Berinteraksi Dengan Al Qur’an

Oleh Johansyah*


Hampir di pastikan semua umat Islam memiliki dan menyimpan alqur’an di rumah mereka masing-masing. Namun demikian siapa yang menjamin bahwa setiap hari semua pemilik membacanya. Jangankan setiap hari, barangkali banyak di antara orang Islam yang tidak pernah selama sebulan atau sepanjang tahun dengan berbagai dalih dan alasan.

Alqur’an kita yakini sebagai petunjuk, pembeda, penjelasan tentang berbagai hal yang melibatkan manusia dengan semesta ini. Selain itu diyakini sebagai pedoman hidup bagi umat Islam. Dengan meminjam istilah Komarudin Hidayat, alqur’an sebenarnya adalah mitra dialog yang professional. Sejatinya manusia mendialogkan segala persoalan hidup kepada alqur’an dan menyandarkan diri pada arahan dan petunjuknya.

Barangkali banyak yang belum menyadari, bahwa ketika kita membaca alqur’an sir atau jihar, pada hakikatnya ada yang sedang berbicara pada kita, dan Dia itu tidak lain adalah Tuhan alam semesta. Ketika membaca, sebenarnya kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan walaupun wujud-Nya tidak dapat kita lihat secara kasat mata.

Lihatlah perilaku umat negeri ini yang semakin jauh dari tuntunan kitab sucinya. Alqur’an tidak lagi digunakan sebagai instrumen evaluasi untuk mengukur benar-salah maupun baik-buruk melainkan bergantung kepada konsensus sosial, perilaku yang salah akan dibenarkan asalkan disepakati dan dikerjakan secara jama’ah, itu semua seolah tidak jadi masalah.

 Penulis teringat dengan Prof. Yusni Saby, salah satu Guru Besar di IAIN Ar-Raniry, dalam kuliah Metodologi Studi Islam, beliau pernah mengajukan pertanyaan; sekiranya dipersentasekan, maka berapa persenkan ajaran-ajaran alqur’an yang telah kita amalkan?, minsalnya tolong menolong, menghargai, disiplin, humanis, toleransi, tanggung jawab, bersih, menjaga kehormatan dan ajaran-ajaran suci lainnya. Semua yang mendengar terdiam sesaat lalu kemudian mengemukakan argument masing-masing.

Harus diakui bahwa problema besar umat saat ini adalah sulitnya membumikan ajaran alqur’an dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah renungkan, jika alqur’an mengajarkan kita untuk tidak merendahkan sebuah kelompok maka yang terjadi hari ini justru maraknya upaya saling menjatuhkan, menggunting dalam lipatan, menjelek-jelekkan kelompok lain dan sebaliknya membela diri serta menutupi kesalahan.

Jika alqur’an mengamanahkan kepada kita untuk memperkokoh ukhuwwah islamiyah, maka yang banyak terjadi hari ini adalah perpecahan dan pertikaian dalam Islam itu sendiri disebabkan perbedaan dan ambisi serta egoisme yang tak terkendali.  Jika alqur’an mengajarkan toleransi dan tolong menolong pada umat, maka yang terjadi saat ini adalah maraknya pola hidup hedonis dan materialis. Kepedulian kita terus terkikis, seolah-olah tidak membutuhkan keberadaan manusia lain dalam kehidupan kita.

Alqur’an mengajak umat ini untuk bersih, namun ketika kita melihat toilet atau WC masjid dan meunasah perkampungan, sekolah-sekolah serta pemukiman umat Islam banyak yang masih tidak terurus dan baunya minta ampun. Demikian halnya bahwa alqur’an mengutamakan akhlak atau moral bagi seorang muslim sebab itulah yang menjadi ikon manusia ideal di mata Tuhan. Pada kenyataannya, yang terjadi saat ini justru kemerosotan atau dekadensi moral mulai dari anak-anak, remaja maupun orang tua, baik di pemerintahan maupun dalam masyarakat. Jika dulu Nabi Saw diutus untuk memperbaiki perilaku manusia, maka sekarang siapa yang kita harapkan selain kesadaran diri sendiri untuk memperbaikinya.

Dijamin bahwa tidak ada yang salah dengan pesan-pesan dalam alqur’an. Kesalahan tersebut terletak pada umat Islam sendiri yang tidak serius  menjadikan alqur’an sebagai pedoman hidup. Mereka tidak pernah berinteraksi dan berdialog dengan alqur’an serta menanyakan solusi dari masalah kehidupan yang membelitnya. Dan yang jelas mayoritas umat Islam tidak lagi menganggap alqur’an penting dalam kehidupan mereka.

Kembali Pada Alqur’an

Muhammad Abduh berpendapat bahwa kelemahan dan kemunduran umat Islam serta hilangnya kejayaan mereka di masa silam adalah karena mereka berpaling dari petunjuk alqur’an. Maka untuk memperoleh kembali kejayaan, kepemimpinan dan kehormatan hidup, jalan yang harus ditempuh ialah kembali kepada petunjuk kitab suci serta berpegang teguh kepadanya. Jelasnya, umat Islam harus menggunakan tuntunan alqur’an dalam semua aspek kehidupan.

Kembali kepada alqur’an yang dimaksudkan oleh Abduh di atas bukanlah sekedar menyemarakkan kegiatan dan even musabaqah, atau sekedar menghidupkan kembali budaya mengaji serta memperbanyak majelis taklim. Lebih dari itu, makna kata kembali harus dipahami secara mendalam dan luas. Hemat penulis, kembali kepada alqur’an artinya menjadikan kitab suci ini sebagai sumber utama pengembangan pengetahuan, sekaligus menjadikannya sebagai standar utama dalam menilai bagus-jelek, baik-buruk, maupun benar-salah.

Selama ini kita sudah terlalu kenyang, sekaligus terlena dengan pengembangan fikih ibadah yang pada intinya hanya melahirkan khilafiyah dan upaya mempertahankan pendapat dengan menampilkan dalil-dalil dan hadits sebagai pendukung. Sementara di sisi lain kita lapar dengan pengembangan ilmu-ilmu lain yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam alqur’an seperti ekonomi, politik, sosial budaya, ilmu eksakta, teknologi sains, filsafat, pendidikan, hukum, antropologi dan ilmu-ilmu lainnya.

Kembali kepada alqur’an bukan pula sekedar diwujudkan dengan penguasaan kitab kuning, tafsir atau penguasaan kitab-kitab fikih klasik, melainkan adanya upaya serius dari umat Islam sendiri untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu yang lebih bersifat horizontal-sosial praktis sehingga dapat membumi dan menyatu dalam tatanan budaya dan menyentuh kebutuhan masyarakat. Bukan saatnya lagi kita membesar-besarkan fikih ibadah yang hanya menonjolkan egoisme dan khilafiyah. Kita harus berpikir bagaimana caranya orang sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, persaudaraan, kerukunan serta sadar akan pentingnya mengembangkan teknologi dan sains untuk kebutuhan sehari-hari. Bukankah ayat-ayat kauniyah begitu luas dan menyimpan banyak ilmu Tuhan yang masih misterius, lalu mengapa kita enggan untuk mempelajarinya, mengapa kita terlalu fokus dan berlama-lama dalam mengkaji bahasan yang sangat kecil dari alqur’an?.

Akhirnya, alqur’an harus dijadikan sebagai referensi utama umat dalam membangun dan menata kehidupan serta dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, di samping menjadikannya sebagai standar utama dalam menilai setiap amal yang kita perbuat. Mari baca alqur’an, pahami, cari dan terus gali  ilmu-ilmu Tuhan yang tidak terhitung jumlahnya. Dan yang lebih penting adalah mengamalkannya.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. saya sependapat bahwa kita harus kembali pada pemahaman kandungan Al-qur’an, tetapi sangat disayangkan bahwa kajian-kajian tentang Al-qur’an sangat terbatas. bagaimana kita akan memahami kandungan Al-qur’an jika tidak ada wadahnya. contohnya banyak TPA yang mengajarkan tentang baca Al-qur’an tetapi lanjutannya hampir tidak ada. Mari kita berpikir untuk menciptakan generasi penerus yang melek Al-qur’an