Takengen-Seorang mahasiswa Gayo lainnya di Kairo Mesir selain Wein Fakhim, Khairul Ashri yang masih menunggu jadwal penerbangan ke Indonesia yang difasilitasi KBRI Kairo mengaku mulai resah berada di Negeri Nabi Musa AS tersebut karena kisruh politik yang tak ada tanda-tanda kearah lebih baik.
“Saya salah seorang yang menunggu panggilan dari KBRI untuk berangkat dari 6000 orang Indonesia lainnya,” kata Khairul Ashri bernada pesimis mengawali percakapan On Line dengan LG, Jum’at (4/2) malam
Pria asal Arul Kumer Kecamatan Silih Nara ini merasa Pemerintah Indonesia kurang serius menangani kepulangan warganya di Mesir pulang ke Tanah Air. “Setiap hari hanya satu unit pesawat yang disediakan pulang pergi Kairo – Jakarta. Kapan habisnya 6000 orang,” tukas Khairul Ashri kesal.
Menurut Khairul, pemerintah terkesan menunda-nunda proses pemulangan WNI ke Indonesia dan jika serius, dalam satu minggu sudah tuntas semua. “Sangat berbeda dengan Malaysia yang menyiapkan 4 unit pesawat setiap harinya,” banding Khairul.
Dituturkan Khairul, yang mereka khawatirkan adalah kehabisan uang untuk biaya hidup. “mendapatkan
Auto Teller Machine (ATM) sangat sulit karena banyak yang dirusak dan jikapun ada, maka pihak bank enggan menyediakan uangnya. Memang ada ATM yang aktif tapi sangat sulit mencapainya lagipun antriannya sangat panjang,” kata Khairul.
Untuk berbelanja juga sudah mulai sulit, toko-toko banyak yang tutup karena takut juga karena tidak punya persediaan barang yang dijual. “Jalan-jalan dari kabupaten menuju Kairo sudah ditutup sehingga tak ada suplay barang kedalam kota Kairo,” jelas Khairul.
Beruntung, katanya lebih lanjut, tempat agak jauh dari pusat kota sehingga masih ada toko makanan yang menyediakan makanan tapi sama saja jika uang kami sudah menipis. “Kebersamaan yang kami selalu jaga sesama putra Aceh ada 6 orang,” ujar Khairul yang mengaku tidak berani keluar rumah karena khawatir jadi sasaran sweeping dan penjarahan oleh demontran.
Seorang mahasiswi asal Aceh sempat dijarah uangnya. Para demontran juga sempat menahan staf KBRI selama beberapa jam.
Kepada Pemerintah Indonesia, Khairul dan rekan-rekannya berharap walau belum memungkinkan secepatnya dipulang ke Indonesia, ke Negara yang aman juga sudah sangat lumayan karena suasana di Kairo memang sudah sangat tidak menentu. Apalagi saat malam hari sangat sepi karena sudah diberlakukan jam malam dari Maghrib hingga Shubuh.
Untuk ke KBRI, Khairul dan kawan-kawan juga tidak berani karena waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Mereka bersyukur ada secretariat Keluarga Masyarakat Aceh (KMA) yang hanya terpaut 500 meter dari kantor tersebut.
Diakhir percakapan On Line tersebut, Khairul ingin menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah pelit dalam memberikan beasiswa, terutama untuk biaya pendidikan keagamaan. “Semoga Pemda kita itu kedepan tidak pelit lagi beri beasiswa,” harap Khairul yang menempuh pendidikan di Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah di Banda Aceh ini.
Sementara itu, orang tua Khairul, M Aris yang dihubungi dengan telepon selularnya, Sabtu (5/2) pagi mengaku sangat cemas dengan keadaan anak keduanya di Kairo Mesir. “Saya dan istri saya kerap menangis, apalagi saat menunaikan shalat. Kami berharap pemerintah dapat menambah keloter untuk pemberangkatan kepulangan anak-anak kami ke Indonesia. Khususnya kepada Pemerintah Aceh, kami sangat berharap bisa turun tangan memulangkan putra-putri Aceh sesegera mungkin,” pungkas M Aris seraya mencontohkan negara Malaysia dan Amerika yang serius memulangkan warga.(yy/AZa)