Oleh: Muriya Ningrum*
BRAIN, beauty and behavior adalah salah satu kriteria yang saat ini lazim digunakan dalam ajang kontes kecantikan, katakan saja seperti Putri Indonesia, Miss World, miss Universe dan sebagainya. Bahkan dalam ajang pemilihan lokal seperti pemilihan duta kopi, putri pariwisata dll criteria inipun kerap digunakan sebagai acuan utama dalam penilaian. Mengapa kata “Brain (kecerdasan)” diletakkan lebih dulu dibandingkan “beauty (kecantikan)” yang notabene adalah hal utama dalam kontes kecantikan, ternyata para juri pun menyadari bahwa menjadi cerdas itu sudah pasti cantik, dan cantik belum tentu cerdas.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Malik Bin Nabi, seorang pemikir asal Aljazair, ia menemukan korelasi positif antara pengetahuan dan keindahan. Malik melakukan penelitian terhadap sejumlah buruh migran yang didatangkan dari Aljazair ke Perancis, dimana ketika pertama kali didatangkan ke Perancis buruh-buruh tersebut terlihat buta huruf, jelek, dan terbelakang. Bertahun kemudian wajah mereka terlihat berubah lebih baik, terlihat lebih indah tepatnya. Ketika tersenyum wajah mereka tampak lebih renyah, lebih terbuka dan lebih mampu menyatakan isi dalam jiwa mereka.
Apa yang terjadi pada imigran tersebut? Ternyata Malik bin Nabi mengajarkan buruh migran yang buta huruf itu membaca. Pengetahuan telah membuat mereka tampak lebih indah. Menjadi indah adalah efek dari pengetahuan. pengetahuan membuka ruang kemungkinan lebih luas, dan menambah kemahiran. Hal ini akan membuat manusia lebih berdaya . keberdayaan itu meningkatkan harapan dan kepercayaa diri. Dan hal inilah yang pada akhirnya mewariskan keindahan jiwa yang membuat senyum para buruh tersebut menjadi merekah indah. Karena harapan mereka permanen. Karena kepercayaan diri mereka beralasan.
Konsep Brain, Beauty and Behavior ini juga seyogyanya diterapkan dalam pendidikan, tidak hanya untuk para murid tetapi juga untuk kita sendiri sebagai fasilitator dalam pendidikan. Sebagai pendidik, para guru diharapkan mampu melejitkan ketiga hal ini dalam diri para muridnya , yaitu“Brain”(kecerdasan), “behavior” (tingkah laku) yang baik dan pada akhirnya perpaduan brain dan behavior akan menghasilkan kecantikan yang berasal dari dalam yang disebut dengan inner beauty. Hal ini sejalan dengan dua point Sebagaimana yang pernah disebut oleh seorang pakar psikologi pendidikan Benjamin Bloom, bahwa sekolah, sebagai lembaga pendidikan, pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian pada manusia yaitu: watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih keterampilan (psychomotor domain).
Apa yang dihadapi oleh banyak siswa/i kita dan bahkan kita sendiri jika mau jujur, adalah bahwa kita belum menyadari akan pesona “Brain” tersebut. Selama ini kita mungkin hanya rajin memoles penampilan dan fisik kita tetapi lupa untuk memperbaharui kecerdasan kita. Mungkin kita lupa karena selama ini kita tidak lagi dikejar oleh tuntutan nilai indeks prestasi, atau mengejar mata kuliah tertentu agar lulus sehingga kita pasrah dengan keadaan yang statis sementara keadaan telah jauh melangkah dengan segala perkembangannya meninggalkan kita dibelakang. Atau mungkin kita lupa karena walau apapun yang kita lakukan, apakah mengajar sungguh-sungguh dengan sepenuh hati atau mengajar hanya sekedar tuntutan profesi, maka kita tetap akan mendapatkan gaji.
Namun apa yang telah dilakukan pemerintah akhir-akhir ini, yang membuat hampir sebagian guru resah, tujuan sebenarnya adalah untuk meningkatkan profesionalisme para guru. Kita sama-sama tahu bagaimana kondisi pendidikan kita saat ini, atau dalam skala yang lebih kecil lagi bagaimana kondisi pendidikan yang ada di Aceh saat ini. Nilai hasil Uji Kompetensi Guru yang dibawah Papua, nilai uji kompetensi awal yang standarnya pada akhirnya diturunkan karena nilai yang dicapai tidak mencapai target, dan banyaknya peserta PLPG (pendidikan dan latihan profesi guru) yang harus kembali mengulang ujian.
Terlepas jika apa yang telah diprogramkan pemerintah menuai kritik dari berbagai pihak, baik itu dari PGRI, maupun para guru itu sendiri, atau karena mengandung unsur politis tertentu, namun dengan berfikir positif fenomena ini sebaiknya dijadikan cermin bagi para guru untuk dapat menilai apa yang selama ini kita lakukan, menilai kinerja kita masing-masing. Bukankah di tangan kita para guru terletak masa depan Bangsa dan Negara ini? Jadi kitalah yang menentukan ke mana arah pendidikan ini kelak.
Karena para guru sangat berperan dalam menentukan masa depan pendidikan ini, maka wajar jika pemerintah begitu memperhatikan kesejahteraan para guru dengan mengucurkan dana sertifikasi milyaran rupiah yang tentunya dana tersebut bukan gratis diberikan cuma-cuma, namun ada out put yang diharapkan pemerintah dari para guru. Hal ini tak ubahnya seperti ungkapan “There’s No free lunch” (baca: tidak ada makan siang gratis). Karena itulah mulai dari tahun 2007 hingga sekarang jika kita perhatikan, pola sertifikasi kian lama kian sulit (kesannya semakin lama kok semakin dipersulit). Sebenarnya jika kita mau berfikir positif inilah cara pemerintah untuk meng-up date kita para guru –perlahan tapi pasti- agar lebih berkualitas dan berkompetensi, atau agar lebih kenal dengan ICT misalnya. Dan yang paling fenomenal lagi akhir-akhir ini adalah tuntutan agar guru mau tidak mau harus mampu menulis.
Peraturan PP no 16 tahun 2009 menyatakan “Peraturan baru ini, terdiri dari 13 Bab dan 47 pasal, secara keseluruhan peraturan ini mengandung semangat yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sebagai tenaga profesional yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Pasal 4.” Peraturan yang akan diberlaku awal tahun 2013 akan membuat para cek gu ini mau tidak mau akan dipaksa untuk menulis karya ilmiah, karena jika tidak melakukan publikasi karya ilmiah maka akan sulit naik pangkat.
Ada ungkapan sepandai-pandai orang membuat peraturan maka lebih pandai lagi orang yang menjalankan peraturan tersebut. Sama seperti disekolah, sepandai-pandai guru mengawasi dalam ujian misalnya, masih sering kita kecolongan oleh siswa/i yang banyak akalnya. Program-program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru seperti sertifikasi, UKG dan kewajiban publikasi karya ilmiah sebagai suatu syarat untuk kenaikan pangkat, bukan tidak mungkin kelak diakali oleh segelintir guru yang gemar akan sesuatu yang sifatnya instan. Asal ada orang yang mengurus, asal ada orang yang bisa dibayar untuk menulis karya ilmiah, kenapa tidak?.
Terlepas dari ini semua maka hal ini berpulang kembali pada diri dan pribadi kita masing-masing. Jika kita memang ingin berubah memperbaiki diri, meningkatkan profesionalisme dan kompetensi maka hal ini tentunya tidak akan kita lakukan. Kita harus mulai berfikir untuk ber-evolusi kearah yang lebih baik, bukan ber-revolusi, karena evolusi memberi kita ruang dan waktu yang lebih banyak untuk belajar perlahan tapi pasti, sementara revolusi itu sifatnya instant, serba cepat. Dan perubahan yang sangat cepat akan membuat kita sulit beradaptasi. Bukankah proses pembelajaran itu sendiri perlu waktu yang panjang tidak bisa instan. Maka bersabar dalam menuntut ilmu adalah salah satu filosofi yang harus kita anut jika kita ingin bisa. Bukan karena kita guru maka kita telah tahu segalanya dan tidak perlu lagi belajar. Justru karena kita adalah seorang gurulah maka kita harus lebih banyak belajar. Prinsip long life learning seyogyanya juga berlaku pada diri guru bukan hanya kita tekankan pada siswa/i disekolah saja.
Jadi sebelum kita mencoba memotivasi siswa akan pentingnya proses pembelajaran, pentingnya perubahan kearah yang lebih baik, pentingnya meningkatkan kompetensi dan kecerdasan untuk menghadapi era persaingan global yang semakin lama kian terasa semakin sulit, maka seyogyanya kita terlabih dahulu yang harus memotivasi diri kita sendiri. Hal ini seperti yang pernah terungkap oleh Khalil Gibran dalam puisinya :
“Barang siapa yang ingin menjadi guru, biarkan dia mulai mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain, dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata.”(ningrummuriya[at]yahoo.co.id)
*Guru SMAN 1 Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah
Papatah mengatakan :
Guru Kencing Berdiri…
Murid Kencing Berlari…
Inilah fenomena pendidikan kita yang sulit untuk diperbaiki dari zaman kolonial Belanda sampai sekarang…ditambah kurikulum pendidikan yg amburadul membuat mutu pendidikan jadi acak acakan yg tidak kalah lagi adalah oknum gurunya yg bermental bejat dan bermoral rendah dan sebagainya…menjadi sebuah lingkaran SETAN yg tiada putusnya…
Dukungan pemerintah besar bagi pendidikan, ada BOS, beasiswa dan Dana sertifikasi serta insentif yg cukup besar bagi guru…tapi apa hasilnya…e..e..e dibawah Papua…
Kwantitas sih banyak tapi kwalitas nggak banyak. tuh….