Banda Aceh | Lintas Gayo – Mengacu pada artikel berita yang dimuat di harian Serambi Indonesia edisi Jumat, 21 Maret 2014 dalam kolom Serambi Tengah, disebutkan bahwa “Kepala BPBD Dituntut 6 Bulan: Kasus Perambahan TNGL di Agara”. Menanggapi berita tersebut, Mirna Asnur, S. Sos Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh menilai bahwa terdapat beberapa kelemahan tindak hukum pidana terkait pelanggaran terhadap UU. No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelemahan tersebut antara lain “terlalu ringannya” tuntutan terhadap 2 dari 3 terdakwa, yaitu denda yang hanya sebesar 3 juta rupiah dan subsidair 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun penjara.
Kedua terdakwa yang telah dijatuhi tuntutan oleh Kejari Kutacane tersebut, yaitu Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tenggara (Agara), Radjadun, S. Sos, dan anggota DPRK Aceh dari PKS, Rahmad Hidayat, terbukti melanggar hukum dengan menguasai lahan yang dilindungi negara di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ringannya hukuman terhadap tindak perusakan lingkungan tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan hukum sesuai UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah diperbaharui beberapa pasalnya dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dianggap tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi; sehingga beberapa pasalnya mengalami perubahan dalam Pasal 112 UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H, yaitu:
Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan … dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka kasus perambahan TNGL di Agara oleh beberapa oknum pejabat ini tergolong tindak kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu; 1) Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan; 2) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan; serta 3) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang.
Oleh karena itu, mengacu pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 tentang P3H, maka:
- Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danau;
b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
c. 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;
d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
(Pasal 50 ayat (3) huruf c) Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Sedangkan efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.-
2. Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25); dan/atau merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan (Pasal 26).
Sengaja: Pidana penjara minimal 1 tahun Maksimal 3 tahun serta denda minimal 200 juta rupiah maksimal 1,5 Milyar (Pasal 97 (1)).
Lalai: Pidana penjara minimal 1 tahun maksimal 3 tahun serta denda minimal Rp. 200 juta maksimal Rp. 1,5 milyar (Pasal 97 (2)).
Bila pelakunya pejabat, maka Pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok (Pasal 107).
Oleh karena itu, menurut WALHI Aceh, tuntutan hukum atas tindak perusakan lingkungan ini terlalu ringan dan dipandang perlu untuk dikaji ulang. Hal ini menjadi perhatian agar tidak terulang lagi kasus serupa di masa yang akan datang. (PR)