Bali | Lintas Gayo – Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun ini mencatat rekor dalam jumlah penulis Indonesia yang berpartisipasi dalam proses seleksi. Hingga penutupan periode submisi (pengiriman karya) pada akhir Januari, jumlah penulis Indonesia yang telah mengirimkan karyanya untuk diikutsertakan dalam seleksi telah mencapai 647 orang.
Kepada Lintas Gayo Kadek Purnami mengatakan “Ini jumlah yang sungguh luar biasa dan di luar dugaan kami. Tingginya minat para penulis Indonesia untuk mengikuti UWRF juga sangat menngembirakan karena tahun ini UWRF akan merayakan anniversary-nya yang kesepuluh,” Manajer Pengembangan Komunitas UWRF Kadek Purnami mengatakan pada Selasa (6/2) di Ubud.
Proses seleksi dengan mengundang para penulis dari seluruh penjuru nusantara untuk mengirimkan karya-karyanya telah dilakukan sejak 2008. Pada 2008 dan 2009, jumlah penulis yang berpartisipasi dalam proses seleksi tersebut masih sedikit. Pada 2010 mulai terjadi kenaikan ketika 105 penulis mengirimkan karyanya ke proses seleksi. Pada 2011 jumlahnya naik menjadi 235 dan pada 2012 menjadi 279 penulis.
Lebih lanjut Kadek Purnami menjelaskan “Tahun ini kami perkirakan akan ada sekitar 300 penulis yang berpartisipasi. Ternyata jumlahnya jauh melebihi angka tersebut”. Komposisi daerah asal para penulis juga menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. 647 penulis yang mengikuti proses seleksi tahun ini berasal dari 120 kota di seluruh penjuru nusantara. Jakarta menempati posisi teratas dengan 54 penulis. Dan tentu dari Aceh khususnya Takengon juga ada.
Hal ini kata Kadek Purnami “menunjukkan bahwa UWRF telah makin dipercaya dan dikenal sebagai ajang sastra bergengsi oleh para penulis nusantara”.
Menurut Purnami, hal ini tidak terlepas dari kesungguhan UWRF untuk menjalin hubungan kerja-sama dengan berbagai komunitas sastra dan budaya di berbagai belahan Indonesia. Setiap tahunnya, UWRF bekerjasama dengan komunitas setempat menyelenggarakan acara kesusastraan di paling sedikit enam kota di luar Bali. Bahkan pada 2012, UWRF menggelar lokakarya manajemen festival bekerjasama dengan Komunitas Budaya Siku Keluang di Riau. Lokakarya tersebut bertujuan agar makin banyak muncul festival-festival kesusastraan di seluruh Indonesia. Pada 2013, lokakarya serupa rencananya akan diselenggarakan di Banjarmasin dan Padang.
“Kita ingin agar setiap daerah mampu menyelenggarakan festival sastra-nya sendiri , yang memberi ruang pada kekayaan warisan budaya dan kekhasan bahasa ucap daerah tersebut, sehingga dunia akan bisa melihat bahwa Indonesia ini adalah sebuah wilayah dengan khasanah kesusastraan yang kaya, beragam dan berkualitas tinggi,” kata Pendiri dan Direktur UWRF Janet De Neefe ini.
Karya-karya ke-647 penulis yang berpartisipasi dalam proses seleksi tahun ini akan dikaji oleh Dewan Kurator beranggotakan tiga orang tokoh sastra nasional. Dewan Kurator kemudian akan memilih 15 penulis yang akan diundang dan disponsori untuk menghadiri UWRF 2013 pada 11-15 Oktober mendatang di Ubud.
Karya-karya terbaik para penulis tersebut akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi tahunan dwi-bahasa UWRF. Sampai saat ini UWRF telah menerbitkan lima antologi tahunan dwi-bahasa: Reasons for Harmony (2008), Suka-Duka (2009), Unity in Diversity (2010), Cultivate the Land Within (2011), dan Voices of the Archipelago (2012).
“Ini merupakan manifestasi komitmen kami untuk memperkenalkan karya sastra Indonesia ke dunia internasional. Saat ini UWRF juga sedang merundingkan kerja sama dengan sejumlah festival sastra di luar negeri. Sambutan positif telah datang dari Melbourne Writers Festival dan kemungkinan besar kita akan menyelenggarakan sebuah program pertukaran dan kolaborais penulis Indonesia dan Australia,” ujar Manajer Program Internasional UWRF, Summa Durie.
Keseluruhan program seleksi, partisipasi dan penerbitan antologi tahunan dwi-bahasa didanai secara bersama-sama oleh UWRF dan HIVOS, sebuah lembaga funding yang mengupayakan terciptanya masyarakat yang lebih demokratis di berbagai belahan dunia.
UWRF pertama-kali diselenggarakan pada 2004 sebagai respon kultural terhadap Bom Bali 2002 dan kini telah berkembang menjadi perhelatan kesusastraan internasional terbesar di wilayah ASEAN. Festival ini juga telah diakui sebagai salah satu dari enam ajang kesusastraan terbaik di dunia.
Menyangkut isue acara, Janet menjelaskan “Tahun ini Festival akan lebih meriah karena kami merayakan tahun kesepuluh festival ini dan juga karena kami akan mengangkat tema besar tentang peran dan pergulatan perempuan. Tema tahun ini adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang diinspirasi oleh tulisan-tulisan RA, Kartini, pelopor pemberdayaan perempuan di Indonesia”.
Pada 2012, UWRF menghadirkan 139 penulis dari 38 negara yang berpartisipasi dalam lebih dari 80 diskusi panel, 51 free events (peluncuran buku, pemutaran film, pentas kesenian, pesta jalanan), 21 special events, 16 workshop untuk anak-anak, 14 workshop untuk peserta dewasa, 5 workshop kebudayaan. Festival yang berlangsung selama lima hari di sekitar 50 venue di Ubud tersebut mencatat jumlah pengunjung mendekati 25,000 orang, 62 persennya merupakan orang asing. Selama tiga bulan menjelang berlangsungnya festival, website UWRF mencatat hampir 7,5 juta direct hits.(LG-007/red.04)