Asyiknya Jadi Wartawan (18) : Dari Bombay ke Ayodhia

 

Oleh Luqman Hakim Gayo*

 

DUA kota penting yang harus saya kunjungi adalah Bombay dan tentu saja Ayodhia. Siang itu saya mengunjungi stasiun Kereta Api Pusat di New Delhi. Sebuah stasiun besar, berlantai dua. Lantai bawah untuk penjualan tiket kereta regular, kereta kelas dua. Calon penumpang antri di semua loket. Para pedagang juga memenuhi pelataran stasiun ini.

Di ujung plaza stasiun, mata air memancar deras ditunggu oleh seorang wanita. Ia asyik mengisi botol-botol plastik yang berjejer, kemudian disambar pemiliknya dan segera berlari ke kereta yang akan berangkat. Air kran yang memancur itu dijamin sehat dan bisa langsung diminum. Satu lagi kelebihan di India. Air itu tidak dijual, tetapi ada juga yang memberi uang kepada wanita si pengisi botol, itu sekedarnya.

Saya harus naik ke lantai II untuk pesanan tiket jarak jauh dan kereta agak bagusan. Seperti biasa dengan memperlihatkan passport, lalu ticket saya peroleh dalam waktu sebentar dengan harga 1.170 rupee.. Kereta akan tiba di NewDelhi pukul 15.00 petang dan berangkat menuju Bombay satu jam kemudian. Dari pada terlalu merepotkan sendiri, sejak pagi saya sudah ke Stasiun. Menikmati hiruk pikuk begini, sambil melihat ulah para calon penumpang India, saya sudah nongkrong menunggu kereta.

Benar. Kereta datang sesuai jadwal, penuh sesak. Namanya Rajdhai Express, alias Sleeper AC. Ada yang menarik. Petugas perjalanan dengan sigap menempelkan daftar nama di semua gerbong. Para calon penumpang melihat sendiri nama-nama mereka. Termasuk saya. Diantara nama-nama Singh dan Kumar itu, terselip sebuah nama Luqman Hakim Gayo di Gerbong 2 nomor 13. Saya melangkah ke dalam gerbong dan menemukan tempat tidur sesuai nomor yang tertera.

Ketika kereta mulai berangkat, diselingi lagu India, pelayan membagi termos yang berisi satu setengah gelas. Tinggal pilih, teh, kopi atau susu.  Kemudian disusul oleh pelayan yang membagi-bagikan makanan kecil dalam piring. Akhirnya, petugas lain datang membawa dua bantal dan satu selimut untuk masing-masing penumpang. Ditambah satu sprei dan satu handuk, persis seperti di hotel. Lalu, orang-orang cuci muka sebelum tidur. Tetapi, makan malam dinikmati dulu, sup, ayam dan nasi. Ah, tidak rugi naik kereta ini. Lagu India terus mengalun semalam suntuk.

Di setiap gerbong ada dua kamar mandi. Jadi tidak lama ngantrinya. Apalagi mereka-mereka bangunnya siang. Dapat lagi teh manis, roti, telor dan susu yang datang bergiliran. Tidak ada pelayan wanita. Sekitar pukul 08.00 pagi, akhirnya tiba di kota Bombay.   Tidak lama menjinjing kopor, dua orang pegawai Konsulat Jenderal RI sudah menunggu. Mereka berpakaian olah raga, karena hari Minggu. Berolah raga sambil menjemput saya. Saya dibawa ke Konjen, berkenalan dengan Kepala Konjen dan kemudian disinilah saya bermalam untuk beberapa hari.

Setiap hari saya pergunakan untuk berwawancara dengan pejabat-pejabat di Konjen. Kadang-kadang saya keluar, sambil mencari orang-orang Indonesia. Kami berkesempatan nonton bioskop bersama. Umumnya, mereka senang dengan kedatangan orang baru dari Indonesia. Sebab, kehausan akan berita terbaru bisa langsung diperoleh dari sumber yang lebih pasti.

Iqbal, pemuda muslim India menjadi pengemudi tetap di Konjen. Dengan dialah saya sering berkeluyuran ke kampung-kampung Islam di tengah-tengah Bombay. Umat Islam hanya 12 persen dari 12 juta penduduk, katanya suatu saat. Tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi tidak ada perhatian pemerintah. “Kami tak mendapat kesempatan menjadi PNS, termasuk polisi dan angkatan bersenjata. Kami tenggelam dalam kemiskinan”, kata Iqbal.

Ketika itu bulan puasa. Hampir semua madrasah membuka diri untuk menerima zakat, infaq dan sadaqah. Sekolah-sekolah Islam itu terjepit diantara pemukiman kumuh, yang sering terbakar. Kalau perkampungan lain terbakar, dinas pemadam langsung turun tangan. Tapi kalau perkampungan Islam, dibiarkan saja sampai habis, kata Iqbal.

Tetapi diantara kepadatan rumah-rumah itu, ada pasar pakaian dan tekstil. Berjajar hampir sepanjang dua kilometer, seperti di Pasar Tanah Abang Jakarta. Ketika azan bergema, semua kios-kios kecil itu mengeluarkan makanan mereka ke tengah jalan, memanggil calon pembeli untuk berbuka puasa bersama. Siapapun yang lewat, bisa berbuka secara gratis.

Di Konjen sendiri, saya suka berhandai-handai dengan sejumlah karyawan. Termasuk juru masak. Seorang ibu gendut yang sudah berkeliling dunia, berkat keahliannya memasak. “Tetapi saya tidak bisa pulang, mas. Ongkosnya tidak kuat. Lebih baik saya kirim uang ke kampung, dari pada buat ongkos. Biarlah saya melanglang buana kemana saja, sambil menahan rindu. Sekali tukang masak, tetap juru masak,” katanya terbahak-bahak. Tapi ada duka dibalik tertawa itu.

Akhirnya, saya menerima saran pak Wahyu, kepala Konjen RI di Bombay, untuk berhari raya disini saja. Inilah puncak kesedihan yang saya alami selama beravonturir. Tidak ada takbir, sepi sendiri, ditambah rindu kepada anak-anak di Indonesia. Bersama pak Kepala Konjen kami menelusuri jalan raya dengan tenang di 1 Syawal itu.. Tampak polisi berjaga-jaga dari keributan yang bisa saja muncul. Rupanya, pertikaian Hindu-Muslim belum juga reda.

Ada beberapa lokasi shalat Ied yang sebenarnya bisa dicapai. Apalagi dengan mobil dinas Konjen. Tetapi, siapa yang bisa menjamin keamanan. Ke Masjid Haji Ali? Baru saja informasi, ada polisi yang merampas tas seorang jemaah yang hendak bershalat Ied di masjid Haji Ali. Suasana Ied benar-benar mencekam. Tak ada yang berani berteriak Allahu Akbar. Akhirnya, kami melakukan shalat Ied di sebuah gedung opera house, daerah Worly, Bombay.

Banyak kenangan yang tak terlupakan di kota pusat perfilman India ini. Sebanyak penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara dan keluarga Iqbal sendiri. Ia tinggal di rumah petak lantai dua. Satu ruangan dengan beberapa keluarga yang masih saudara dekat. Tidak ada kamar-kamar kecuali kain gordin untuk pembatas. Hidup sangat prihatin, ditengah kebencian penduduk agama mayoritas di negeri itu. Kami saling berangkulan, ketika saya meninggalkan Bombay.

Kota santrinya Hindu

Saya meninggalkan Bombay dengan kesedihan teman-teman. Setelah bergaul beberapa hari dalam bulan puasa, semacam ada ikatan sama-sama sedih. Mereka mengantar saya ke stasiun kereta api. Saya naik kereta First Class. Tetapi di perjalanan, saya pindah  kabin AC Sleeper dengan menambah 150 rupee lagi. Tiba di Lucknow sekitar pukul 15.00. Dari sana saya meneruskan perjalanan dengan bus menuju Faizabad dengan ongkos 34 rupee. Sambung lagi bus kecil 2 rupee lagi sampai ke terminal Ayodhia. Dari terminal saya naik rikshaw 5 rupee, menuju hotel.

Ayodhia adalah kota santrinya Hindu. Selama 24 jam lagu puji-pujian dari ratusan temple tak pernah berhenti. Disini baru saja terjadi perkelahian massal antara Hindu dan Islam. Jalan raya dalam kota masih merah dengan hamburan darah yang mengering. Umat Islam banyak yang jadi syahid, karena jumlah mereka yang sedikit. Menurut beberapa sumber, sekitar 3000 orang dari kedua pihak menjadi korban.. Tenda kepolisian masih berjajar di sejumlah sisi jalan, termasuk di depan hotel saya.

Hotel kecil yang saya tempati benar-benar bau kecut. Minta ampun, baru sekali ini saya alami. Jendela-jendela yang terbuka lebar membuat the holy monkey leluasa keluar masuk kamar. Sprei dan sarung bantal penuh dengan bekas kaki monyet. Tak seorangpun yang mau dan berani mengusirnya. Sampai-sampai saya ragu, apakah tempat ini suci untuk shalat. Seluruh lantai dan tempat tidur ada bekas telapak kaki monyet. Tapi, apa boleh buat.

Dari jendela kamar masih terlihat, senjata berjajar disamping tenda polisi. Lalu pakaian dijemur diatas deretan senjata itu. Sebagian berleha-leha di dalam tenda, sebagian lagi berjalan-jalan santai. Tak ada turis. Yang ada justru hanya pasukan keamanan yang hilir mudik. Usai makan malam, saya menawarkan kepada pelayan, siapa yang bersedia menjadi pengawal saya selama beberapa hari di kota ini. Soalnya di kota ini tidak ada lagi orang Islam.

Seorang anak muda hitam, Pratap Singh, pelayan bar, akhirnya bersedia menjadi pengawal saya. Saya tahu ia gila dollar. Saya akan bayar, sesuai dengan perjanjian yang kami sepakati. Pukul 06.00 pagi ia sudah ada di depan kamar saya. Usai sarapan pagi, kami bersepeda keliling Ayodhia, atau kemana saja yang saya inginkan. Ia siap mengantar.

Keesokan harinya perjalanan kami mulai dengan sepedanya. Ia mengajak berhenti di sebuah kuil, lalu mengajak saya untuk ikut bersembahyang. Yaitu mengelilingi api unggun yang dipandu oleh seorang pendeta. Kemudian menghadap pendeta untuk menerima tanda merah di kening. Bahkan kalungan untaian bunga di leher saya. Lalu saya masukkan beberapa rupee di kotak yang tersedia, kemudian kami meneruskan perjalanan.

Tujuan utama ke kota ini adalah melihat reruntuhan Masjid Baabri yang tersohor itu. Lalu, kemana para ustadz dan santrinya menyelamatkan diri? Entah benar entah tidak. Konon di bekas Masjid bersejarah itulah tempat lahirnya Sri Rama. Saya bersiap-siap melihat puing-puing Masjid yang sudah disingkirkan. Pratap Singh, pengawal saya juga sudah menunggu dengan sepedanya. Seperti biasa, kami mencari tapal merah di kening dan kalung bunga. Kali ini ke kuil yang agak jauh dari penginapan. Sesudah itu barulah melaju ke bukit tempat Masjid Baabri pernah tegak.

Diluar dugaan. Ribuan orang India datang dari berbagai penjuru, mengunjungi lokasi ini. Bukan hanya dari sekitar Ayodhia, tetapi juga dari kota lain. Sebab, di lokasi itu sudah ada patung besar Sri Rama. Pihak keamanan berjajar menjaga wilayah itu. Sekeliling lokasi sudah dibuat pagar besi setinggi 10-an meter, seperti penjara. Orang Islam dilarang masuk. Kemudian jalan setapak satu meter berpagar besi tinggi menuju titik sentral.

Pemeriksaan cukup ketat. Saya terjepit diantara ribuan orang yang sedang antri, melalui jalan setapak yang berpagar tinggi itu. Karena  berkalung bunga, petugas tidak mencurigai saya.  Tetapi justru Singh yang ditanya. Lalu dia ceritakan kepada saya, polisi menanyakan apakah saya dari Nepal. Singh menjawab, ya dan beragama Kristen. Hanya untuk melihat patung besar Sri Rama.

Tetapi celaka juga. Film dalam kamera saya ditarik secara paksa oleh petugas keamanan. Korek api ikut dirampas. Untung tustel saya tidak diinjak-injak seperti yang pernah terjadi kemarin-kemarin. Sudah setengah perjalanan berliku yang kami lalui. Saya mulai tidak tahan dengan antrian panjang sambil berteriak-teriak “hidup Sri Rama”. Antara kelelahan dan ngeri, karena hanya saya sendiri yang orang Islam.

Keluar barisan juga susah, sebab kanan kiri berpagar tinggi. Sebelum semakin lelah, saya bilang kepada Singh, kita mundur saja. “Saya capek”. Baik, boss, katanya. Lalu kami balik belakang di sela-sela antrian yang sudah panjang itu. Terasa lega setelah keluar dari barisan. Inilah yang menjadi pangkal sengketa umat Islam di Ayodhia. Para ustadz dan santri yang bermukim di sekitar masjid, ikut menjadi korban keroyokan penduduk yang mayoritas anti Islam. Sebagian sempat melarikan diri, tetapi sebagian lainnya tewas di jalanan Ayodhia. Huru-hara itulah yang membuat kota kecil ini penuh dengan petugas keamanan.

Entah karena korban isu politik yang digunakan BJP untuk memenangkan kampanye, entah bukan. Yang jelas, masjid Baabri yang dibangun oleh raja Islam dari Mongolia itu sudah lenyap. Tadinya, masjid ini merupakan pusat pengembangan Islam untuk Ayodhia dan sekitarnya, kini lenyap tak berbekas. Islam sudah tidak ada lagi di Ayodhia. Masjid dan rumah-rumah para ustadz dan santrinya juga lenyap. Hancur diamuk masa.

Saya tidak berlama-lama di kota kecil ini. Dengan Pratap Singh juga hanya beberapa hari, namun tetap saya bayar penuh. Perpisahan kami, diakhiri dengan nonton bioskop bersama sejumlah pelayan hotel. Semua karyawannya laki-laki. Maklum, mereka bergaji kecil dan tak pernah nonton bioskop. Karcis yang kami beli sebenarnya untuk besok malam, seperti yang umumnya berlaku. Tapi, karena saya tamu jauh, kami diizinkan masuk gedung bioskop. Itulah kenangan terakhir di Ayodhia.

Keesokan harinya saya berangkat ke Lucknow melihat pesantren dan madrasah satu-satunya di kota ini. Sayang, saya tidak sempat melihat kegiatan madrasah karena para santri masih libur Iedulfitri. Tetapi beberapa penjaga sekolah kagum melihat saya.

“Orang India yang beragama Islam saja tidak berani ke Ayodhia, anda dari Indonesia berani?”, katanya menjabat tangan berkali-kali. Lalu ia menjamu saya dan kami bercerita tentang pesantren di Indonesia. Saya kembali ke Delhi, dan mencari penginapan baru yang lebih murah tetapi pelayanannya cukup memuaskan.

Dengan bantuan pegawai KBRI, orang India, saya berhasil memperoleh boardingpas. Memang membayar beberapa dollar. Akhirnya saya meninggalkan Delhi pada siang itu dan malamnya tiba di Soekarno-Hatta, Cengkareng. Lumayan, berhari raya yang sepi di negeri orang. Mudah-mudahan tidak terulang lagi …

*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.