PERKEMBANGAN sastra Melayu di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam menjadi topik pembicaraan menarik dalam berbagai diskusi dan pertemuan sastrawan. Termasuk dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di berbagai kota di Indonesia dan Asia Tenggara. Berbicara tentang perkembangan sastra berikut dengan perhatian pemerintahnya terhadap jenis seni ini kerap membuat kita mengerutkan kening. Sastra di negara tetangga misalnya mendapat ruang dan dunianya sendiri yang terus berkembang.
Salah seorang sastrawan besar negara tetangga yang saya tau sejak tahun 1986 dan baru kenal secara dekat pada tahun 1991 adalah Siti Zainon Ismail. Di Indonesia dan Aceh khususnya namanya sudah tidak asing lagi. Ia kerap bertandang ke Banda Aceh, Lhok Nga, Jakarta, Medan, Yogyakarta dan beberapa kota lainnya walau hanya untuk sekedar mengikuti acara peluncuran buku atau diskusi-diskusi kecil. Pada tahun 1986 iapun pernah menapakkan kaki di kota dingin Takengon. Inilah perkenalan pertamanya dengan “kepingan tanah syurga” itu, dan saat itu aku baru berusia 13 tahun. Saat itu ia hadir bersama sejumlah penyair nasional seperti Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Taufik Ismail, LK Ara dan beberapa penyair besar lainnya. Mereka mebacakan puisi di halaman kantor Bupati Aceh Tengah yang disesaki pengunjung, pertanyaan dalam hati saat itu adalah kapan aku dapat satu panggung dengan penyair-penyair besar itu.
Siti Zainon Ismail adalah seorang sastrawan wanita produktif. Belasan kumpulan puisinya telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Demikian juga dengan sejumlah karyanya dalam bentuk artikel, feature, novel, termasuk lukisan-lukisan sketsanya. Perempuan ramah dan familier yang tak pernah melepaskan balutan kerudung dari kepalanya ini dikenal juga sebagai salah seorang Guru Besar di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Dalam dunia sastra Malaysia Siti Zainon Ismail adalah tokoh penting, selain penyair ia dikenal juga menggeluti lebih dari satu macam bentuk seni di antaranya adalah seni lukis, aktif dalam berbagai penulisan dan pertemuan serta kajian-kajian ilmiah. Ia juga menulis cerpen, dan kritik sastra. Dalam sebuah tulisan yang dimuat Majalah Sastra yang diterbitkan oleh Dewan Sastra Malaysia (DSM) menulis; Siti Zainon Ismail adalah seniman berbakat besar dalam dunia lukis, beliau telah memenangi berbagai macam hadiah lukisan sejak tahun 1961. Sampai saat ini Siti Zainon Ismail telah menggelar karya lukisnya sebanyak 32 kali pameran di berbagaai tempat dan moment.
Sebuah lukisan sakralnya tentang seorang penari Gayo yang tengah menarikan tari Guel dari kota Takengon yang berukuran 32 x 38 cm menjadi pajangan utama dalam setiap kali pamerannya. Lukisannya yang lain dengan nuansa tanah Gayo adalah tentang keindahan Danau Laut Tawar yang juga diberi judul dengan “Danau Tawar” telah terjual kepada seorang kolektor lukisan berkebangsaan Swedia. Tidak tanggung-tanggung, nilai lukisan itu dihargai setara dengan sebuah sedan mewah.
Kekaguman dan intres-nya terhadap kesakralan tari Guel hingga dalam sebuah puisinya yang berjudul “Rembang Si Ulen-Ulen” ia menggambarkan bagaimana cuaca dingin menghantarnya sampai ke kutub utara yang dipenuhi taburan salju dan bentangan padang es yang membeku.
Gayo, khususnya Takengon telah membawa berkah dan inspirasi besar bagi penyair penting negara tetangga ini. Ia mengenal tanah Gayo sudah sejak puluhan tahun silam. Hubungan bathin antara Takengon dengan Siti Zainon Ismail seperti anak dan ibu, demikian katanya kepada penulis ketika secara bersama kami mengikuti sebuah acara peluncuran buku dan pentas “Baca Puisi Untuk Aceh” oleh penyair Indonesia-Malaysia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta beberapa tahun silam.
Siti Zainon Ismail bertandang selama dua minggu penuh ke tanah Reje Linge pada tahun 1986. Kehadirannya dengan sejumlah penyair nasional lainnya kemudian menjadi tonggak sekaligus spirit bagi tumbuh dan berkembangnya dunia sastra di kota dingin itu. Dengan antusias saat ia membacakan sejumlah puisinya bersama Hamid Jabbar dan Taufik Ismail bertempat di halaman kantor bupati. Pementasan itu sempat menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Bagaimana tidak, para penonton saat itu mulai dari pelajar, pejabat pemerintah sampai masyarakat umum penuh sesak memadati lapangan. M. Djamil, Bupati Aceh Tengah kala itu memang mempunyai citarasa sastra sendiri, sehingga untuk menyambut para sastrawan besar itu ia sempat mengeluarkan kebijakan dan menyerukan seluruh pelajar untuk menonton.
“Takengon telah menjadi tanah air keduaku, Takengon telah menjadi ibu dari sejumlah puisi-puisi yang saya tulis,” kata Siti Zainon Islmail bangga sambil membacakan beberapa bait puisi di hadapanku. Meski aku dan Siti berpaut usia yang cukup jauh, tetapi ia lebih merasa nyaman dan dekat dengan memanggilnya kakak.
Penyair yang juga mantan isteri menteri Kabinet Gotong Royong Hasballah M. Saad ini kerap juga diundang baca puisi di sejumlah negara, termasuk dalam Pembacaan Puisi Dunia (World Reading Poetry), seperti Thailand (1985), Belanda, Korea Selatan (1986), London, Indoesia (1985), Jerman (1986), Perancis (1998) serta sejumlah negara-negara lainnya.
Dalam sebuah bincang-bincang bersama sejumlah seniman dan satrawan Aceh dan Jakarta di Universitas Indonesia (UI) pada bulan Desember 2007 yang lalu, Siti Zainon sempat mengutarakan kerinduan besarnya untuk dapat bertandang kembali ke Tanoh Gayo. Tanah yang telah menjadi tempat lahir bagi sejumlah puisi-puisinya. Kepada penulis, Siti Zainon juga sempat menitipkan salam untuk sejumlah seniman dan budayawan Aceh. “Dan jangan lupa taburkan hasrat dan kerinduanku ke bening Danau Tawar, Buntul Kubu, Atu Tingok, dan Singgah Mata,” katanya dengan harap penuh dan bola mata berbinar. “Aman Renggali, jangan lupe itu ya!”, desahnya setengah berbisik.
Tak berselang lama, pasca penandatanganan kesepakatan perdamaian Aceh, iapun kembali bertandang ke tanah Iskandar Muda, termasuk mengunjungi beberapa tempat dan situs-situs bersejarah di Lhokseumawe, Bireuen, Banda Aceh dan Takengon tentunya. Pada kesempatan ini, ia tidak lagi menitipkan salam, karena ia dapat bersilaturrahmi langsung dengan siapa saja yang ia kehendaki.
Kerinduannya kuanggap telah lunas, tetapi ternyata justru tambah menggelora. Hal yang sama kembali ia utarakan dengan penuh harap, ketika saya bersama D. Kemalawati (sastrawati Aceh yang telah meng-internasional), Diana Devi (Pembantu Rektor IV Universitas Jabal Gapur Sigli, serta Mujiburrrizal (personil Group Musik Raihan) ketika kami berempat menemani sang profesor mengisi sejumlah acara dibeberapa tempat di Banda Aceh dua hari yang lalu. Siti Zainon masih mempunyai “nafsu” yang besar untuk melahirkan karya-karyanya di Tanah Gayo.
Di antara puisi yang sempat ia tulis dari keindahan kota Takengon adalah puisi yang berjudul Danau Laut Tawar, Guel, Ulen-ulen, Toweren dan masih banyak lagi. Sebuah pusinya dengan judul “Catatan Danau Laut Tawar” petikannya dapat disimak di bawah ini:
Suara yang turun di danaumu
Gemuruh sayap angin menampar, mungkin bau alam
Menolak tabir diri, siapa lagi kalau bukan Dia
Membentuk kelopak Dahlia atau Renggali
Kebun-kebun hijau kebanyakan rumput-rumput renik Bale
Sebenarnya kita tak kehilangan puncuk angin
Memberkas ranting hidup
Sebelum Gugur Renggali
Berpucuk-pucuk pinus jati
Akar mendenyut di Burni Bintang, Bayi yang tumbuh
Bertapak Gajah Putih
Sebenarnyalah takkan hilang wajahmu
Gayo
Di jabat mentari kini
Satu dari sekian puisi Siti Zainon Ismail yang mengeksplorasi kesyahduan dan keindahan Takengon yang telah menjadi kenangan terindahnya, yang telah sempat menjadi taman sekaligus ibu dari karya-karyanya. (Salman Yoga S)