KEARIFAN lokal sebagai basis pendidikan karakter perlu ditindaklanjuti melalui serangkaian tahapan inventarisasi, seleksi, adaptasi dan aplikasi melalui kurikulum dan budaya sekolah yang kondusif. Inventarisasi kearifan lokal berkaitan dengan bagaimana pendidik bersama stakeholders melakukan upaya identifikasi kearifan lokal yang telah tersisihkan dan semakin sedikitnya narasumber yang dapat dijadikan rujukan kearifan lokal.
Melalui inventarisasi dan identifikasi unsur-unsur kearifan lokal yang dipandang relevan dan perlu dikembangkan akan ditemukan, sehingga lebih memudahkan untuk dijadikan sebagai isi kurikulum di sekolah. Tahap berikutnya adalah perlu dilakukan pemilahan aspek-aspek kearifan lokal apa saja yang paling mendesak dan relevan dikembangkan. Pemilihan materi ini diperlukan karena sekolah dengan misi besarnya (mempersiapkan peserta didik mendapat pekerjaan, penyiapan warga negara yang baik, wadah aktualisasi diri, dan lain-lain) mempunyai keterbatasan waktu dan sumber daya.
Setelah memetakan kearifan lokal yang dipilih sebagai basis pendidikan karakter, tahap selanjutnya adalah kearifan lokal diadaptasi sesuai realitas kekinian. Nilai mukemel dalam masyarakat Gayo misalnya, perlu reinterpretasi sehingga relevan dengan kondisi saat ini.
Persyaratan ini diperlukan agar dalam mempelajari kearifan lokal pendidik dan peserta didik tidak terjebak pada penguasaan konsep, tetapi kehilangan makna atau dalam penjelasan Sternberg (2003) disebutnya know what, tetapi tidak know how. Dalam aplikasinya, kearifan lokal harus ditunjukkan dalam prilaku keseharian oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, sehingga benar-benar menjadi kultur sekolah (schools culture). Apabila sinergi ini berhasil dilakukan, harapan terwujudnya sekolah yang lebih nyaman dan berhasil membangun karakter peserta didik tidak akan sebatas jargon dan menjadi bahan diskusi yang hangat dalam seminar, simposium, tetapi nihil dalam pelaksanaan.
Kompleksitas modernitas menuntut kreativitas berkesinambungan. Pendekatan homogen dalam menyelesaikan masalah terbukti tidak membawa hasil maksimal. Upaya menggali warisan kearifan lokal menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan dalam pendidikan karakter yang saat ini digulirkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Indonesia sebagai negara yang sangat bervariasi ditinjau dari keragaman budaya, bahasa, sudah seyogianya memperhatikan keunikan yang terdapat pada masing-masing komunitas.
Tidak berarti bahwa identitas sebagai satu bangsa tidak perlu, tetapi bagaimana mencari titik kesimbangan dalam memposisikan ke-bhineka-an dalam ke-Ika-an. Untuk mewujudkan pendidikan yang lebih ‘membumi’ semestinya kearifan lokal diletakkan sebagai basis model dan implementasi pendidikan karakter di tanah air.
Saran
Komitmen pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas kebijakan pendidikan nasional layak diapresiasi. Pengembangan konsep, model atau pendekatan untuk merealisasikan gagasan tersebut, perlu mendapat perhatian orang-orang yang terpanggil membenahi pendidikan.
Penanggung jawab pendidikan nasional, khususnya para pengambil kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baik pada tingkat nasional, regional dan daerah perlu memberi ruang lebih luas kepada berbagai komponen anak bangsa untuk mengembangkan pendekatan alternatif pendidikan karakter. Fasilitasi melalui pelatihan, pendampingan penelitian dan desiminasi model-model pendidikan karakter akan sangat menentukan masa depan praksis pendidikan karakter di Indonesia.(win_moes@yahoo.co.id)
*Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon