Kulepas Anaku Pergi

PERPISAHAN selalu berakhir duka lara. Apalagi pada belahan jiwa. Tak kuasa berkata-kata, kecuali memandanginya. Tubuh kecil  lelaki 12 tahun itu belumlah pandai mengenakan sarung yang diikat dengan tali pinggang.

Menahan air mata untuk jatuh dihadapannya begitu sulit. Apalagi kemudian saat berpelukan terjadi. Lelaki 12 tahun yang mengenakan sarung dan berbaju koko itu melepas jatuh beberapa mutiara cair dari kedua bola matanya.

Awalnya lelaki 12 tahun ini membiarkanku memeluknya tanpa balas memeluk. Kurasakan kerapuhanku sebagai  Amanya. Beberapa bait kata kusiram kedalam jiwanya. Dia kemudian balas memelukku.

Pelukan ini seolah tak ingin kulepas. Tapi tak bisa. Aku kemudian berpura –pura kuat dan memegang kedua pipinya. Lelaki 12 tahun dengan tinggi diatas satu meter itu berkaca-kaca. Matanya merah dan berurai air mata.

Akh……Anakku. Dia kemudian bersalaman dengan adiknya Alifah Timami, Syarifah Caya Humaira dan kakaknya Shafa Nurillah. Tak ada tangis saat Dia bersalaman dengan dua adiknya yang belum mengerti apa-apa.

Sementara dengan sang kakak, dia juga berusaha kuat. Tapi giliran dengan Inenya, kembali dia menangis. Tapi tak terisak dan sedu sedan. Hanya air matanya saja yang mengalir di pelukan Inenya.

Sejumlah kata nasehat keluar dari mulut Inenya. Inenya tak menangis, sepertinya Inenya kuat  atau sengaja menguatkan diri agar sang anak laki satu-satunya itu betah di tempat barunya ini. Setelah  dia mengikhlaskan kepergian kami, kamipun bergegas pulang.

Orang tua mana yang kuat melepas anaknya hidup berpisah. Apalagi di usia dini. Tapi memilih masa depan anak agar lebih baik secara ilmu pengetahuan dan agama, tentu harus dilakukan manakala orang tua secara sadar paham arti pendidikan.

Pilihan melepas anak menuntut ilmu di pasantren adalah salah satunya. Sistim di pasantren sudah dibuat bagaimana seorang anak tamatan Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Dasar)  diinapkan dan diajar. Membuat bagaimana mereka betah dan mengisi waktu dengan ilmu dan keterampilan demi hari esok.Bukan untuk hari ini.

Jika diikutkan rasa kasih sayang seorang Ama/Ine, anak masih kecil, belum mandiri, belum bisa dipisahkan dari orang tua. Bagaimana makan dan tidurnya dan sejumlah persoalan lain, membuat orang tua seperti saya tak akan melepaskan anaknya merantau dan berpisah.

Tetap dalam ketiak orang tua . Apalagi orang tua seperti saya yang pemahaman ilmu dan agama masih apa adanya. Tidak pula disiplin mengajarkan anak saat berada dirumah dengan ilmu pengetahuan dan nilai –nilai agama serta contoh. Bukan teori. Seperti mematikan tv dan ikut mengajarkan anak-anak melantunkan ayat-ayat suci.

Membenarkan bacaan anak-anak saat shalat dan mengaji. Semuanya adalah kewajiban orang tua.  Tapi hidup di zaman saat ini, serba instant dan mudah membuat orang tua seperti saya, lebih suka  memberi  alasan  dan mencari kambing hitam demi pembenaran ketidakmampuan dan ketidakdisiplinan orang tua terhadap tanggungjawab pendidikan agama anak-anaknya.

Tapi ketika ada pilihan yang baik dan mampu dilakukan, seperti memasukkan anak-anak ke pasantren, tentu alasan ketidakmampuan orang tua mengajarkan anak akan nilai-nilai agama secara langsung, bisa diterima. Dari pada tidak ada pilihan, tidak mau tahu, tidak peduli dan hanya berpikir keduniaan. Menanam padi pasti tumbuh rumput. Tapi menanam rumput saja tak akan tumbuh padi.

Apalagi jika ditambahkan alasan lain, sibuk mencari uang, nafkah, ngak sempat, capek dan lain-lain.Ini menurut pendapat awamku. Untuk itulah aku memilih berpisah dengan anakku. Menurutku ini jalan yang baik, menapikan perasaanku,Inenya dan saudaranya. Setelah terlebih dahulu aku memberinya penjelasan dan keikhlasannya.Selebihnya, aku dhaif, kuserahkan pada Sang Khaliq. Sebagai pemilik Ilmu dan masa depan serta Ruh. Aku berharap penuh padaNya.

Sehari di Pasantren Gontor 10 Darul Amin Seulimum Aceh Besar. Pasantren yang merupakan cabang ke 10 dari Pondok Modren Gontor Ponorogo Jawa Timur  telah beberapa tahun berdiri. Santri kelas 6 dari Gontor 10 kini menuntut ilmu di Gontor Pusat, Ponorogo.

Di hari pertama berada di Gontor 10, (25/6), para orang tua santri diinapkan di beberapa kamar  yang disiapkan Pondok. Tamu pondok, seperti  orang tua santri diurus oleh Mapenta (Majlis Penerimaan Tamu ) yang menyediakan nasi dan minum orang tua santri.

Selama sehari penuh, para santri baru dan santri kelas dua hingga lima sudah punya jadwal sendiri. Praktis tak ada waktu berleha-leha. Kecuali ba’da Ashar yang agak longgar karena setelah shalat Ashar, santri punya waktu untuk mencuci dan berolah raga.

Magrib shalat berjamaah dan dilanjutkan dengan mengaji dan makan malam. Mandiri, itulah salah satu yang diterapkan Gontor. Tak ada perbedaan santri yang orang tuanya kaya atau miskin. Semuanya sama dengan pola yang sudah diterapkan.

Tak heran jika para santri berdasi, berkemeja dan bersepatu pantopel. Mereka tampak elegan dan ilmiah dengan dua bahasa, Arab dan Inggris. Gontor 10 terletak Sekitar  lima kilometer setelah Saree.

Berada tak jauh dari jalan negara Banda Aceh-Sigli. Bangunan permanen dengan atap berwarna biru. —-

Pilihan memasukkan anakku ke Gontor  10 dilandasi beberapa hal. Seperti  anak-anak dijarkan mandiri dan disiplin dengan sistim yang dibuat Gontor. Nyaris tak ada waktu luang kecuali belajar dan belajar.

Sementara ekstra kulikuler disediakan berbagai jenis olah raga dan bela diri serta kepanduan (Pramuka).  Dua hari setelah berpisah dari anak lelakiku satu-satunya. Situasinya kuyakin sudah aman. Dia sudah punya kawan dan disibukkan dengan belajar mengisi waktunya.

Malah Inenya yang  masih belum rela melepas anaknya pergi sejauh 250 kilometer darinya. Dua hari setelah berpisah dengan anaknya, Inenya masih menangis dan mengingkari perpisahan dengan berbagai alasan dan perasaannya.

Akh istriku,… masih bertindak dengan perasaan..(Ashaf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.