Oleh Johansyah*
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Mohammad Nuh menegaskan, pihaknya (Kemdikbud) bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) siap menggelar Ujian Nasional (UN) jujur dan kredibel dibanding tahun-tahun sebelumnya (Waspada, 16/04).
Pernyataan ini tentunya tidak akan keluar dari mulut seorang Muhammad Nuh jika tidak berkaca pada pengalaman masa lalu dalam UN yang penuh kebohongan. Tidak dapat pungkiri, bahwa pengalaman dari penyelenggaraan UN yang telah lewat kredibilitasnya masih diragukan dan dipertanyakan. Penulis bahkan melihat bahwa UN sebenarnya didesain oleh para pejabat daerah untuk menjaga reputasi vertikal dan ajang untuk mempertahankan prestise, bukan kemudian berusaha meningkatkan prestasi pendidikan.
Banyak kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah yang hanya berpikir untuk meluluskan siswanya seratus persen sehingga dianggap berhasil. Secara kuantitas hal ini boleh jadi menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Namun dari segi kualitas lambat laun akan terlihat, apakah yang lulus dalam kuantitas yang banyak akan teruji kualitasnya dalam jumlah itu juga. Ajang pembuktiannya adalah lembaga pendidikan tinggi yang menerima calon mahasiswa atau dunia kerja yang membutuhkan tenaga mereka yang menguji mereka secara objektif, di sana akan terlihat secara nyata kemampuan mereka.
Dalam beberapa kesempatan, penulis berbincang-bincang dengan seorang guru bahasa Inggris yang suatu ketika diminta oleh kepala sekolahnya untuk cepat datang ke sekolah karena mata pelajaran yang diajarkannya akan diujikan pada hari itu. Lalu penulis bertanya, apa hubungannya dengan ibu, bukankah soalnya sudah disiapkan, pengawasnya juga telah ada, dan jadwalnya sudah dibuat oleh panitia?. Lalu guru itupun membeberkan bahwa dia diminta untuk menyiapkan kunci jawaban untuk anak-anak.
Barangkali kita semua punya cerita tentang aneka skenario manipulasi UN yang tidak lain bertujuan untuk meluluskan sebagian besar siswa dalam UN. Model permainan seperti ini tentunya merupakan tindakan ‘nakal’ yang mencederai dunia pendidikan kita. Rasanya sebuah kesia-siaan ketika guru mengajarkan siswa-siswanya untuk jujur, sementara dalam waktu yang sama guru dipaksa untuk menyingkirkan kejujuran itu sendiri.
Anehnya, saat ini sudah banyak juga orang tua yang mendukung upaya pembodohan tersistematis yang dilakukan sistem pendidikan kita. Tentu kita masih ingat, kasus tahun lalu yang menimpa Nyonya Siami dan keluarganya, warga Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Ternyata niat baiknya untuk melaporkan perbuatan curang sejumlah siswa SDN Gadel 2 Surabaya kepada kepala sekolah, atas perbuatan menyontek massal siswa sekolah tersebut justru dianggap mencemarkan nama baik sekolah.
Rasanya, dalam pelaksanaan UN sistem pendidikan kita memang memobilisasi kebohongan demi kepentingan segelintir orang. Maka tidak heran kemudian jika UN diwacanakan menjadi tiket untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), banyak yang merasa keberatan dan cenderung menolaknya. Katakan saja Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Yogi Sugito dan Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Dr Sudjarwandi yang secara umum menilai bahwa UN belum layak untuk dijadikan tiket untuk masuk PTN karena banyak hal yang perlu dikaji (Kompas. Com, 21/01).
Melihat kenyataan dalam pendidikan saat ini, barangkali pengembangan pendidikan karakter saat ini harus diprioritaskan untuk para administrator pendidikan kita, buka kepada para siswa karena yang tidak berkarakter itu adalah para pengelola pendidikan kita, atau mereka-mereka para yang terdidik yang menduduki jabatan penting dalam bidang pendidikan di pemerintahan.
Yang jelas, sekiranya tingkat kredibilitas UN tahun ini tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya dan masih diragukan, maka alangkah ruginya anggaran dana Rp 600 milyar yang dianggarkan untuk UN tahun ini. lagi-lagi kemudian, dana yang besar tidak berimplikasi terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Prioritas Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu core penting yang harus menyatu dalam proses pelaksanaan UN tahun ini. semua pihak harus melandasinya dengan kejujuran, baik guru, anak didik, pengawas UN, dan pengelola pendidikan. Dalam hal apapun, apalagi dalam dunia pendidikan, kejujuran merupakan sebuah keniscayaan dan itu merupakan gerbang utama keberhasilan pendidikan.
Terjungkalnya mutu pendidikan yang menempatkan Indonesia ke zona degradasi di tingkat Asia maupun Asean saat ini, hemat penulis salah satunya dipicu oleh kebohongan-kebohongan administratif yang secara kuantitas selalu mengatakan bahwa mutu pendidikan Indonesia bertambah baik, dan hal ini secara kualitas tidak bisa dibuktikan.
Dengan kata lain, UN yang dilaksanakan selama ini tidak mengutamakan moralitas, sehingga dinamika pendidikan kita berubah menjadi ajang sulap kualitas pendidikan, terlihat hebat padahal biasa. Atau tak ubah seperti iklan murahan yang menarik perhatian seperti di televisi, setelah orang menggunakan produknya tidak ada hal yang istimewa sedikit pun sebagaimana yang digambarkan dalam iklan tersebut.
Jika kejujuran kita singkirkan dalam proses pendidikan, maka sebenarnya untuk apa pendidikan?. Bukankah pendidikan itu untuk memanusiakan, dalam arti bahwa pendidikan merupakan proses pematangan mental ruhaniyah. Lalu jika kecurangan dibiarkan merambah dan membudaya dalam dunia pendidikan kita, bukankan itu sama dengan upaya dehumanisasi yang menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya dan membuat anak didik kita tumbuh menjadi generasi yang bermental curang pula?.
Maka untuk itu, moralitas perlu ‘diundang’ kembali dan ditempatkan dalam singgasana tertinggi dalam dunia pendidikan kita, sehingga wajah pendidikan di negeri ini secara bertahap dapat berubah menjadi lebih baik. UN hanyalah evaluasi akhir untuk mengetahui tingkat kemampuan anak-anak didik kita. Semestinya yang kita lakukan adalah menilai mereka apa adanya, jika kemampuan mereka masih rendah maka tugas kita bersamalah untuk memperbaikinya.
Penulis yakin lulus seratus persen secara kuantitas yang ditempuh dengan cara manipulatif justru akan memperumit kita untuk menata pendidikan karena kita tidak menemukan titik lemah yang sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Untuk itu, semoga para konseptor, pemerhati, praktisi pendidikan, dan semua yang terlibat dalam pendidikan memiliki rasa malu untuk berpikir dan bertindak manipulatif dan mengakhiri kebohongan yang selama ini sudah tumbuh dalam dunia pendidikan kita, terutama dalam proses UN, agar pendidikan lebih baik.
*Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Bener Meriah