Catatan Joni. MN Aman Rima*
BUDAYA dan Bahasa Gayo kaya akan makna dan memiliki “edet” atau adat yang amat beradab, hal ini dapat kita lihat dari cara mereka berbicara dan ketika berinteraksi dengan sesama masyarakat atau dengan pendatang baik itu tamu yang berasal dari luar negeri atau domistik.
Di dataran tinggi Tanoh Gayo dan/atau pada suku Gayo, edet yang dibudayakan pada keseharian mereka bahawa budaya dan bahasanya benar-benar tidak dapat dipisahkan keduanya, dan keduanya selalu harus berjalan bersama-sama.
Hal ini pernah diakui oleh beberapa orang yang bukan bersuku Gayo, diantaranya Profesor Edi Subroto yang merupakan dosen pada jenjang Doktor Linguistik UNS – Solo yang pada saat dia mengetahui Bahasa dan Adat Gayo yaitu pada waktu memberi matakuliah Kapita Selekta, saat itu tepatnya tanggal 6 Maret 2012 kami berdiskusi tentang budaya dan Bahasa Gayo.
Beliau sempat melontarkan pernyataan bahwa bahwa bahasa Gayo memiliki nilai filsafat yang amat tinggi, hal ini diakuinya ketika saya memberikan beberapa ungkapan – ungkapan bijak yang berbahasa Gayo, seperti; saya kutip dari buku Sejarah Gayo yang ditulis oleh Ibrahim Daudy, yaitu: “tatkala oya uren rene-remene, kerpe jarum-jemarum” dan ungkapan yang lainnya seperti “ike rues ku ines, ike tunggu ku pelu”.
Saat itu beliau menganalisa fonim-fonim dan morfem yang ada pada kalimat tersebut, dan beliau menemukan makna yang memiliki banyak layers atau makna yang berlapis serta bahasanya bersifat diakronik bukan sinkronik, ungkapan ini sempat membuat beliau sedikit kesulitan untuk mencari maknanya, dan pada akhirnya beliau melibatkan semua instrument penganalisaan makna yang beliau miliki, barulah beliau menemukan makna yang sebenarnya.
Selanjutnya Profesor Sumiati Tarjana yaitu salah seorang yang mendalami disiplin Ilmu tentang Implicature dan Illocutionary Force juga berpendapat sama. Setelah saya menceritakan panjang lebar tentang bahasa dan adat istiadat budaya Gayo, seperti masyarakat selalu berpegang kepada ungkapan “edet bersifet wujud, ukum bersifet kalam” dan ungkapan“murib I kanung edet, mate I kanung bumi; murib benar mate suci”, bahwa permasalahan adat dan bahasa Gayo ini kami diskusikan pada tanggal 12 Maret 2012 yang bertempat di UNS – Solo. Beliau berpendapat bahwa budaya Gayo dan bahasa Gayo sama-sekali tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat Gayo dan juga dapat menjadi panutan masyarakat lainya, keduanya saling melengkapi dan mendukung yang bersifat complementary.
Nilai-nilai filsafat yang tinggi pada Bahasa dan Budaya Gayo ini terutama banyak terdapat pada ungkapan-ungkapan yang ada pada ungkapan “Perimestike” yaitu ungkapan yang memiliki makna yang kaya dan banyak kandungan di dalamnya yaitu untuk mengatur kehidupan masyarakatnya kearah yang lebih bermakna.
Kemudian seorang pakar Antropologi yang sudah banyak menulis buku tentang antropologi dan juga budaya, berasal dari USA dan sekarang ini berdomisili di Singapore yang bernama Edward Keith Pousson, yang mengabdikan dirinya sebagai dosen di perguruan Tinggi ternama di Asia yaitu; Asia Theological Centre Singapore, sangat tertarik pada Tanoh Gayo selain memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, seperti halnya kopi yang organic yang berkualitas tinggi dan juga beliau sangat tertarik dengan nilai-nilai Budaya Gayo dan Bahasa yang dimiliki oleh Etnik Gayo dan beliau sudah hampir setiap akhir tahun sejak dari tahun 2007 lalu hingga sekarang berkunjung ke Takengon, menurut pengakuan beliau bahwa dia sangat kangen/ rindu kepada Gayo dan masyarakatnya (I miss with Gayo and community), hal ini diakuinya tanggal 19 Desember 2012 yang lalu ketika saya meminta pendapatnya tentang budaya dan bahasa Gayo.
Dia mengambil contoh dari ungkapan memperkenalkan kawan “A” kepada “B”, katanya di Gayo ini kalau memperkenalkan antara satu orang kepada orang lainnya selalu menggunakan ungkapan “kite” atau ‘kita’, seperti; “ini pong te” , artinya ‘ini kawan kita’, atau dalam kontek lain “ini umah te” atau ‘ini rumah kita’ ini bersifat inclusiveness dan lain-lain, dalam kontek ini beliau mengakui bahwa etnik Gayo memiliki perasaan yang tinggi dalam hal sopan-santun atau kesantunan.
Ungkapan dan tata cara etnik Gayo memperlakukan tamu inilah yang membuat beliau betah disini (Tanoh Gayo bersama orang Gayo) dan masih banyak lagi cara-cara berinteraksi yang lainnya yang beliau belum pernah jumpai dinegara lauar selain di Indonesia khusunya di Tanoh Gayo, dan selanjutnya beliau berkomentar bahwa “dia tetap merencanakan untuk kunjungannya ke-tanoh Gayo ini untuk tiap tahunnya.
Ternyata hal ini bukan saja diakui oleh orang-orang tersebut di atas, namun juga masih banyak lagi pengakuan – pengakuan dari turis-turis lainnya yang pernah berkunjung kedaerah ini, dan juga dari beberapa pakar ilmuwan yang pernah meneliti di daerah Gayo ini, seperti Jhon Bown yang telah menerbitkan beberapa buku tentang Gayo dan Masyarakatnya, yang melalui hasil penelitian etnograpinya, Dominik Edes yang menghasilkan buku Grammar Gayo dari hasil penelitiannya, dan masih banyak yang lainnya. Inilah beberapa catatan dari hasil pengamatan dan interview tentang nilai-nilai budaya dan bahasa dari Suku Gayo yang amat bernilai ini.
—
“kita baru menyayangi diri kita sendiri ketika sudah menemukan siapakah diri kita yang sebenarnya dan setelah mendapat pengakuan dari orang lain”
(joniakuwoy[at]yahoo.co.id)
*Akademisi, tinggal di Takengon
Salut untuk Pak Joni yang konsisten dan menghabiskan waktu dan hidupnya spesial untuk Gayo. Doa kami bersamamu karena gayo adalah misteri dan mengandung filosofi, adab yang tinggi serta kebersahajaan. Karunia dari Sang Khaliq, khusus pada bangsa Gayo. Alhamdulillah, semoga kita semua syukur nikmat.Dan tetap santun, beradab dan berkualitas secara ilmiah dan agama, bermaqam sufi, Amin Yaa Allah….Sadakallahul’azhim