Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membatasi pemasangan alat peraga oleh peserta Pemilu 2014. Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, pembatasan ini akan ditegaskan dalam sebuah peraturan. Ia mengungkapkan, peserta pemilu akan dibatasi hanya boleh memasang dua baliho di satu kecamatan.
Ia memaparkan, pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan asas keadilan bagi setiap peserta pemilu. Dengan adanya pembatasan, baliho tidak lagi didominasi oleh peserta pemilu yang memiliki modal besar.
Selain pembatasan jumlah alat peraga, KPU juga mengatur tentang tempat-tempat pemasangan alat peraga. Alat peraga tidak boleh ditempatkan pada fasilitas dan sarana publik seperti tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, taman, pepohonan, dsb. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga estetika dan keindahan kota (Kompas, 31 Juli 2013).
Kontrol dan Sanksi?
Kita menyambut baik terobosan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Harapannya, peraturan itu bisa berjalan efektif di lapangan. Dengan demikian, akan tercipta pemilu legislatif yang berkeadilan dan tidak didominasi kalangan punya punya modal besar serta kekuasaan. Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, misalnya, ada 450 caleg yang maju dari 15 partai politik. Sementara itu, di Dapil 4 (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) ada 120 kontestan.
Kalau satu kecamatan saja ada 2 baliho, maka akan ada 720 baliho di tiga kecamatan (Dapil 4). Rata-rata per kecamatan ada 240 baliho. Itu baru di Dapil 4. Belum lagi, Dapil 1 (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil 2 (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing), dan Dapil 3 (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara). Tentu, jumlahnya makin besar.
Bisa dibayangkan, baliho ada dimana-mana. Kota jadi kurang berestetika, indah, dan “menyesakkan” warganya. Bahkan, bisa-bisa masyarakat tambah muak dan “ingin muntah” melihatnya. Karenanya, peraturan penempatan baliho ini pun dipandang tepat. Nantinya, tidak akan ada caleg-caleg yang memaksakan kehendak, memasang di sembarang tempat, dan bertindak seenaknya. Apalagi, caleg-caleg yang punya kekuasaan dan punya banyak modal (uang).
Masalah kedua ialah pengontrolannya. Bukan perkara mudah mengontrol atribut kampaye ini sampai ke desa-desa. Juga, memastikan cuma dua baliho di setiap satu kecamatan. Akan tetapi, peraturan tersebut mesti tetap dijalankan. Terlebih lagi, KPU punya jejaring dan SDM sampai ke desa-desa, sebagai penyelenggara Pemilu. Segala kekurangannya, bisa dievaluasi dan disempurkan. Dengan begitu, penyelenggaraan pemilu-pemilu berikutnya jadi tambah baik dan makin berkualitas.
Dalam kaitan itu, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) mesti benar-benar berfungsi. Banwaslu jangan menunggu pelbagai laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, ikut melihat dan mengontrol langsung terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Alhasil, proses penyelenggaran pemilu legislatif 2014 bisa berjalan dengan mudah, baik, dan efektif. Utamanya, prihal pengontrolan pembatasan alat peraga tadi.
Disamping penguatan pengontrolan, perlu adanya sanksi yang tegas dari KPU terhadap caleg-caleg yang melanggar. Bila perlu, sanksi pemberhentian jadi caleg. Selanjutnya, mengumumkan ke masyarakat bahwa yang bersangkutan pelanggar peraturan. Jadi, masyarakat juga ikut menghukum caleg bersangkutan (sanksi sosial). Dengan kata lain, mereka tidak layak untuk dipilih dan menjadi wakil mereka di parlemen. Karena, dari awal sudah tidak disiplin, bertindak sesuka hati, dan melanggar peraturan.
Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi peraturan ini. Sasarannya, bukan hanya kepada partai politik, caleg, elemen sipil lainnya, melainkan langsung ke masyarakat. Di sini, ada upaya pelibatan masyarakat dalam segala kegiatan KPU. Termasuk, dalam memberikan laporan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan caleg dan langsung ditindaklanjuti KPU. Demikian halnya dalam pemberian sanksi-sanksi dimaksud. Hasilnya, peraturan tadi bisa berjalan dengan efektif, terukur, dan maksimal.
*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas