Nur Rahmi*
HARI sudah mulai gelap, padahal masih jam 5 sore. Ah, aku lupa ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Aceh. Namun, suasana bandara Soekarno-Hatta tetap saja ramai. Kami sepakat di bangku itu sambil menikmati lalu lalang orang-orang. Perjalanan yang melelahkan, kedua kalinya aku ke Jakarta bersama Ibu. Banyak harapan tertanam dalam hati kami. Ini bukan perjalanan tour bukan juga menjenguk sanak saudara.
Sebentar lagi magrib, kami masih duduk manis. Hingga datang seorang bapak paruh baya menawarkan jasa mobilnya, katanya ia juga pulang kearah yang sama. Wah, beruntung sekali, tapi tetap saja hati ini was-was karena tidak mengenalnya. Untungnya aku masih ingat sedikit jalan menuju rumah saudara yang akan kami datangi. Jadi, tak perlu khawatir jika nanti diculik. Tepat pukul 8 malam, kami sampai dirumah.
Keajaiban seperti apa yang kamu inginkan? berhentilah mencari keajaiban, tapi ciptakanlah keajaibanmu sendiri.
Aku tak pernah tau apa yang direncanakan Tuhan, tapi yang kurencanakan adalah hari ini kembali tiba di Jakarta. Tujuanku masih sama seperti saat pertama kali aku diharuskan berangkat ke Jakarta oleh dokter. Menderita penyakit pembunuh pertama di dunia selama 20 tahun bukanlah hal yang mudah bagiku dan keluarga. Ketika dokter mengharuskan untuk operasi, aku hanya mengira itu guyonan sang dokter yang menakut-nakutiku karna aku termasuk orang yang rajin kontrol tapi malas minum obat.
“Jika kamu ingin sembuh, caranya adalah operasi” kata dokter spesialis jantung yang merawatku selama ini.
Siapa yang tidak ingin sembuh? Tapi jika dengan operasi, mungkin banyak yang memilih tidak. Termasuk aku saat itu. Percayalah, Tuhan tidak akan mengujimu melebihi batas kemampuanmu. Jika Tuhan memilihku menanggung sakit ini, maka Tuhan lebih tau bahwa aku sanggup menanggunggnya.
Ventrikel septal deffect (VSD), PS Infundibuler, dan Double Chamber RV, bukanlah jenis penyakit langka di Indonesia. VSD adalah penyakit jantung bawaan dengan keadaan jantung yang tidak normal, antara dinding dalam ventrikel jantung terdapat lubang yang seharusnya tidak boleh ada, sehingga menyebabkan aliran darah di ventrikel kanan jantung jadi bercampur dengan aliran darah di ventrikel kiri, hal ini menyebabkan volume air dijantung tidak terkontrol dan akhirnya penderita cepat lelah dan mudah terserang penyakit lainnya. Sedangkan PS Infundibuler adalah keadaan pembuluh darah yang menyempit, sehingga penderita jadi sulit bernafas dan keadaan tubuh membiru, terutama dibagian kuku dan bibir. Double chamber RV adalah keadaan lubang antara dinding ventrikel kanan dan ventrikel kiri jantung yang telah menjadi dua (double).
VSD disebabkan oleh pembentukan jantung yang tidak sempurna ketika bayi masih dalam janin ibu. Pada kasus-kasus tertentu, VSD mampu menutup dengan sendirinya di usia 3 sampai 5 tahun. Jika tidak menutup, maka penderita harus melakukan penutupan secara sengaja, yaitu operasi. Untungnya kami punya saudara yang menetap di Jakarta, ada tempat berteduh juga mengadu di negeri orang. Walaupun ini masih di Indonesia, tapi ini bukan rumah sendiri.
Perjalanan menuju ke Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, tidak begitu jauh dari rumah, tapi cukup jauh jika dirundung macet. Lantas, kami tidak langsung masuk ke Rumah Sakit, melihat keadaan Jakarta yang tak selalu mulus, kami harus mencari rumah sewa terdekat selama proses di rumah sakit belum selesai. Karena belas kasihan orang banyak, aku jadi begitu bersemangat untuk sembuh. Bahkan, ketika aku berada di meja operasi pun aku ingin cepat terbangun dan berbagi senyum kepada mereka yang telah rela merogoh koceknya untuk kesembuhanku. Masih jelas kusaksikan dalam ingatanku, bahkan aroma ruangan itu masih tercium tajam di hidung ini.
Bukan keputusan yang mudah ketika keluarga memutuskan memang harus menempuh jalan operasi. Satu tahun telah cukup untuk keluargaku berfikir dan menyiapkan segala sesuatunya. Karena berasal dari keluarga yang hanya berkecukupan sehari-hari, masalah biaya menjadi satu kendala dalam memutuskan ini. Tidak ada rasa takut yang kurasakan tentang operasi itu. Melihat wajah mereka, melihat senyumnya, mendengar suara mereka satu persatu menyemangatiku. Aku akan sembuh.
Perjuangan ayah mencari nafkah diterik siang, dengan semangat yang takkan luruh oleh cucuran keringat dari tubuhnya. Do’a ibu yang tiada hijab terus mengalir disepanjang sujudnya. Kekuatan dan kesabarannya menemani hari-hari sulitku di rumah sakit. Semangat seorang kakak mencari sejuta koin untuk kesembuhanku. Tiada kata lelah walau pulang tanpa selembar uang pun dari instansi yang ia datangi. Sejuta semangat dari teman-teman yang membuatku benar-benar ingin segera sembuh. Bahkan, begitu banyak lagi yang peduli padaku, ikhlas menyalurkan bantuan materi. Empati mereka membuatku tegar. Karena perjuangan mereka semua aku sampai di rumah sakit harapan kita, Slipi, Jakarta Barat.
Dinding-dinding kamar ruang rumah sakit ini terlihat bersih, dinding kaca di sisi kanan ruangan menjadi pemandang tersendiri bagiku. Dipagi hari, matahari sedikit pun tak enggan masuk ke dalam ruang tidurku, bahkan dimalam hari, Taman Anggrek Mall menjadi pemandang yang sangat indah dihiasi lampu-lampu yang gemerlapan. Ditambah dengan lalu lalang kendaraan di jalan tol, tampak seperti mobil mainan dengan kerlap-kerlip.
Ini adalah kali ketiga aku dirawat setelah bedah pertama di aorta lipatan paha, yang menghubungkan alat occular (sejenis kawat yang berungsi menyumbat lubang di jantung) ke jantung. Ternyata, untuk jenis penyakit sepertiku tidak berhasil jika ditutup menggunakan alat occular saja, yang kemudian mengaharuskanku untuk operasi bedah yang lebih besar, langsung dibagian jantung.
Walau keadaanku semakin memburuk, aku harus rela berbagi ruangan operasi dengan pasien lain. Artinya, aku harus mengantri dengan jadwal yang ditentukan. Semua tidak berjalan lancar, Tuhan sedang menguji kesabaran kami. Satu minggu setelah bedah kecil itu dilakukan, dijadwalkan untuk operasi besar selanjutnya. Namun, Tuhan berkehendak lain. Dengan alasan ruang ICU penuh, jadwal operasiku di undur seminggu berikutnya.
Apa yang Tuhan rencanakan, itulah yang terbaik. Hanya saja, terkadang kita tidak mengerti dengan simbol-simbol alam yang ditunjukkan. Hari-hari sulitpun berlangsung, antara kesabaran dan keputusasaan yang sangat berjarak tipis. Aku hampir lelah dengan penantian kesembuhan itu.
Tiga kali penundaan operasi cukup membuat kami lelah menjalani hari-hari kosong di kos-kosan. Sesekali, kebosanan menggerogoti kami. Untungnya aku punya seorang ibu yang begitu sabar. Berkeliling kota Jakarta pun kami lakukan, walau dalam keadaan kurang fit aku begitu semangat berjalan perlahan-lahan melintasi penyeberangan busway. Mulai dari Museum Nasional, Monumen Nasional dan berakhir di masjid Istiqlal. Melihat kota Jakarta dari puncak monas sangat-sangat menghayutkan, keindahan kota yang dipenuhi gedung-genung bertingkat dan rumah-rumah yang sangat padat. Ke mall juga menjadi pilihan kami kemudian. Sakit ini, aku di bawa Tuhan mengelilingi Jakarta. Suatu keberuntungan dalam kesulitan, walau ini menjadi hal biasa saja bagi mereka yang sudah terbiasa terbang ke Jakarta.
Setelah penantian panjang, sungguh ada jawaban di ujung keputusasaan. Do’a kami terjawab, do’a ibuku, do’a ayah, do’a kakak, dan do’a semua orang yang menyayangiku memberi sejuta semangat menjalani operasi besar untuk kesembuhan.
Dirawat di rumah sakit, hal biasa bagiku. Masuk keruang operasi adalah hal luar biasa, tidak sembarang orang yang boleh masuk keruangan hijau itu, aku orang-orang terpilih melihat keajaiban Tuhan dengan mata tertutup dan tidak sadar diri karena anestesi penuh. Tapi Tuhan, memperlihatkan kebesarannya lewat tidur panjangku di ranjang pasien.
Sehari sebelum operasi, aku sudah dirawat intensif diruang Intermediet Ward (IW). Seperti tidur di hotel bintang lima, kasur empuk, ruangan sejuk dan perawat yang ramah tidak membuatku bosan tidur seharian. Tidak hanya aku, disebelah kiri kananku juga ada beberapa pasien lain yang mendapat perawatan intensif sebelum masuk ke ruang operasi. Seperti giliran menjumpai presiden, silih berganti pasien yang terjadwal di dorong masuk ke ruang operasi.
Satu malam sebelum giliranku, dokter mengunjungiku ditempat tidur dan memanggil ibu untuk di ajak bicara. Sebelum ia berbicara kepada ibu, ia menatapku sambil tersenyum dan berkata, “ ini hal sangat penting yang harus kubicarakan dengan ibumu,”
“Tidak mengapa dokter, aku ingin disamping ibu. Bicaralah dihadapanku.” Balasku dengan tegas.
“Baiklah, sudah kewajiban seorang dokter mengatakan hal ini.”
Ia pun mulai bicara, tentang teknis operasi yang akan ku jalani esok hari. Tentang perkembangan penyakitku yang sudah 20 tahun ini. Tentang segala resiko yang harus kami terima selama proses operasi berlangsung dan selesai. Tentang VSD dalam jantungku.
Ini operasi besar, tentu ada resiko dari setiap penyakit yang disembuhkan dengan cara operasi. Pertama, jika saat penutupan lubang (VSD) terkena aliran listrik di jantung (karena letaknya sangat berdekatan dengan VSD) maka jantung akan berhenti berdetak. Namun, tim dokter akan segera mengambil tindakan dengan memasang baterai permanen agar jantung kembali berdetak.
Kedua, terjadinya pendarahan pun tidak bisa dielakkan. Jika pendarahan itu terjadi terus menerus dan tidak bisa dihentikan maka akan sangat fatal bagi pasien. Karenanya, pihak keluarga harus menyiapkan dua orang pendonor darah untuk persiapan darah segar jika pendarahan itu terjadi.
Ketiga, udara dalam jantung harus terkontrol. Jika ada sedikit saja udara yang lepas dari jantung maka akan sangat mempengaruhi saraf otak yang bisa pecah dan menyebabkan terjadinya stroke.
“Dokter akan berusaha melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Selain usaha yang kami lakukan, do’a dari keluargalah yang sangat penting karena kita tau segala kemungkinan yang bagaimanapun bisa terjadi” jelasnya.
Waw, bagai bom molotov yang menghancurkan Palestina menghujam dijantungku. Aku terpaku dengan penjelasan dokter, mungkin ibuku merasakan hal yang sama. Ku perhatikan raut wajahnya yang tampak letih, matanya memerah seperti menahan tangis. Benar saja, setelah dokter keluar dari ruangan itu, ibuku masuk kekamar mandi. Ibu menangis. Ya Tuhan, ibuku menangis. Bagaimana ini, aku telah membuatnya bersedih. Tuhan, ku mohon yang terbaik dariMu. Jika aku harus pergi bersamaMu saat operasi berlangsung, tabahkanlah hati ibuku, hiburlah ia Tuhan. Aku mencintainya karnaMu.
Masih jelas kusaksikan dalam ingatan, bahkan aroma ruangan itu masih tercium tajam di hidung ini. Pikiranku kosong ketika di dorong masuk ke ruang operasi, dalam diam dan hanya memandang wajah ibu. Apa yang seharusnya aku pikirkan, hanya hatiku yang terus bergumam dengan Tuhan. Tepat dihadapan pintu ruangan hijau, aku semakin cemas dalam diam, Ibu memegang erat tanganku, hangat. Ibu, aku mencintaimu karna Allah. Tak ada sepatah katapun, seandainya ayah berada disini, seandainya kakak-kakakku ada, seandainya semua saudaraku berkumpul, aku tak akan begitu khawatir tentang kecemasan ibu.
Hari ini menjadi sejarah terpenting bagiku, sejarah permulaan hidupku yang kedua. Tuhan memberiku kesempatan untuk bernafas lagi. Suasana diruangan hijau yang begitu sejuk, dokter yang ramah dan suster yang cantik. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk membuatku tertidur, hanya satu suntikan kemudian aku tertidur pulas tanpa megetahui apa yang mereka kerjakan dengan tubuh ini. Aku melihat setitik cahaya yang tidak menyilaukan, seakan mengajakku istirahat dalam sinarnya.
Ibuku menangis dalam sujud, dalam kesendiriannya ia mencoba memanggil Tuhan untuk menemani kegelisahannya. Satu jam, dua jam, dan tiga jam berlalu, belum ada konfirmasi apapun dari dokter. Kecemasan seorang ibu semakin memuncak, pada siapa ia harus mengadu selain Tuhan yang ada bersamanya di rumah sakit itu, tanpa keluarga tanpa sanak saudara.
Dua jam kemudian, seorang satpam memanggil penunggu pasien atas namaku, ibuku bergegas naik ke lantai delapan tempatku di operasi. Dengan penuh harap, seorang ibu menahan tangis dihadapan anaknya walau anaknya dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Ibu sendirian? Mana Ayahnya?” tanya dokter pada ibuku.
“Ayahnya tidak bisa ikut karna harus mencari nafkah untuk adik-adiknya yang lain dan mengirim sedikit-sedikit untuk kami disini” jawab ibuku lirih
“Ibu adalah wanita yang tegar. Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Pendarahan dapat dikontrol dengan baik. Kedua lubang pada bilik jantung telah kami tutup, dan pembuluh yang menyempit telah kami buka dengan sempurna.” Jelas sang dokter dengan penuh hati-hati.
Tak ada yang dapat diucapkan oleh seorang ibu selain rasa syukur yang mendalam, walau masih dalam keadaan tidak sadar, walau tubuh anaknya dipenuhi berbagai macam selang dari ukuran paling kecil hingga selang ukuran 2cm, ia bersyukur karna anaknya masih bernafas dengan sempurna.
Melewati proses operasi selama lima jam bukanlah waktu yang lama jika dibandingkan kita tidur sehari dalam waktu delapan jam bahkan lebih. Pulas aku tidur selama 29 jam dan terbangun dalam keadaan kaku. Tubuhku dipenuhi selang hingga kedalam tenggorokan, aku tak dapat berbicara sebab pita suara ditekan agar cairan sisa operasi mudah dikeluarkan melalui rongga mulut dan hidung.
Aku terbangun perlahan, ku perhatikan disekeliling. Suster-suster cantik mengelilingiku di tempat tidur. Samar. Tuhan, aku mengenali tempat ini. Ini ruagan ICU yang diperlihatkan padaku sehari sebelum aku masuk keruang operasi. Menakjubkan sekali, aku tidur di antara bayi-bayi berumur nol sampai tujuh tahun. Ranjangku yang palig besar diantara mereka. Aku tidak bisa tersenyum. Nyeri yag begitu mendalam ku rasakan di bagian tulang dada. Mulutku dipenuhi selang-selang, aku hanya bisa menatap menerka-nerka apa yang terjadi disekelilingku.
VSD di jantungku telah ditutup, itu artinya operasi berhasil. Dua hari diruang ICU, aku di pindahkan ke IW dan dirawat intensif pemulihan. Hotel bintang lima, itu yang ada dibenakku tepatnya. Sesuatu yang menyenangkan tidak hanya didapat di tempat-tempat indah, bagiku rumah sakit ini cukup menyenangkan. Aku belajar banyak, tanpa harus duduk formal seperti dibangku sekolah atau kuliah, aku belajar ketegaran dari seorang ibu, belajar kesabaran, belajar keikhlasan, dan belajar tersenyum dalam keadaan bagaimana pun itu.
Tuhan, saksikanlah perjuangan mereka
Begitu tulus dan ikhlas
Aku melihat airmata mereka yang mengantarkanku di bandara
Lihatlah Ya Rabb
Begitu besar harapan mereka untuk kesembuhanku
Bahkan, airmata yang tersembunyi yang terus mengalir dihadapanMu,
Memohon dengan ikhlas untuk kesembuhan ini
Tuhan,..
terimakasih atas nikmat yang telah Kau limpahkan
Karna sebab sakit ini, aku telah membawa ibuku terbang ke Jakarta
Karna itu pula, aku dapat banyak hal yang membuatku sadar akan arti kehidupan
Tuhan..
Andaikan bukan aku yang Kau pilih, mungkin aku belum mampu membawa ibuku terbang ke angkasa
Tuhan..
Terimakasih telah memilihku
Aku tau, bukan aku saja yang menanggung penderitaan ini
Keringat Ayah, yang mengantarkanku pada kesembuhan
Airmata ibu, yang memberiku berjuta semangat
Jerih payah kakak, yang membuatku tetap tersenyum
Tuhan..
Terimakasih telah memilihku
Dengannya, aku belajar ketegaran
belajar kesabaran
–
Nur Rahmi lahir di Banda Aceh,01 Mei 1992 putra ketiga dari lima bersaudara. Tinggal di Jln. Mujahidin I Banda Aceh. Alumnus SMA Negeri 4 Banda Aceh mempunyai hobi menulis, membaca dan jalan-jalan. Mahasiswi IAIN Ar-Raniry, Fakultas Dakwah, Jurusan KPI-Jurnalistik ini mempunyai motto “Membaca adalah konsumsi terbaik bagi seorang penulis”. Ia dapat dihubungi di siiuwlan512@ymail.com/sii.uwlan@gmail.com.
mantap lan, lanjut,
baru baca nih,,, #gaspol 🙂
salut dan sangat menyentuh dengan penggalan2 puisinya., the best women rahmi.,
sukses selalu..
adek….setiap bait yang kau tulisakan adalah penyadaran bagiku dan juga yang lainnya…kesabaran dan kekuatan dari kisahmu menampar jiwaku yang lesuh karena pernh berputus asa…
salud….
jadiin novel dek..
semg slalu berkarya
semoga lebih bagus lagi untuk kedapannya ya rahmi .berkarya lah sampai menemukan puncak kesuksesan@.kami akan selalu mendukungmu.menulis adalah propesi kita anak jurnalistik.hemmm
Mengharukan sekali..
Ayo dikembangkan menjadi sebuah novel inspiratif.. 😉
hmmm, good luck… 😀
lanjot aja lagi dengan cerpen lainnya…
pokoknya, jangan pernah puas dengan 1 karya…
aza_aza fithing… 😀
CAYYO