Adakah Emansipasi dalam Islam ?

lISYAWATI

Oleh : Lisyawati, S.T[*]

Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia selalu memperingati hari Kartini, seorang pejuang yang dianggap membela kepentinga kaum perempuan dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi. Dalam ranah emansipasi,  perempuan boleh masuk ke seluruh lapangan pekerjaan, mereka boleh berprofesi sebagai guru, dokter, menteri, kepala Negara. Untuk memperingati hari kartini berbagai acara digelar dengan bertemakan perempuan, seperti expo karya sastra, buku-buku bertajuk perempuan, puisi yang memompa semangat juang perempuan, diskusi seputar permasalahan yang dihadapi perempuan hari ini. Untuk melihat hal ini perlu ada sebuah pemahaman tentang hakekat emansipasi dan bagaimana Islam melihatnya.

Muncul dan Berkembangnya Emansipasi

Dalam Negara sekuler-kapitalis nilai yang dihargai adalah nilai materi, sehingga pandangan miring muncul terhadap wanita  ketika mereka hanya hidup untuk mengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan materi. Selanjutnya mereka yang seperti itu dianggam mempunyai martabat rendah, ditindas dan dinomorduakan.

Abad pertengahan yang ditandai dengan berakhirnya masa kegelapan dan munculnya pencerahan di Eropa, memberikan kontribusi terhadap lahirnya gerakan emansipasi perempuan. Emansipasi di sini berarti membebaskan manusia dari lingkup yang membatasinya (misalnya: adat dan agama), ini dimanfaatkan oleh sebagian perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini dirampas. Inti dari perjuangan ini adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, perempuan bisa tampil di depan publik dan melakukan apa saja yang ia bisa lakukan sehingga sama dengan laki-laki.

Di Barat, ide emansipasi perempuan telah berkumandang semenjak abad 18, sebagai akibat dari kekecewaan perempuan terhadap kondisi Negara-negara Eropa yang tidak membuat perubahan apapun bagi kaum perempuan. Pada awal abad tersebut  perempuan selalu menjadi obyek di masyarakat, hak-hak mereka kurang diperhatikan. Selanjutnya gerakan emansipasi muncul di awal abad ke 20, salah satu gerakan yang menonjol adalah gerakan women’s lib di Amerika Serikat (AS) yang menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan. Hak perempuan disamakan dengan anak-anak, mereka tidak memiliki hak milik atas harta, tida mendapatkan hak pendidikan yang layak, hak bekerja dan politik. Mereka menuntut perubahan Undang-undang untuk mendapatkan hak-hak tersebut.

Gerakan ini mereda hingga tahun 1960-an, seorang Feminis AS, Betty Freidan memunculkan buku berjudul Feminine mystique. Dalam bukunya, Freidan menggugat peran domestik perempuan yaitu di dalam rumah tangga  yang menyebabkan perempuan tidak bisa mengembangkan kepribadiannya. Bahkan Millet dalam bukunya, Sexual Politics, mengatakan dengan lantang bahwa motherhood is slavery (Ibu rumah tangga sama dengan budak) dan institusi keluarga adalah lembaga old age evil (setan tua). Tulisan-tulisan ini mendorong agar kaum perempuan berbondong-bondong keluar rumah, merambah segala bidang, dan meninggalkan rumah tangga demi mencapai kesetaraan dengan laki-laki. Inilah inti gerakan emansipasi yaitu liberalisasi atau pembebasan perempuan.

Ide dan gerakan ini sampai ke dunia Islam pada masa Muhammad Abduh. Hal ini ditenggarai dengan munculnya tulisan-tulisan tentang pembebasan kaum perempuan dari kewajiban-kewajiban yang ditaklifkan Allah SWT pada mereka. Salah satu buku yang terkenal adalah Buku Karya Qasim Amin, seorang murid Abduh, berjudul Tahriirul Mar’ah (pembebasan perempuan: 1899) dan Mar’ah Jadiidah (perempan modern: 1990). Dalam kedua buku tersebut, Qasim Amin menolak hijab (jilbab) bagi wanita. Menurutnya, hijab adalah pembatas kaum perempuan untuk berkiprah dipublik. Atau dengan kata lain, hijab dianggab sebagai bentuk pengekangan kebebasan perempuan. Dalam buku wanita modern, dia juga dengan jelas menginginkan agar wanita muslimah mengikuti gaya hidup wanita Barat yang pada saat itu tengah gencar merambah segala bidang kehidupan.

Dalam tatanan fiqh, ide emansipasi yang bertujuan untuk menyetarakan perempuan dan laki-laki, dilegitimasi oleh tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Abduh. Untuk menyampaikan ide egalitarianisme (kesetaraan) laki-laki dan perempuan, dia menafsirkan qur’an surat ali-imran ayat 195 yang intinya bahwa kaum pria dan perempuan ada dalam posisi egaliter secara mutlak, tanpa batasan yang jelas. Tafsirnya menjadi legitimasi bagi Qasim Amin untuk menjajakan ide emansipasi ke dunia islam.

Bahaya Emansipasi bagi Kaum Muslimin

Gelombang emansipasi begitu besar menimpa perempuan di dunia termasuk kaum muslimah. Hakikatnya dibalik ide dan gelombang penyebarannya, terdapat ide-ide yang menyerukan upaya penghancuran kaum muslimin. Setidaknya terdapat empat bahaya emansipasi bagi kaum muslimin.

Pertama, dengan emansipasi para muslimah akan sibuk dengan aktivitasnya di ruang publik. Sehingga cenderung mengabaikan keluarganya. Hasilnya, keluarga-keluarga muslim akan menjadi keluarga berantakan. Anak-anak terpaksa diasuh oleh pembantu, atau oleh baby sister elektronik yaitu TV. Tumbuh kembangnya menjadi tidak terperhatikan. Selain itu, keharmonisan rumah tanggapun akan memudar akibat kesibukan luar biasa yang harus dijalani oleh perempuan. Keluarga pun tidak lagi menjadi baiti jannati, tapi baiti naari. Sangat besar kemungkinan dengan kondisi seperti ini, perselingkuhan marak, munculnya PIL dan WIL, serta kebebasan seksual.

Kedua, terjadi pembatasan reproduksi. Ketika perempuan sibuk beraktifitas diluar rumah, reproduksi akan terhambat. Anggapan memiliki anak akan merepotkan dan menghambat karir, sehingga kaum perempuan cenderung malas memiliki anak. Bahkan malas menikah. Pada akhirnya, masyarakat terancam kehilangan generasi. Inilah masalah yang kini dihadapi oleh masyarakat Barat. Pemerintah mereka harus mengeluarkan subsidi besar agar kaum perempuan mau hamil dan melahirkan.

Ketiga, emansipasi membuahkan kegelisahan bagi kaum perempuan. Kaum perempuan yang sibuk beraktivitas diluar rumah, pada akhirnya menderita Cinderella complex. Kegelisahan akibat menanti sang pangeran yang akan menjadi teman sejatinya. Namun sang pangeran tidak kunjung tiba. Karena kaum pria terlanjur menganggap perempuan kini sudah super women, yang tidak butuh pria.

Keempat, hilangnya kasih sayang ibu pada anaknya. Kasih sayang mereka hanya terukur oleh besarnya gaji para ibu pada anaknya. Hasilnya, anak-anak mereka akan tumbuh kekurangan kasih sayang. Ketika beranjak dewasa, anak-anak ini pun jadi kurang perhatian pada orang tua mereka. Fenomena panti jompo menghiasai gambaran masyarakat sekarang.

Pandangan Islam tentang Emansipasi

Dalam islam sepanjang menyangkut hidup perempuan, sejak awal seorang perempuan merupakan bagian dari sebuah keluarga. Dia tidak diwajibkan untuk mencari nafkah termasuk untuk dirinya sekalipun. Dia begitu dimanjakan, nafkahnya dijamin oleh ayah atau pamannya atau saudara laki-lakinya atau suaminya atau anak laki-lakinya. Meskipun jika perempuan itu kaya raya, tidak wajib baginya untuk menafkahi suaminya walau suaminya miskin sekalipun.

Ternyata Allah mempunyai suatu rencana besar untuk diperankan oleh wanita, dan peran itu tidak tergantikan oleh laki-laki. Kaedah syara’ menyatakan “Al-ashlu fil mar’ah innahaa ummun wa rabbatul bait (tugas utama wanita adalah sebagai Ibu dan Pengatur rumah tangga). Sebagaimana Rasulullah saw juga bersabda: “Seorang perempuan adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.”(HR Muslim). Perempuan bertugas sebagai lahan persemaian bagi kelanjutan hidup umat manusia. Dia mengandung, melahirkan anak, menyusui, mengasuh, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Anak penerus cita-cita perjuangan hidupnya dan hidup umat manusia.

Emansipasi merupakan kata yang tidak terdapat dalam kamus islam. Hanya orang-orang Barat dan mereka yang mengekor kepada Barat yang menyerukannya. Karena islam tidak pernah merusak hak-hak perempuan sebagaimana halnya mereka, dan untuk persoalan pembagian kewajiban telah diatur secara bijaksana oleh syariat islam.

Begitu pula jika kita menelaah kehidupan para perempuan pada masa Rasul, sungguh kita akan mendapati bertolak belakang dengan gambaran masyarakat Barat. Pada masa Rasul, kaum perempuan sudah menjadi saudara kandung laki-laki yang bersama-sama dengan mereka untuk menata kehidupan masyarakat. Bukan hal yang aneh pada masa tersebut, kaum perempuan telah banyak berkiprah di dunia publik. Diantara para shahabiyah ada yang menjadi wakil umat, berprofesi sebagai guru, dokter, aktif berpolitik, mendapatkan pendidikan, bahkan turut aktif berjihad. Rasulpun tidak pernah mendiskriminasi kaum perempuan.

Namun kebolehan kiprah meraka didunia publik tidak menjadikan kaum perempuan menuntut persamaan hukum. Ketika ada hukum-hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti masalah jilbab, pembagian tugas rumah tangga, tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, semuanya diterima dengan lapang dada. Karena orientasi kaum muslimin adalah mendapat pahala dan kemuliaan dari Allah SWT. Oleh karena itu, permasalahan emansipasi tidak pernah ada di dunia islam. Wallahu a‘lam


[*] DPD II Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.