Lhokseumawe | Lintas Gayo – Tanggal 10 Desember 2013 merupakan momentum yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) Se-dunia. Genap 65 tahun setelah di diproklamirkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun sungguh miris rasanya jika perlindungan hak asasi manusia di Indonesia belum dapat dikatakan seratus persen terjamin. Baik hak Sipil Politik (SIPOL) maupun Hak Ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB) Seakan-akan Pemerintah Indonesia belum mampu memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Begitu pula di Aceh, sebagai salah satu daerah yang di istimewakan oleh pusat, hingga saat ini penyelesaian kasus Aceh pun seakan-akan “ditelantarkan” oleh elit penguasa negeri ini. Padahal kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh bagaikan memori pahit yang tidak dapat diterima begitu saja oleh masyarakat.
Rentang masa kejahatan kemanusiaan telah terjadi di Aceh sejak tahun 1950-an, yakni sejak periode DI/TII (1953-1963), periode konflik politik 1965 (1965-1970), Pre DOM (1976-1989), DOM (1989-1998), hingga paska DOM (1998-2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Aceh merupakan wilayah dengan tingkat kejahatan kemanusiaan yang sangat intensif, dengan rentang waktu yang panjang dan ruang kejadian yang masih di Indonesia.
Mengingat Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bagi Aceh begitu penting untuk segera diselesaikan di Aceh dikarenakan baik korban maupun keluarga korban hingga saat ini belum mendapatkan rasa keadilan sebagaimana mestinya. Padahal Negara seharusnya To Respect (menghormati), To protect (melindungi) , dan To fulfill (memenuhi hak-hak warganya)
Seharusnya pula Korban Pelanggaran Ham harus mendapatkan hak atas kebenaran (rights to know), hak atas keadilan (rights to justice), Hak atas pemulihan (rights to reparation) : kompensasi, restitusi, rehabilitasi, kepuasan, jaminan tidak berulang (Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation).
Kepentingan-kepentingan tersebut tidak hanya menjawab hak korban pelanggaran HAM ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan Aceh dengan menghentikan siklus kekerasan, konflik dan kejahatan serta memastikan bahwa praktik-praktik ini tidak akan terjadi lagi di bumi Serambi Mekkah.
Berdasarkan hal di atas, maka kami dari Gerakan Mahasiswa Peduli HAM (GEREMPHAM) dengan ini menyatakan :
Kami mendesak Pemerintah RI memberikan hak yang layak baik hak sipil politik (SIPOL) dan Hak Ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB) DI Indonesia sebagaimana yang tertuang di dalam UUD 1945;
- Kami mendesak Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh untuk serius menyelesaikan dan memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat di Aceh;
- Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk menghilangkan semua kepentingan politis terhadap pembentukan qanun Komisi Kebenaran Dan Rekonsilisasi (KKR);
Kami mendesak Pemerintah Aceh kedepan agar dapat menindaklajuti dengan tegas terhadap para pelaku pelanggaran HAM tanpa memandang siapa pelakunya. (Ril)