ACEH adalah daerah modal, tanpa Aceh tidak akan ada Indonesia jadi tidak pantas kalau Aceh minta pisah dari Indonesia karena Aceh lah Indonesia yang sebenarnya. Itu adalah kalimat yang sangat sering kita dengar dari para ahli sejarah dan intelektual pro RI pada waktu Aceh masih berkonflik dengan Jakarta dulu.
Para intelektual ini entah karena kepede-an dengan pengetahuannya atau karena memang punya maksud tertentu untuk kepentingan kelompoknya, hanya mampu atau mungkin sengaja melihat dinamika yang berkembang di masyarakat hanya dari kacamata dan sudut pandang mereka saja. Kebodohan orang Aceh yang tidak paham sejarah yang meminta pisah dari Indonesia yang bisa berdiri karena keberadaan Aceh, mereka gambarkan sebagai sebuah sikap egois. Meskipun ucapan kata ‘bodoh’ yang ditujukan kepada orang Aceh itu, tidak pernah secara vulgar mereka keluarkan.
Sementara, segala ketidak adilan yang diterima oleh Aceh saat itu, luput atau sengaja diabaikan dari pandangan mereka saat mengambil kesimpulan tersebut. Bumi Aceh yang dikuras dan dibawa ke Jakarta, PT. Arun yang begitu menggoda tanpa orang Aceh dapat menikmatinya, hutan Aceh yang kaya yang hasilnya habis dikuras oleh pengusaha dari Jakarta sementara orang Aceh hanya menjadi penonton, luput dari amatan mereka.
Inilah yang disebut dengan Propaganda
Hal yang lucu terjadi ketika Aceh dengan segala perjuangannya akhirnya mendapatkan kekuasaan besar dari Jakarta. Aceh yang menjadi raja kecil, memperlakukan minoritas di provinsi ini lebih parah dari ketika Jakarta memperlakukan mereka.
Memang perlakuan Aceh belum sampai pada mengirimkan tentara untuk membunuhi orang-orang dari daerah dengan suku minoritas yang berseberangan pemikiran dengan penguasa Aceh, sebab memang Aceh belum secara resmi memiliki tentara.
Tapi diskriminasi terhadap minoritas yang dilakukan oleh Aceh ketika berkuasa, jauh lebih vulgar dibanding apa yang dilakukan oleh Jakarta terhadap Aceh. Seorang anggota DPRD (di Aceh disebut DPRA) santai saja menyebut orang yang tidak bisa berbahasa Aceh (etnis mayoritas di provinsi ini) sebagai orang yang tidak jelas. DPRA yang sama kemudian dengan tanpa beban dan nyaris tanpa penentangan sedikitpun secara internal mereka, mensyahkan sebuah Qanun (Perda) tentang wali nanggroe, yang mensyaratkan kemampuan berbahasa Aceh (bahasa kelompok mayoritas yang merupakan satu dari belasan bahasa asli di provinsi Aceh) dengan fasih sebagai salah satu kriteria calon Wali Nanggroe yang akan memiliki kekuasaan laksana raja.
Kelompok minoritas, yang bahkan ketika Aceh masih memiliki kekuasaan secuil saat masih ditindas oleh Jakarta dulu pun sudah merasakan ketidak nyamanan dengan berbagai diskriminasi yang dilakukan secara halus dan sembunyi-sembunyi oleh kelompok etnis mayoritas ini. Tentu saja semakin kepanasan ketika Pasca penanda tanganan MoU yang memberikan Aceh kekuasaan yang lebih besar. Sebab kekuasaan yang besar yang didapat oleh Aceh itu membuat ketidak adilan dan arogansi yang dulu hanya eksis secara diam-diam, kini dipamerkan oleh Aceh secara telanjang.
‘Kemenangan’ Kecil Aceh ini membawa gelombang euforia yang besar, Aceh yang biasa tertekan tiba-tiba merasa jadi raksasa yang tak terkalahkan dan menganggap diri sebagai suku paling hebat sejagat yang sudah eksis di bumi dan memiliki peradaban tinggi ketika suku-suku lain masih liar. Kelompok ini diwakili oleh sosok ‘Muammar Sang Pangeran Terakhir’ yang sangat eksis di dunia maya, mengkampanyekan bahwa Aceh adalah keturunan bangsa Lemuria, bangsa yang sudah memiliki perdaban tinggi sejak 10 ribu tahun yang lalu, ketika bangsa-bangsa lain masih belum mengenal peradaban dan Gayo adalah ‘Budak’ pengungsi dari Yunan, yang bisa tinggal di Aceh atas kebaikan Raja Pasee (Aceh).
Karena kelompok minoritas ini adalah manusia, bukan robot yang bisa disetir semau orang yang menguasainya, tentu saja arogansi dan ketidak adilan ini mendapat perlawanan. Meskipun perlawanan ini datang dari berbagai kelompok minoritas, tapi karena Gayo sebagai kelompok minoritas terbesar (secara jumlah), perlawanan dari Gayo lah yang terlihat paling menonjol.
Ketika Aceh mendapat perlawanan seperti ini, apa yang mereka lakukan?.
Meng-Copy Paste persis, apa yang dilakukan oleh Jakarta terhadap mereka dulu (minus pembunuhan tentunya, karena seperti disebutkan di atas, Aceh belum punya tentara resmi). Aceh mulai rajin mengeluarkan propaganda, bahwa Gayo adalah Aceh yang sebenarnya, tanpa Gayo tak ada Aceh dan berbagai omong kosong lainnya tanpa mau menyentuh esensi yang sebenarnya menjadi alasan ketidak nyamanan kelompok etnis minoritas untuk bergabung dalam satu wilayah administrasi bersama mereka. Yaitu Arogansi dan Ketidak Adilan.
Sebagai mana dulu Jakarta memproduksi berbagai propaganda untuk menggambarkan kebodohan Aceh yang meminta pisah dari Indonesia, ini pula yang dilakukan oleh kaum ‘intelektual’ Aceh. Bedanya, kali ini mereka mengucapkannya secara vulgar dan kadang menakut-nakuti. Sebut saja misalnya Nasrullah Dahlawy, seorang ‘intelektual’ senior yang dengan santai mengatakan Gayo mengancam perdamaian.
Dan saat ini yang sedang hangat menjadi pembicaraan adalah ucapan vulgar yang konon disampaikan secara sangat santun dan bermoral, oleh tokoh PKS Aceh bernama Saifunsyah dalam sebuah dialog. Saifunsyah mengatakan “Gayo Bodoh” minta pisah dari Aceh karena Gayo adalah Aceh yang sebenarnya.
Entah apa maksudnya, ucapan Vulgar sang politisi ini kemudian diblow up untuk menarik perhatian banyak orang untuk menghadiri sebuah diskusi. Dan di dalam undangan itu ditampilkan foto sang politisi yang tersenyum penuh kebijaksanaan.
Tapi sebelum acara diskusi ini terjadi, masalah ini sudah menjadi pembicaraan luas di jagat maya. Dan karena sang politisi berasal dari partai Islam, dalam diskusi di jagat maya ini muncul pula label Liberal kepada orang yang tidak sependapat dengan sang politisi. Sebagaimana kita ketahui bersama, label Liberal di Aceh statusnya hampir sama dengan label Yahudi yang kalau dikenakan pada seseorang, efeknya sedikit saja di bawah hukuman mati. Sebab di Aceh, orang yang mendapat label ini bisa menjadi sasaran amuk massa yang merasa Aceh dan keislamannya terancam.
Itulah yang terjadi di Aceh saat ini, pembodohan dilakukan secara vulgar dan telanjang, melalui jalur ilmiah dan agama. Masalah arogansi dan ketidak adilan dibenturkan dengan urusan sejarah. Urusan apakah pemaksaan ‘tautologi’ yang laksana memaksakan hubungan antara bekicot dengan naik haji itu ‘nyambung’ atau tidak, mereka tidak peduli. Bagi orang Aceh jenis ini, pokoknya semua orang yang pandangannya tidak sesuai dengan garis kebijakan mereka, yang tidak sepakat dan tidak mau mendukung arogansi dan ketidak adilan mereka adalah orang Bodoh.(winwannur[at]gmail.com)
*alumni Unsyiah