Oleh : Vera Hastuti*
Namanya Rianti Raluan Chaniago. Gadis asli berdarah Minang yang bertemu denganku, saat kami masih sama-sama kuliah di fakultas ekonomi. Dia gadis yang sangat supel, suka kegiatan sosial, dan selalu mendapat nilai terbaik di antara mahasiswa lainnya. Dia gadis yang taat. Tubuhnya selalu ditutup dengan balutan gamis dan jilbab panjang, petanda betapa ia begitu menjaga aurat.
Pendidikan telah membawaku jauh dari tanah kelahiranku, hingga akhirnya menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan jam gadang ini. Lewat serangkaian tes yang dilaksanakan oleh kampus, akhirnya aku diterima menjadi bagian dari keluarga besar Universitas Andalas. Aku berasal dari Aceh, tepatnya Aceh Tengah, Takengon. Darah Gayo sudah pasti mengalir dalam darahku, karena memang suku Gayo lah suku asli kota dingin ini. Aku bukanlah berasal dari keluarga berada, ayahku seorang petani kopi. Tapi dengan hasil kopi ayah bisa menyekolahkanku dan ketiga adikku.
Aku telah lama menaruh hati pada Rianti. Dari pertama, sejak kami dinyatakan menjadi mahasiswa di universitas terbaik di Tanah Minang ini. Dengan baik kusimpan perasaan itu, di relung hati yang terdalam. Hingga tiba saatnya, untukku mengungkapkannya. Bukannya tak berani, untuk langsung mengungkap kata-kata itu padanya. Tapi mengingat kami sama-sama aktivis rohis di kampus yang memegang paham pacaran itu haram, akhirnya aku urung untuk berterus terang.
Dengan mengucapkan Bismillah dan sedikit keberanian, seminggu setelah kami wisuda. Kuberanikan diri untuk melamarnya. Dengan modal mengumpulkan informasi dari teman-teman terdekatnya, aku ketahui bahwa Rianti pun telah lama menaruh hati padaku.
***
Takengon, Tanoh tembuni. Keindahaan alam dan sejuknya hawa tanah Gayo, akhirnya membuatku kembali kepangkuannya. Aku tidak kembali sendiri, dengan restu orang tua Rianti kubawa pulang gadis pujaanku yang kini menjadi pendamping hidupku untuk berbakti dan mengabdikan ilmu yang telah kudapat untuk bangsa, negara dan juga daerahku.
Tepat dua tahun usia perkawinan kami, Tuhan menitipkan amanah yang sangat indah kepada kami. Ya, Rianti mengandung anak pertama kami. Awalnya, tak ada masalah dengan kandungan Rianti. Memasuki usia kandungan empat bulan, Rianti mengalami sakit yang hebat. Selama seminggu Rianti di opname di Rumah sakit Datu Beru. Berjuta harapan kutanamkan padanya, hingga akhirnya harapan itu runtuh saat sore itu dokter Padlan, spesialis kandungan terkenal di kota ini memanggilku untuk menjelaskan kronologis penyakit istriku.
“Bapak, suaminya Ibu Rianti?” dokter itu membuka pembicaraan.
“Ya! Pak,”jawabku.
“Begini Pak, istri Bapak menderita penyakit tumor yang tumbuh beserta janin dalam rahimnya. Ada dua penanganan yang dapat kami lakukan. Pertama mengangkat kandungannya beserta rahim, dengan resiko istri Bapak tidak akan dapat mengandung lagi. Pilihan kedua mempertahankan janinnya sampai lahir. Tapi jika tindakan itu yang kita ambil, saya takut nyawa ibunya tidak dapat tertolong. Kini, pilihannya saya serahkan pada Bapak.” Dengan singkat tapi padat, dokter itu menjelaskan padaku.
Spontan, air mata jatuh tak henti di pipiku. Aku tidak memperdulikan saat itu perawat-perawat yang memperhatikanku dengan heran. Bak anak kecil yang ditinggal mati oleh ibunya, serupa itulah tangisku saat itu.
“Bapak yang tabah.” Kata-kata itulah yang terakhir kudengar saat dokter itu berlalu meinggalkanku, dengan tangis dan kepingan hati yang terkoyak.
***
Pusara ini, menjadi saksi besarnya cinta Rianti padaku. Sesaat setelah dokter memvonisnya, dengan pasti dia memilih mempertahankan kandungannya.
“Maut di tangan Allah, Bang!” Katanya penuh yakin padaku.
“Menjadi ibu adalah hal yang kucita-citakan dari dulu Bang, apalah artinya aku sebagai seorang wanita tanpa merasakan menjadi seorang ibu.” Terangnya saat itu.
Tak banyak yang diamanahkannya padaku, selain meminta untuk dikuburkan di tanah kelahiranku. Agar dengan mudah, aku dapat berziarah ke pusaranya. Memberikan nama anak yang akan dilahirkannya dengan nama Said Reje Alaska. Rianti saat itu, sangat yakin bayi di kandungannya adalah laki-laki.
Saat itu, kutanyakan padanya apa arti nama tersebut dan dengan senyum dia menjawab,“Said Reje Alaska bermakna sebuah harapan dan doa kepada anak tercinta, agar kelak menjadi raja atau pemimpin Linge terdahulu yang tidak hanya menjadi raja tapi juga ulama, arif bijaksana, jujur, adil, dermawan dan sederhana.
Dengan heran dan kagum, kutanyakan padanya dari mana dia mengetahui cerita itu? Ia pun kembali dengan senyum khasnya menjawab, ”Jauh sebelum aku menjadi istrimu, telah banyak aku membaca kebudayaanmu karena aku mencintaimu.”
***
*Anakku…
bierpe pumu ama ni gere selemut pumu ni inemu
kukusuken ulumu buge mis kase nomemu
Anakku..
bierpe leng amani gere sekucak ling niinemu
kubasai kao ken tene kasih orom sayangku
Anakku..
bierpe penjerangen amani gere sesedep penjerangen inemu
kusulangen kuawahmu buge mujadi usi ken tubuhmu
Anakku…
ken galakmu bahgie ni ama inemu
Lailaahaillallah, Muhammad Rasulullah, Jeger mi Anakku mutuah, Umur lanyut rejeki mudah
Kulantunkan puisi ini setiap malam, ketika bujang kecilku akan beranjak tidur. Ibunya meninggal, tepat sesaat dia dilahirkan ke dunia ini. Puisi itu sengaja kulantunkan sebagai pengantar tidurnya karena terkadang dia selalu bertanya tentang ibunya. Kulaksanakan peran ayah sekaligus ibu baginya. Aku ingin menjaga amanah dan membesarkannya sebesar upaya yang kupunya. Akan kujaga cinta Rianti dengan mendidik dan membesarkan putraku dengan baik. Selama aku masih bisa, akan kupenuhi semua inginnya. Kecuali jika putraku menginginkan seorang ibu, karena tak akan ada yang bisa menggantikan sosok Rianti di hati dan hidupku.
Catatan :
* puisi Cik Alek Bersah
BIODATA :
Vera Hastuti, bekerja sebagai guru di SMA N 4 Takengon.
menyentuh sekali……