Takengen | Lintas Gayo : Tak ada yang menduga jika berpulangnya Rosihan Anwar, wartawan senior dan saksi sejarah di Indonesia pada 14 April 2011 lalu membawa duka mendalam bagi seorang warga Gayo yang saat ini sedang berada di kampung asalnya Takengon.
Dialah Ikmal Gopi, sang sutradara film documenter sejarah perjuangan Radio Rimba Raya (RRR). Sebuah film yang dikerjakan dengan susah payah selama rentang waktu empat tahun dan diakhir 2010 lalu berhasil sebagai salah satu dari 5 nominator film documenter terbaik di ajang Festival Film Indonesia (FFI).
Dalam film tersebut, memang Rosihan Anwar tidak sebut dengan tegas Radio Rimba Raya, akan tetapi satu kalimat kunci disebutkan sosok yang dikenal tak suka bertele-tele ini. “Aceh adalah bagian Indonesia yang tidak bisa diduduki Belanda sehingga Aceh bisa broadcast ke Luar Negeri,” kata Rosihan Anwar kepada Ikmal Gopi.
Diceritakan Ikmal, adalah sebuah kebanggaan tersendiri bisa lebih dari satu jam bersama Rosihan Anwar. Itu terjadi di akhir 2008 silam. Ikmal dan sahabatnya, Sugeng M.W editor RRR yang juga sudah meninggal dunia medio 2009 di Malang mewawancarai Rosihan Anwar di rumahnya Jalan Surabaya, Menteng No 13 Jakarta Pusat.
Bertemu Rosihan bukan pekerjaan gampang. Bukan karena kesibukan sebagai tokoh yang direpotkan akibat ketokohannya. Akan tetapi, sulit ditemui karena sebuah kesetiaan Rosihan terhadap istri tercintanya yang saat itu sakit dan dirawat di rumah sakit.
Setelah hampir dua bulan, kenang Ikmal, akhirnya sempat bertemu dan diberi kesempatan mengambil gambar untuk pembuatan Film Dokumenter Radio Rimba Raya. “Saya masih teringat, saat itu kamera yang kami pakai adalah kamera pinjaman dari seorang teman,” kata Ikmal.
Sosok Rosihan Anwar di mata Ikmal adalah pribadi yang tegas, tidak mau melihat kerja lamban, harus cepat, tepat, langsung ke poin permasalahan.
Rosihan Anwar memberi keterangan dengan jelas dan detail mengenai kejadian masa – masa revolusi Indonesia saat itu. Antara lain Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Aceh hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang cikal bakalnya adalah peristiwa serangan umum ke Yogyakarta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat. Peristiwa besar tersebut dikabarkan oleh Radio Rimba Raya ke dunia dari pedalaman Gayo kawasan Ronga-ronga, papar Ikmal.
Ditambahkan, Rosihan Anwar itu orangnya terbuka dan ramah. malah selaku wartawan, dia memberikan masukan jika salah cara bertanya.
Dan yang paling berkesan bersama dia adalah saat terakhir pengambilan gambar. “Tiba-tiba dia terlihat marah, sebab pertanyaan kami yang terakhir sangat tidak dia sukai. pertanyaan kami saat itu adalah apa pesan dan kesan bapak ?” kata Ikmal.
Rosihan Anwar dengan lantang menghardik kami dengan suara keras ”apa kalian ini !, pertanyaan seperti di zaman Belanda saja, seperti masa orde baru !”, kata Ikmal menirukan hardikan Rosihan saat itu.
“Kami pulang dengan kebingungan. Dan setelah kami analisa bersama rekan saya Sugeng, memang betul juga karena Rosihan sudah kenyang makan asam garam di Republik Indonesia ini. Kalimat pesan dan kesan itu hanya kalimat topeng, manis, tapi tidak ada action-nya dari yang orang menjawabnya,” kata Ikmal.
Dinyatakan Ikmal, walau merasa sangat berduka, akan tetapi juga merasa bangga karena menjadi salah seorang yang beruntung mendapatkan rekaman kesaksian pelaku sejarah tersebut. Dan malah memperoleh bonus sebuah pelajaran langsung dari Rosihan Anwar. “Jangan pernah tanyakan apa pesan dan kesan anda kepada seseorang,” pungkas Ikmal.(windjanur)
Saya juga tidak suka bila ditanyakan apa kesan dan pesan