oleh : Yusradi Usman al-Gayoni*
Beberapa waktu yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah telah menyetujui dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Tahun Anggaran 2013, sebesar Rp. 740.486.105.127,- (Lintas Gayo, 28 Januari 2013). Di sini, masyarakat Takengon harus mengawasi penggunaan anggaran tersebut: apakah peruntukannya benar-benar untuk kepentingan rakyat keseluruhan? Atau, “rakyat sebagian?” Dalam arti, hanya dinikmati oleh pembuat/pelaksana serta orang-orang yang memiliki akses terhadap kebijakan dan kekuasaan. Kalau itu yang terjadi, cukup disayangkan.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah juga mesti transfaran. Misalnya, dengan membuat dan membagi-bagikan Poster APBK, sampai ke kantor-kantor kepala kampung, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok. Dengan kata lain, ungkapan transfaran tersebut bukan sekedar wacana (cerak pelin), melainkan nyata dalam tindakan. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat, mengkritisi, dan mengevaluasi penyusunan anggaran yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, penyusunan program pembangunan dan anggaran tahun berikutnya bisa lebih baik. Pastinya, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, sesuai kebutuhan ril di lapangan, dan berkeadilan.
Kemudian, masyarakat harus mendorong dan ikut mengawasi wakil-wakil mereka yang duduk di DPRK (mengawasi pengawas). Sejauh mana wakil-wakil rakyat tersebut mampu memperjuangkan anggaran yang prorakyat. Dengan kata lain, anggaran yang menyejahterakan; bukan mengayakan segelingir orang. Disamping itu, jangan sampai mereka pun ikut bermain, karena kurangnya keterlibatan dan pengawasan masyarakat. Apalagi, saat sekarang (2013) yang merupakan tahun politik. Bisa saja, terjadi politisasi anggaran untuk kepentingan 2014 (mengamankan posisi mereka)
Partisipatif
Yang jauh lebih penting lagi, bagaimana pemerintah kabupaten melibatkan masyarakat dan pelbagai stakeholder di awal penyusunan program pembangunan dan anggaran. Alhasil, program dan anggaran yang disusun pun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bukan program titipan, yang ujung-ujungnya ‘proyek.’ Tujuannya, untuk mengembalikan modal. Lalu, bisa saving (mungemas) untuk persiapan pemilu kada atau pemilu legislatif selanjutnya. Bahkan, balas budi kepada tim sukses-tim sukses atau pemodal yang telah ikut berjuang sebelumnya, yang dieksekusi melalui program-program dan anggaran-anggaran yang sudah disusun “di belakang layar.”
Terlepas kurangnya willing “angan kasat ejet ni niet” dari eksekutif dan legislatif, misalnya, masyarakat lah yang mesti lebih aktif, cerdas, dan kritis. Khususnya, dalam penyusunan program dan anggaran sampai pengimplementasiannya. Pada akhirnya, masyarakat akan betul-betul dilayani dan diposisikan sebagai penikmat pembangunan. Genap si mulo; agih si belem.
*Analis Politik, tinggal di Jakarta