Indonesia Pernah Dikendalikan dari Gayo

Catatan : Kurnia*

Saat itu sangat kritis……………………………

Pada tanggal 19 Desember 1948, Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta, dikuasai Belanda. Radio Republik Indonesia yang mengumandangkan suara Indonesia merdeka ke seluruh dunia, tiada lagi mengudara. Radio Belanda Hilversum, secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Sebagian dunia mempercayai berita itu

Pada saat demikian gentingnya suasana, tanggal 20 Desember 1948 malam, RRR (Radio Rimba Raya) mengudara menembus angkasa memberitakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA masih ada, dan Revolusi 1945 masih tetap menyala.

Tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dalam sidang Dewan Pertahanan Daerah, antara lain memutuskan, tanggal 20 Desember 1948 pemancar RADIO yang kemudian dinamakan Radio Rimba Raya harus telah mengudara.

Tanah Aceh, DAERAH MODAL REPUBLIK INDONESIA, dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi, mempersiapkan diri mendatangkan sebuah pemancar yang kuat dari luar negeri.

Di Ronga-Ronga inilah, akhirnya setelah mengalami proses perjalanan panjang Radio Rimba Raya bermukim, dan tanggal 20 Desember 1948 secara berkala mulai mengudara.

SALAH satu unsur yang dapat melanggengkan  pemerintahan  Indonesia  setelah tidak lama dicetuskannya kemerdekaan adalah karena adanya sarana komunikasi  yang ampuh. Salah satu diantaranya adalah Radio Rimba Raya. Berbagai informasi yang dapat disampaikan pada dunia tentang Indonesia merdeka. Nilai dan  semangat perjuangan yang dikumandangkan itu melahirkan kesadaran bangsa berada di bawah satu ikatan negara Republik Indonesia. Lahirnya kesadaran itu berarti suara Radio Rimba Raya turut andil memberikan pendidikan kepada masyarakat atas kesadaran memiliki negara Republik Indonesia.

Kehadiran stasiun radio yang berpindah-pindah tidak mempangaruhi pendengar setianya untuk mendengarkan wejangan-wejangan tentang nasionalisme – tak heran inilah berkat peraturan pemerintah penjajah yang sangat represif, rakyat semakin penasaran mendengarkan kata-kata yang membangkitkan semangat berjuang membebaskan bumi pertiwi dari cengkraman penjajah.

Radio menjadi alternatif bagi rakyat yang mendambakan hiburan dan pendidikan di tengah-tengah kehidupannya yang semakin terdesak dan terjepit akibat kebijakan penjajah kolonial yang membodohi rakyat. Penanaman patriotisme di radio menjadi media komunikasi yang efektif, karena para pejuang tidak lagi takut mengobarkan semangat juang rakyat, tanpa menghadirkan wujudnya seperti berdemonstrasi di lapangan misalnya, karena dengan menghadirkan dirinya di lapangan sangat riskan bagi dirinya, dan pasti penjajah akan menangkapnya.

Dataran Tinggi Gayo tak luput dari perjuangan di “udara” tersebut, salah satu stasiun radio yang ikut memperjuangkan dan memberikan pendidikan kepada rakyat tentang nasionalisme adalah radio Rimba Raya. Rimba Raya (Rime Raya) adalah sebuah daerah yang terdapat di Kabupaten Bener Meriah, 62 km dari Bireuen menuju Takengon (masa itu masih hutan belantara) dijadikan tempat pemancar atau bekumandangnya suara di udara, berupa radio. Radio merupakan salah satu sarana yang sangat penting yang harus dimiliki dalam rangka perjuangan pada masa itu. Melalui radio ini orang dapat mengetahui keadaan dan perkembangan yang terjadi. Atau juga dapat mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang membentuk jaringan langsung dalam suatu masyarakat.[1] Dengan adanya radio ini telah dapat memberikan berbagai informasi bagi penggalangan persatuan serta membangkitkan semangat bagi para pejuang dalam mempertahankan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.[2]

Alasan kuat menempatkan pemancar radio di Rime Raya yang dibeli dengan darah dan nyawa, berada di tengah hutan, meski sesungguhnya telah ada jalan raya yang menghubungkan Takengon (Aceh Tengah) dengan daerah-daerah pesisir, agar tidak tercium oleh Belanda. Penyiarannya pun menggunakan Signal-Calling Sumatera[3], di bawah pimpinan Kolonel Husen Yusuf dan Abdullah Arif sebagai pembaca berita[4], khususny berita dan pesan-pesan revolusi ke seluruh pelosok tanah air dan luar negeri seperti terdengar di Penang, Singapura, dan Kuala Lumpur.

Dari segi politis, program siaran yang mengudara untuk meng-counter suara radio Belanda yang dipancarkan dari Medan dan Sabang, yang setiap malam melakukan ‘psy war’ (perang urat saraf) terhadap bangsa jajahannya. Rime Raya merupakan tempat pemancar radio terakhir setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari Kutaraja (Banda Aceh), Krueng Simpo-Biruen, Cot Gue (8 km dari selatan Banda Aceh), Burni Bius (20 Desember 1948, Ronga-ronga, tapi kemudian dipindahkan ke Rime Raya (Rimba Raya).[5]

Kehadiran Radio Rimba Raya telah banyak membantu program perang gerilya (perlawanan rakyat semesta), karena saat situasi yang kritis ia berhasil memonitor dan menghubungkan poros Aceh-Sudarsono di India-Palar di PBB-PDRI di Suliki, dan Aceh-Radio gerilya Surakarta.[6]

Keberadaan radio Rimba Raya sebagai radio siaran Gerilya mampu mengirim dan menerima berita (messege) Radiogram, yang membantu PDRI dapat secara terus menerus mengikuti siaran mengenai perkembangan yang terjadi di dunia Internasional melalui radio siaran luar negeri, seperti BBC, ABC, radio siaran Singapura dan malaya (sekarang Malaysia)[7]

Fungsi dan peranan radio dalam masa revolusi fisik dikemukakan oleh H.M. Gayo berikut ini:

“Pada permulaan revolusi, peranan siaran radio lebih penting dari koran, karena hubungan satu daerah dengan daerah lain di Indonesia masih sulit, dan juga karena blokade lautan oleh musuh Belanda, sehingga penyebaran-penyebaran berita pers sangat sulit, tetapi penyiaran radio RRi lebih mudah dan cepat di terima di seluruh penjuru tanah air. Kadang-kadang radio dipergunakan untuk penyampain instruksi-instruki pemerintah pusat ke daerah-daerah”.

Fungsi radio Rime Raya antara lain untuk menggalang kekuatan bangsa, saling memberi dan menerima informasi, alat perang yang strategis, mengorbakan dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh dan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Peranan Radio Perjuangan “Rimba Raya” sebagai satu-satunya media komunikasi massa yang menjebati RI-dengan luar negeri di masa-masa sulit, terutama di masa pemerintahan PDRI tahun 1948 setelah agresi ke II sampai menjelang Perundingan KMB di Den Haag.

Tugas radio “Perjuangan “Rimba Raya” ini berhasil menerobos Blokade militer Belanda di laut, Darat dan udara dengan menyampaikan pesan-pesan ketua  PDRI ke perwakilan RI di New Delhi dan di PBB (Palar – Maramis), dan sebaliknya. Serta menyampaikan pesan-pesan PDRI  ke Sumatera Utara dan Pulau Jawa dan Sebaliknya.

Radio “Rimba Raya” juga berhasil memantau “serangan Fajar” Pada tanggal 1 Maret 1949. Di samping itu radio ini juga setiap malam menyampaikan pesan-pesan khusus untuk pejuang di Front Medan Area.

Stasiun radio dalam kurun penjajahan cukup memberikan andil perjuangannya dalam menyebarkan pendidikan tentang negara bangsa (nation-state) yang dahulu masih – meminjam istilah Benedict Anderson “dibayangkan”. Agitasi dan propaganda perjuangan revolusi yang dilancarkan para penyiar sekaligus mendidik rakyat yang kala itu belum “melek” huruf kepada kesadaran tentang kebebasan menuju sebuah negara bangsa yang mandiri.

Kebebasan berserikat kala itu sulit didapatkan, sehingga rakyat tak sempat menghadiri seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, workshop atau sejenisnya seperti sekarang – banyak para pakar membincangkan tentang pendidikan kewarganegaraan, berbangsa dan bernegara, nasionalisme, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Karena itu kehadiran stasiun radio kala itu membawa semangat baru masyarakat untuk mengenal pendidikan berdemokrasi, berbangsa dan bernegara.

*Forum Pake Gayo



[1] Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, (Jakarta: Bulan Bintang), 1990, h. 3

[2] Rusdi Sufi, et.al, Perkembangan Media Komunikasi: Radio Rimba Raya di Aceh, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, h.3

[3] Rusdi Sufi, et.al, Op.Cit. H. 54

[4] T. Alibasyah, Talsya, Peranan Radio Rimba Raya dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Banda Aceh: Sinar Darussalam) 1986, h. 155

[5] Rusdi Sufi, et.al, Op.Cit, h.49-53

[6] Tgk. A.K. Jakobi, Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang, (Jakarta: Gramedia), 1998, h. 277

[7] Amran, Dkk. PDRI Dalam Perang Kemerdekaan (Jakarta: Perhimpunan Kekerabatan Nusantara) 2003 h. 187

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. itulah sepenggal sejarah yang terlupakan / sengaja dilupakan,yg tak pernah kita dapat dlm mata pelajaran sejarah kemerdekaan Bangsa ini slama di bangku sekolah.