Oleh : Yusra Habib Abdul Gani*
Catatan Akhir Pekan (Kuliah Sejarah Aceh)
Kemarèn, (6. April 2013), genap 130 tahun meletusnya perang dahsyat antara Belanda versus Aceh. Sebenarnya, target serangan serdadu Belanda adalah menguasai Istana Sultan yang denahnya sudah dibocorkan oleh Pang Tibang (juru runding Aceh) saat berunding dengan Belanda di atas kapal Belanda di perairan Selat Malaka. Hanya saja serdadu Belanda gagal memastikan posisi yang tepat dan akhirnya Masjid Baiturrahman menjadi sasaran. Perang ini diawali dengan Ultimatum berisi:
(1). Turunkan bendera Aceh dan naikkan Bendera Belanda;
(2). Aceh menyerah tanpa syarat kepada Belanda;
(3). Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Aceh;
(4). Hentikan melalun di Selat Melaka;
(5). Putuskan hubungan diplomatik dengan Kesultanan Usmaniyah di Turki.
Ultimatum penguasa perang Belanda tgl. 26. Maret 1873 ini dihantar oleh Sumo Widigdjo, yang mematok masa satu jam kepada Sultan Aceh untuk memberi jawaban. Bagaimanapun, gendrang perang yang ditabuh Belanda ini disahut oleh Aceh, setelah Sultan Aceh mengadakan musyawarat bersama Dewan Menteri dan anggota Majlis negara. Keputusan musyawarat “Aceh siap berperang!”
Dalam masa yang relatif singkat Aceh mesti menyusun taktik dan strategi perang, menghimpun para panglima perang dan mengumpulkan senjata dari gudang yang dibeli dari Inggris seharga 50.000 dollar Spanyol atas dasar Perjanjian Raffles antara Inggris-Aceh, pada 22 April 1819; dimana pada pasal 9 menyebut bahwa Inggris siap menyerahkan “gun powder, forty barrels; Field pieces, six-prs, brass, four; Round shot for ditto, four hundred; Musket, complete, four hundred; Musket balls, thirty barrels; Musket flints, three thousand.”
Berbekal senjata inilah, Aceh berhadapan dengan serdadu Belanda berkekuatan ribuan personil dan senjata modern pada masa itu. Serangan Belanda secara besar-besaran terjadi pada 6. April 1873 dengan melakukan terobosan-terobosan ke jantung pertahanan pejuang Aceh –Masjid Baiturrahman dan Istana– hingga terjadilah perang bersenjata yang seru dan perang tanding satu lawan satu antara kedua belah pihak dalam jarak dekat.
Dengan keunggulan persenjataan, Belanda dapat melumpuhkan perlawanan pejuang Aceh dan berjaya menduduki Masjid Raya Baiturrahman buat sementara. Dalam bèntèng Masjid Raya inilah, Teuku Imam Lham Krak, Teuku Rama dkk. gugur sebagai syuhada. Demi mempertahankan bèntèng Masjid Baiturrahman, pasukan Panglima Polim, Cut Banta, Teuku Muda Ië Alang, Teuku Muda Bintang dan Teuku Muda Bén, berjuang mati-matian dengan senjata rencong, parang, tombak dan kelèwang, dibantu oleh pasukan Ulèëbalang dari Sagoë XXII Mukim, pimpinan Teuku Keumalo, Teuku Muda Bait dan masyarakat ikut terjun dalam kancah perang yang tiada pihak memberi ampun dan yang diampuni. Selama tiga hari kawasan Baiturahman menjadi ’the killing field’ yang mengorbankan kedua belah pihak.
Kawasan Masjid Raya Baiturrahman ini menjadi benteng pertaruhan militer kedua kekuatan yang saling memperebutkan posisi strategis; apalagi kawasan Blang Padang turut ditawan. Oleh sebab itu, Teuku Cut Jak Cadek yang mengendalikan meriam, terus menyerang posisi strategis yang diduduki serdadu Belanda. Bantuan dari pasukan omando jihad fisabilillah juga datang dari Sagoë 25 & 26 Mukim, yang terdiri dari para Ulèëbalang, Ulama dan rakyat biasa.
Dalam perhitungan militer, Kôhler menganggap sudah aman, karena telah berjaya merebut bèntèng Masjid Raya, sehingga pada petang hari 6. April 1873, pasukan Kôhler yang sudah menguasai dan memusatkan pertahanan dalam kawasan Masjid Raya berada dalam keadaan tidak siaga. Dengan gerak cepat, tiba-tiba muncul pasukan militan dibawah pimpinan Panglima Polim Cut Banta momuntahkan peluru ke arah pasukan Köhler yang sedang isterahat dan berpesta-pora sambil minum arak. Serangan inilah yang memporak-porandakan kekuatan serdadu Belanda yang turut menewaskan Jenderal Köhler.
Akibat peristiwa tersebut, telah meruntuhkan semangat dan membuyarkan konsentrasi pasukan Belanda. Sementara itu, pejuang Aceh merampas senjata dan menghabisi serdadu Belanda. Yang sempat menyelamatkan diri, lari terbirit-birit ke atas kapal perang. New York Times mengulasnya sbb: “A sanguinary battle has taken place in Aceh a native Kingdom occupying the Northern portion of the island of Sumatra. The Dutch delivered a general assault and now we have details of the result. The Attack was repulsed with great slaughter. The Dutch general was killed, and army put to disastrous flight” (The New York Times, May 6th 1873)
Hal yang menarik dalam perang ini adalah policy pemerintah Belanda yang membatasi jumlah orang Belanda untuk menyertai perang di Aceh, kecuali setaraf panglima dan opsir-opsir saja dilibatkan. Policy tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah penjajahan Belanda kecuali dalam perang melawan Aceh. Belanda punya 70.000 personil angkatan perang pada awal abad ke-17 dan tidak perlu menyewa serdadu bayaran, termasuk “ketika Van Tromp (panglima perang Belanda) mengalahkan Blake (panglima perang Inggris) dalam medan perang Pantai Goodwin dan ketika Ruyter (Belanda) mengalahkan pasukan Albemarle (Inggris) dalam perang di sungai Thames sambil membakar kapal-kapal Inggris di Sheerness dan Chatham sekaligus menutup kanal yang menghala ke London yang terjadi pada pertengahan abad ke- 17” (New York Times, 6 Mei 1873, p. 20. )
Jadi, perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari semua perang yang pernah dilancarkan Belanda di Eropa, Afrika, Amerka Latén dan Asia Tenggara. Pemerintah Belanda merasa lebih senang membelanjakan bermilyar-milyar Golden untuk membiayai serdadu upahan yang terdiri dari suku Jawa, Madura, Minangkabau, Maluku, Minahasa, Ambon dan Sunda; termasuk para penjahat yang disewa dari beberapa penjara di Eropah berperang menghadapi pejuang Aceh. Dalam kaitan ini dikatakan:“… ribuan kompeni KNIL yang dikirim ke Aceh mayoritas suku Jawa, disamping Eropa, Ambon, Timor dan Minahasa. Semua orang Aceh tahu bahwa justru yang dikubur di situ dominan orang Jawa yang masuk dalam kedinasan KNIL. Anda akan menemui nama-nama Jawa seperti Kromodengso, Kromodiryo, Semito, Prawiroyudo dan seterusnya.
Ratusan bahkan mungkin seribu nama-nama Jawa. Kuburan Kerkhoff adalah monumen bahwa Jawa pernah membela Belanda (penjajah kafir), dan Jawa akhirnya terbunuh di Aceh.” (Margono Dwi Susilo, Jawa di Mata Aceh, Kompasinia, 14 Maret, 2012) Fakta ini merupakan bukti ketidak yakinan Belanda terhadap kekuatan sendiri –merasa perlu melibatkan anak jajahan secara langsung– dalam perang Aceh demi membangun mahligai kolonialisme di atas timbunan mayat serdadu bayarannya. Ini merupakan salah bentuk penyimpangan daripada konsep maupun doktrin marthir dalam ajaran Nasrani. Belanda itu pengecut!
*Director Institute for Ethnics Civilization Research