Oleh: Drs. Jamhuri, MA*
TEOLOGI perbedaan dalam kehidupan manusia terkadang melahirkan kesalahan pahaman terhadap makna perbedaan itu sendiri, sehingga semua perbedaan dianggap sebagai perlawanan. Laki-laki diperlawankan dengan perempuan, malam diperlawankan dengan siang, muslam diperlawankan dengan non muslim, demikian juga dengan muda diperlawankan dengan dengan tua, dan sehat diperlawankan dengan sakit.
Seorang laki-laki yang terlahir sebagai laki-laki selalu menunjukkan jati diri bahwa ia adalah orang yang lebih sempurna dari perempuan, ia berupaya menemukan bukti bahwa perempuan itu memiliki ketidak sempurnaan dan berupaya menjadikannya sebagai orang nomor dua dalam posisinya sebagai manusia, sedangkan Tuhan menghendaki kesamaan diantara mereka. Sebaliknya juga perempuan yang menganggap diri sebagai orang nomor dua, tidak berupaya mempersiapkan diri menjadi setara dan seolah menerima apa yang dipolakan dalam pemahaman selama ini, sehingga merasa memadai dengan pengetahuan yang didapat. Riskannya nanti ketika laki-laki yang menjadi pasangan hidup telah tidak bersama lagi, sedang persiapan sebagai bekal mandiri tidak dipersiapkan.
Terlepas dari hal tersebut, masalah perbedaan dan perasaan bahwa apa yang ada pada diri lebih benar dari orang apa yang dimiliki orang lain tidak hanya tercermin dalam hubungan sesama manusia, tetapi juga tampak dalam membina hubungan sebagai makhluk dengan Khaliknya. Seperti orang yang berkeyakinan dengan suatu keyakinan yang benar tidak pernah menghargai keyakinan orang lain yang belum tentu salah dalam pandangan Tuhan, karena keberagaman keyakinan juga sebenarnya merupalah kehendak Ilahi.
Namun disadari juga bahwa pengetahuan tentang perbedaan juga merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai keterbatasan ilmu pengetahuan terhadap sesuatu yang juga diciptakan Tuhan. Manusia harus belajar untuk mengetahui bahwa perbedaan itu pada suatu waktu tertentu akan tidak ada atau juga manusia harus mencari persamaan dari sebuah perbedaan dan akan selalu menyembunyikan perbedaan yang ada. untuk masalah-masalah tertentu ini cukup dengan menyebutnya sebagai toleransi, tetapi untuk hal-hak lain mungkin tidak.
Seorang muslim ketika mendengar kata non muslim mereka lebih sering menganggap sebagai lawan yang tidak pernah dapat dipertemukan dan dipersatukan, demikian juga sebaliknya ketika non muslim mendengar kata-kata muslim selalu memunculkan kecurigaan dan berupaya mempengaruhi orang lain untuk berkeyakinan sama dengan dia.
Untuk masalah keberagamaan perlu kita temukan prinsip toleransi, sehingga perbedaan agama dan keyakinan yang sebenarnya merupakan hubungan antara Tuhan dan manusia tidak terbawa kepada hubungan antara sesama manusia.
Diantara prinsip yang membentuk adanya toleransi tersebut adalah penyebutan kata kata ahlul kitab, dimana kata ini biasa hanya ditujukan kepada agama tetrtentu yaitu Yahudi dan Nasrani, mereka ini dibedakan dengan agama-agama lain dalam pandangan muslim karena beberapa hal dari mereka yang mendapat pengakuan dalam al-Qur’an, seperti kehalalal binatang sembelihan dan kebolehan laki-laki muslim menikah dengan perempuan dari mereka.
Pemaknaan terhadap ahlul kitab sebagaimana disebutkan menumbuhkan sikap toleran dikalangan kaum muslim, dengan upaya menemukan adanya persamaan diantara muslim dengan non muslim sehingga dapat menjadikan mereka sebagai bagian dari kehidupan muslim. Kendati secara keyakinan dibuat batasan bahwa antara keduanya berbeda, hal ini kita lihat ketika pengakuan bahwa laki-laki muslim dapat menikah dengan perempuan ahlul kitab dan sebaliknya tidak dibolehkan.
Kita percaya bahwa keragaman keyakinan bukanlah merupakan kehendak manusia semata, tetapi lebih kepada kehendak Tuhan, karena Tuhan menyebutkan bahwa “Jika Ia menghebdaki, niscaya semua manusia yang ada di bumi akan beriman seluruhnya. Hendak kau paksa jugakah orang supaya beriman ?” X: 99.
Pernyataan Tuhan tersebut dipahami bahwa pada diri manusia ada potensi yang diberikan oleh Tuhan, yang berfungsi menjadikan diri mansia itu beriman kepada Tuhan dan juga menjadikan diri tidak beriman. Karena itu pengadilan dan hukuman terhadap pemilihan keyakinan yang salah harus diarahkan kepada Tuhan sendiri, sebagaima difirmankan : “Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk” XVI: 125. Dan juga pengakuan kebenaran dari pemilihan keyakinan yang telah dipilih oleh manusia.
Alasan lain kenapa pengadilan terhadap benar salahnya sebuah pilihan keyakinan diserahkan pekada Tuhan, adalah karena keyakinan yang kuat tersembunyi dibali prilaku yang beragam banyaknya, mungkin nampaknya benar secara zhahir padahal sebalik bertentengan secara bathin, terkadang nampaknya hidup dalam ketulusan dan kejujuran padahal bertentangan dengan kebenaran keyakinan. Untuk itu kepasrahan sejati yang spenuhnya diserahkan kepada Tuhan.
Bahwa kekeliruan keyakinan secara zhahir haruslah ditentukan oleh Tuhan sendiri dan tidak ada pemaksaan koreksi dari selain Tuhan. Manusia dalam potensinya untuk memilih hanya dapat mengoreksi dan mengatakan benar dan salah dengan tidak ada pemaksaan.
Untuk membangun sebuah teologi toleransi adalah dengan sikap saling menghormati antar komunitas manusia beriman, dalam tataran manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi berbeda dalam menentukan pilihan. Keberagaman keyakinan yang dipilih manusia merupakan kewenangan Tuhan untuk mengadilinya serta memutuskan apakah menjadi pilihan keyakinan yang benar atau salah.
*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh