“Barang siapa yang mangerjakan kebaikan walau seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat(membalas)nya” (QS. ALZALZALAH 99:7).
SAAT ini banyak kalangan mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang mulai merasa prustasi, dilema, galau dan entah apa lagi bahasa keren anak muda jaman sekarang yang bisa kita jadikan sebagai kata yang cocok untuk mewakili kata istilah risau karena adanya peraturan baru mengenai syarat kelulusan bagi S1, S2 dan S3. Syaratnya adalah harus menerbitkan jurnal ilmiah, aturan ini tertuang dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012, yang diedarkan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS di seluruh Indonesia. Surat tersebut ditandatangani Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Djoko Santoso, dan akan mulai berlaku pada Agustus 2012.
Inti dari surat tersebut adalah mahasiswa S1, S2, dan S3, diwajibkan membuat jurnal ilmiah serta mempublikasikan dalam jurnal sebagai syarat kelulusan. Tak elak, semua mahasiswa di seluruh penjuru nusantara berontak karena mengatakan ini sebagai sebuah kezaliman terhadap mereka yang S1, bukankah aneh mereka mengangap ini sebuah kezaliman, sedangkan peraturan ini di buat agar memudahkan mahasiswa sebagai agent of change merubah pola pikir masyarakat dengan hasil yang mereka keluarkan/telitinya. Sedangkan S2 dan S3 sudah lama melaksanakan program ini sebagai suatu cara penyampaian atau publikasi kepada masyarakat tentang hasil penelitian mereka sehingga kurang lebih akan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu sehingga bisa merubah gaya pikir masyarakat atau main set masyarakat tentang suatu masalah atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan nyata sehingga membawa efek yang baik bagi pengambil kebijakan di negeri ini.
Ketakutan dan kecemasan akan hal yang dapat memajukan budaya, bukankah ini sebuah keanehan dimana Menteri Pendidikan mengeluarkan peraturan ini sebagai antisipasi dari plagiat yang kian menjamur di seantero negeri ini, di tambah lagi dengan banyaknya mahasiswa yang membuat skiripsi dan tulisan hasil dari orang lain, untuk membuat gelar kita menjadi lebih afdhol ibarat makan kalau tidak minum tentu akan terasa menyiksa. Banyaknya profesor-profesor dan para akademisi yang tidak lagi menulis kembali setelah ditetapkan sebagai profesor , peneliti, dosen dll, dengan berbagai macam alasan yang jauh dari kata logika seperti jam yang padat, keluarga, jabatan yang numpuk hal ini menyebabkan kurangnya pentransferan ilmu untuk masyarakat umum.
Budaya tulis orang Jepang sangat jauh dari kita mereka mempunyai masyarakat yang senang belajar (learning society) dan masyarakat yang terbuka akan informasi (well informed),sangat jauh dari pada kita, kita tau masyarakat Jepang adalah masyarakat yang sibuk sekali, tapi setiap tahun Jepang menghasilkan 65.000 judul buku, Inggris 110.000 judul buku pertahun sedangkan Indonesia hanya mampu membuat 10.000 buku pertahun dengan jumlah masyarakat 230 juta jiwa bahkan pada tahun 1973 dulu Indonesia pernah di landa kemarau buku.
Di SMA mereka menanamkan budaya membaca satra yang tinggi untuk menumbuhkan niat tulis dan baca sehingga dapat menghasilkan tulisan apa saja untuk menambah koleksi buku mereka di Singapura 6 buku sastra, Brunai 7 buku, Thailand 5 buku, Jepang 15, Amerika 32 buku, Kanada 13buku, Prancis 20 buku, Belanda 30 sedangkan Indonesia hanya 1, bahkan mungkin di pelosok tidak ada sama sekali, inilah cermin lemahnya budaya menulis di kalangan para generasi muda yang di harapkan mampu menganggkat kejayaan bangsa, sedangkan untuk korupsi Indonesia berada di divisi utama layaknya pertandingan bola yang di selenggarakan PSSI.
Sebenarnya gerakan menulis ini membawa efek positif yang luar biasa dalam kehidupan social masyarakat, karena masyarakat kita cenderung merindukan hasil tulisan dan penelitian para akademisi dari berbagai cabang keilmuan untuk membawa sedikit pengetahuan tentang masalah-masalah yang sedang mereka hadapi, khususnya masalah-masalah pertanian dan pendidikan karena kebanyakan masyarakat kita sangat awam dalam bidang pertanian dan pendidikan ini, seperti bangaimana cara memilih bibit kopi varietas unggul, bagaimana memilih tanah yang subur yang cocok di tanami tanaman kopi, palawija dan lain sebagainya sehingga bisa meningkatkan hasil produksi pertanian mereka.
Kita kaya akan budaya, seperti budaya gayo lainnya yang belum di expose media karena kelemahan kita dalam menuliskan hasil budaya kita sehingga tak sepantasnya jika kita selalu menyalahkan anak-anak sekarang tidak mengerti bagaimana bahasa gayo yang baik dan benar, dongeng-dongeng (kekeberen) yang mulai tidak bisa di ceritakan lagi oleh orang tua sekarang, tutur (panggilan) yang mulai hilang dalam masyarakat kita dan mungkin entah apa lagi yang akan hilang. justru sekarang ini orang-orang dari luar yang banyak mengkaji dan menulis tentang budaya kita karena rendahnya pengetahuan kita tentang masalah ini dan dibarengi dengan tidak tersedianya buku-buku yang menunjang tentang hal ini, sehingga budaya kita terus terkikis oleh budaya luar yang tidak bisa kita bendung lagi karena kelemahan kita tidak mau menulis tentang khasanah budaya kita sendiri, ini salah satu bentuk percepatan pemunahan budaya.
Saya rasa mahasiswa tidak perlu risau dengan masalah ini khususnya mahasiswa yang sedang dalam masa penyelesaian tugas akhir (skripsi) karena kita harus menjawab segala tantangan yang di bebankan kepada kita sebagai agen perubahan dengan menjalankan tridharma perguruan tinggi, karena disinilah letak keistimewaan seorang mahasiswa.
*mahasiswa asal Bener Kelipah di Bandung