Ghazali Abbas Adan *
Ihwal usulan dana Rp 50 M untuk pengukuhan Wali, ada pernyataan di media massa (Serambi, 03/10/2013); “Saya pikir itu usulan liar, tidak masuk akal”. Saya sependapat belaka dengan pernyataan ini. Hanya saya tambahkan, bahwa Lembaga Wali Nanggroe juga masih ilegal, alias liar. Hal ini setali tiga uang dengan kesepakatan liar seperti yang ditulis media massa online (03/10/2013), “Kukuhkan Malik Mahmud, Zaini Abdullah sepakati Rp 50 M”. Terakhir disebutkan Rp 2,4 M alias 2.400 juta rupiah.
Dengan demikian klop sudah usulan liar untuk lembaga liar dan kesepakatan liar itu. Menurut saya Rp 1 (satu rupiah) saja uang rakyat disediakan untuk hal yang berkaitan dengan lembaga liar itu, tetap saja liar. Saya nyatakan lembaga liar karena sepengetahuan saya belum ada berita sahih dan terbuka Mendagri sudah menyetujui Qanun Wali Nanggroe yang sudah disahkan DPRA itu. Karena menurut pemahaman saya berdasarkan konstitusi negara RI, Mendagri memiliki otoritas menilai, mengevaluasi dan secara legal formal menunjukkan sikap, setuju atau tidak terhadap Perda yang sudah disahkan DPR Daerah, baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Faktanya Qanun Wali Nanggroe belum ada persetujuan dari Mendagri. Dengan demikian ia masih ilegal, alias liar dan belum bisa diimplementasikan. Sama nasibnya dengan Qanun Lambang dan Bendera.
Lagi-lagi saya nyatakan, lihat saja ihwal lambang dan bendera, begitu menggebu-gebu memobilisasi/menghalau sementara rakyat melakukan demo di beberapa tempat di Aceh demi lambang dan bendera, tetapi nyatanya sampai hari ini tidak ada kop surat pemerintah Aceh menggunakan lambang itu. Demikian pula bendera, sampai saat ini tiang bendera di depan kantor gubernur, bupati dan wali kota tidak berkibar bendera yang sudah disahkan dan dimasukkan dalam Lembaran Daerah itu. Juga tiang bendera di depan gedung DPRA/DPRK. Ini apa artinya ? Adalah fakta, kendati ia sudah disahkan DPRA dan sudah dimasukkan dalam Lembaran Daerah, tetapi Mendagri secara legal formal belum menyetujuinya, maka tidak bisa diimplementasikan. Sama halnya dengan Lembaga Wali Nanggroe beserta aparaturnya, juga bernasib sama. Ditambah lagi di mana-mana muncul protes keras dan penolakan massif dari rakyat, dan saya yakin protes dan penolakan ini tidak akan berhenti selama lembaga dengan muatan diskriminatif, feodalis sektarianis secara paksa dan arogan dipertahankan.
Dengan demikian apa junterungannya rakyat harus bersibuk-sibuk menguras pikiran, dan tenaga untuk urusan lembaga ilegal dan liar itu. Apalagi harus mengeluarkan dana berkarung-karung untuknya, bahkan satu sen-pun tidak boleh. Sementara kehidupan rakyat sendiri masih miskin papa dan menderita.
Memang ada kelompok tertentu yang sedang sibuk, ngotot, ngebet, apit-apit awe dengan urusan bagi-bagi tampouk (jabatan/kekuasaan) dan tumpouk (harta kekayaan) yang istilah kerennya disebut mutual simbiosis, agar semua kebagian. Tetapi jangan pula kita rakyat yang jadi korban politik batil itu.
Saya yakin semua rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh apapun agama, etnis dan sukunya sadar betul bahwa Aceh ini milik semua, bukan milik pribadi dan kelompok sehingga bisa berbuat semaunya. Dengan kesadaran seperti ini, sejatinya rakyat tidak boleh diam, apalagi lagee biri dikap le asee (seperti biri-biri digigit anjing), pasrah dan rela menjadi korbannya. Dan sejatinya pula para ulul albab, terutama elemen masyarkat yang menyebut dirinya aktifis, humanis, pro rakyat dan sebagainya, sesuai kemampuan, maqam dan cara masing-masing bangkit dan tampil meluruskan keinginan dan perilaku siapun yang melanggar kontitusi negara yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan rakyat banyak. Termasuk Lembaga Wali Nanggroe ilegal/ liar, usulan liar dan kesepakatan liar itu. Kiranya Mendagri juga mengabaikan dan tidak menyetujui segala hal yang berkaitan dengannya.
Wassalam
Mantan Anggota DPR-RI *