjadi di Indonesia, saat ini. Satu sisi, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, smiling face, dan gotong royong. Sisi lain, kekerasan marak terjadi. Demikian pengantar Muhammad Haikal, Moderator Talk Show Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang bertajuk “Amuk Massa di Tanah Air, Akar dan Solusinya” dan langsung disiarkan Radio Smart FM, di Pressroom DPD RI, Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Jum’at (3/2/2012) Dialog tersebut menghadirkan empat pembicara, yaitu Farouk Muhammad, Ichsan Malik, Arswendo Atmowiloto, dan Ismed Hasan Putro
Ichsan Malik, Ketua Institut Titian Perdamaian, menjelaskan, konflik sosial lebih kompleks dari amuk masa. Ada ketidakadilan dan dominasi di dalamnya. Juga, menyentuh wilayah politik, ekonomi, dan keamanan. Istilah tersebut kurang relevan, soalnya dipakai tahun 1960-an. Prihal aktor, amuk masa rame-rame. Sebaliknya, dalam konflik sosial, ada leader, provokator, cheer leader, dan peran lainnya.
Dosen Universitas Indonesia itu, lebih lanjut, mengatakan, reformasi yang berjalan sekarang lebih repot di nasi. Orientasinya lebih ke having, yaitu bagaimana mencari kekayaan, bukan being atau meningkatkan martabat. “Supaya dapat kekayaan dan kedudukan tinggi, nenek moyang, agama, dan budaya dijual. Problem kita terletak di kemandirian,” katanya.
Gandhi, tutur Ichsan melanjutkan, tidak membolehkan rakyat India membeli garam dari penjajah. Di masanya, Gandhi pernah menyampaikan, India akan jadi negara besar dalam 100 tahun. “Kita—Indonesia—bangsa yang besar dan kaya. Tapi, beras, jagung, garam, dan bawang saja masih diimpor. Kuncinya, ada pada pemimpin mulai dari pusat sampai daerah. Selain itu, perlu direkonstruksi lagi. Bila perlu, pemimpin sekarang dibubarkan. Tapi, kita masih punya hopes. Lebih dari itu, sambungnya, perlu conflict prevention dengan jadi conflict detector. “Kalau dibiarkan, berarti kita sudah kriminal,” katanya.
Disamping Ichsan Malik, Arswendo Atmowiloto yang ikut jadi pembicara, mengungkapkan, pada masa lalu, kekerasan berawal dari cemburu. Namun, sekarang, turunannya beda-beda. Juga, adanya proses identifikasi diri yang keliru. “Saya kurang setuju dengan istilah amuk massa. Karena, sasarannya rakyat. Kok, rakyat terus yang disasar. Kenapa tidak amuk politisi atau amuk paksa? Kalau tidak ada amuk paksa, pasti tidak terjadi kekerasan.
Oleh sebab itu, sebut budayawan itu, perlu jalan budaya sebagai pendekatan pencegahan. Soalnya, proses kreatif yang berlangsung mendahulukan komunikasi dan bukan kekerasan. Selain itu, menciptakan karya nyata dan bukan hanya wancana. Dan, tidak menganggap dirinya paling benar. Dengan demikian, diperlukan kerja sama dengan disiplin lain.
Usai Arswendo, Ismed Hasan Putro, Wakil Ketua Umum DPP HIPPI, menyebutkan, terdapat anomali tentang tren positif pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kerisauan pelaku pasar dan investor. Ketua Profesional Masyarakat Madani Indonesia itu, menilai, saat pertumbuhan tersebut, pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur dan kepastian hukum. Ismed mencontohkan sektor minyak dan gas yang lebih menguntukan asing. “Demokrasi akan rapuh tanpa pertumbuhan ekonomi. Karena, tidak mendatangkan kesejahteraan,” katanya.
Pembicara terakhir, Farouk Muhammad, Anggota DPD RI dari Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menjelaskan, social turbulence didorong adanya perubahan dan kebebasan. Juga, adanya perubahan ekonomi. Namun, kesejahteraan tidak terjadi. Lebih dari itu, terjadi ketidakadilan, khususnya hukum dan kebijakan. Saat ini, ungkapnya, terjadi dua pertentangan, yaitu politik dan nonpolitik. Alhasil, terjadilah amuk massa. “Perlu kemampuan pemimpin yang mengutamakan rakyat. Dan, pemimpin dari transaksional ke transformasional. Bukan pragmatis, dengan melakukan pembodohan dan membeli suara,” katanya.
Saat ditanya audience kemungkinan pengambil-alihan kekuasan pemerintahan sekarang oleh rakyat, Anggota Komite I DPD RI itu, mengungkapkan, benih-benih revolusi sosial tidak mencukupi dan tidak merata di seluruh Indonesia. Kalau di Jakarta, kasusnya lain. Pun terjadi revolusi, menurutnya, kemungkinan keberhasilannya kecil. (Muhammad Faiz)