DANAU Laut Tawar, Aceh Tengah, kini bukan saja dihuni species aslinya berupa depik (rasbora tawarensis) maupun ikan mujahir, nila, bawal dan ragam jenis lainnya. Namun ternyata, ada potensi baru di dalamnya, berupa udang lopster yang mulai berkembang biak di sana.
Belum diketahui secara resmi sejak kapan lopster ini mendiami danau kebanggaan rakyat Gayo ini. Namun keberadaannya kian menggeliat. Sebagian pedagang maupun nelayan mulai menjadikan bahan kuliner satu ini untuk mengais rezeki tambahan.
“Mengumpulkan lopster cukup menyita waktu, lantaran didapat hanya satu per satu saja, sembari mencari ikan di danau. Namun tingginya nilai jual, membuat kami tertarik untuk memeliharanya. Kemudian setelah kira-kira cukup banyak, baru dijual. Pedagang membelinya, Rp60.000-Rp100.000 per kilogram, tergantung besar kecilnya,” papar Aman Selvi dalam perbincangannya dengan Waspada baru-baru ini di keramba apung miliknya di One-One, Lut Tawar.
Bila rutin ‘melaut’, ada saja lopster terjaring jala. Bahkan, adakalanya terperangkap dalam jebakan udang kecil (umpan untuk pancing) yang dibuat khusus oleh para nelayan. “Untuk menjebak udang biasanya kami memasukan dedak (bekatul) yang dibalut kain dalam alat perangkap. Meski tak setiap saat lobster ditemukan, tapi kalau udang kecilnya ada saja dibawa pulang,” ucapnya.
Terpisah, Latimin, 43, seorang pedagang ikan yang mangkal di sisi jembatan Tan Saril, Kec. Bebesen mengatakan, tingginya minat konsumen, membuat dirinya kerap berburu lopster ke lokasi keramba penjual udang di seputar danau. Malah sebagian nelayan sudah jadi langganan tetapnya sebagai pemasok utama bahan baku.
“Dari para pencari udang, sekurangnya saya mampu mengumpulkan lopster sebanyak 5 kilogram per pekan. Udang besar ini saya jual kembali seharga Rp150.000 per kilonya. Namun, ada juga yang membeli eceran dengan harga jualnya Rp10.000-Rp15.000 per ekornya,” ungkapnya.
Meski lopster baru muncul mewarnai pangsa pasar di sana, namun animo konsumen cukup tinggi memburu lezatnya daging udang ini. Dalam sehari ada saja yang membelinya, meski tidak dalam jumlah banyak.
“Untungnya lumayan. Namun resikonya, kalau tidak laku. Biasanya, lopsternya mati. Padahal sudah dibantu oksigen tambahan dalam wadah yang disiapkan,” kata Latimin.
Selain lopster, ikan nila dan bawal, di lapak pedagang satu ini juga tersedia bahan kuliner tradisonal yang dijualnya dengan harga bervariasi seperti; belut Rp75.000 per kilogram, dan ketor (sejenis siput) Rp60.000 per kilo.
Danau Lut Tawar yang berada di wilayah tengah Provinsi Aceh ini, ternyata tidak hanya megah karena keindahan pesona alamnya. Namun, ada potensi besar terkandung di dalam kejernihan airnya. Penghuninya, bukan hanya depik dan jenis ikan tawar lainnya, tapi ada species baru berupa lopster yang mulai ‘betah’ beranak pinak. Di mana kini, keberadaannya ssudah mulai menjadi tumpuan sebagian masyarakat tuk penopang ekonomis hidup keluarganya.(Irwandi MN/ Waspada Edisi 1 Oktober 2014)