Oleh :Muhamad Hamka
Ir. H. Nasaruddin, MM boleh jadi sebagai bupati yang melekat kuat dalam ingatan kolektif warga masyarakat Aceh Tengah. Menjadi bupati selama dua periode, 2007–2012 dan periode 2012–hingga sekarang, ditambah dengan menjadi PJ. Bupati selama satu tahun (2004–2005) menjadikan Nasaruddin sebagai bupati terlama di Kabupaten Aceh Tengah. Sehingga pemosisian “rezim“ pada judul diatas diletakan dalam konteks lamanya kekuasaan mantan Sekda Aceh Tengah ini.
Tulisan ini hadir sebagai catatan reflektif–meminjam anggitan filsuf Athena, Socrates–bahwa hidup yang tak pernah direfleksikan adalah hidup yang tak patut dijalani. Sehingga tulisan ini hadir dalam konteks itu. Dimana dalam jangka waktu delapan tahun menjadi pemimpin Aceh Tengah, sudah barang tentu banyak capaian penting yang berhasil diwujudkan/dihadirkan oleh Bupati yang biasa disapa Pak Nas ini. Sehingga artikel singkat ini hadir sebagai catatan reflektif, dengan harapan sebagai pengendorse (pendorong), agar capaian-capain penting tersebut semakin meningkat di dua tahun sisa kepemimpinan Pak Nas.
Salah satu capaian penting “rezim” Nasaruddin adalah keberhasilan memperoleh empat kali berturut-turut opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan dari BPK RI. Kabupaten Aceh Tengah memperoleh opini WTP dari tahun 2008–2011. Tentunya, prestasi gemilang ini patut kita apresiasi. Bahwa selama kepemimpinan Ir. Nasaruddin, proses pengelolaan keuangan daerah ini berjalan dengan sangat baik. Namun pertanyaan pentingnya sekarang adalah apakah keberhasilan meraih opini WTP selama empat tahun berturut-turut tersebut punya korelasi yang positif dengan realitas dilapangan.
Untuk di ketahui, Aceh Tengah tidak sepi-sepi amat dari kasus korupsi. Dan yang paling “membatu” dalam memori kolektif masayarakat Aceh Tengah adalah kasus korupsi pengadaan bibit sapi Peternakan Terpadu Ketapang, Kecamatan Linge, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1, 4 miliar. Korupsi bibit sapi ini menjadi catatan krusial, disamping jumlah kerugian uang negara yang fantastis, juga telah menghantar salah seorang Kepala SKPD “rezim” Nasaruddin “menikmati” hotel prodeo. Kasus Ketapang ini menjadi catatan penting bagi kita, bahwa prestasi Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang dikeluarkan oleh BPK tidak menjadi tolak ukur bahwa suatu daerah bebas dari praktik garong (korupsi) uang negara.
Lewat tulisan ini, Saya juga hendak “curhat” sama Bupati Nasaruddin. Beberapa waktu yang lalu Saya menulis di sebuah media online www.lintasgayo.co soal Pot Bunga di sepanjang Trotoar Kampung Paya Tumpi. Namun hingga hari ini, pot-pot bunga tersebut masih berjejer di sepanjang trotoar. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah pihak yang bertanggung jawab (kabarnya Dinas Kebersihan dan Pertamanan) terhadap pot-pot bunga tersebut tidak membaca atau mendengar keluhan warga Paya Tumpi. Atau memang sengaja berbuat suka-suka, atau boleh jadi akal sehatnya sudah tidak bekerja dengan baik.
Untuk diketahui oleh Bapak Bupati, keberadaan pot bunga tersebut telah melecehkan hak pejalan kaki. Dan hak tersebut sudah diatur oleh Undang-undang, untuk jelasnya baca UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Di samping itu, keberadaan pot-pot tersebut sangat merugikan anak sekolah SD Negeri 3 Kebayakan yang tak bisa lagi menggunakan trotoar tersebut. Begitu juga dengan pejalan kaki yang hendak menjalankan ibadah sholat Jumat, tak bisa menggunakan trotoar sehingga harus menggunakan pinggiran aspal.
Padahal jalan ini dua jalur, artinya kecepatan kendaraan sangat tinggi dilintasan ini karena hanya satu arah. Lewat tulisan ini juga Saya minta para wakil rakyat (DPRK) yang sungguh terhormat itu, wabilkhusus dari Daerah Pemiilihan Kecamatan Kebayakan agar bisa meminta penjelasan dari pihak yang bertanggung jawab.
UGP
Salah satu soal penting yang juga mesti di perhatikan oleh Bupati Nasaruddin adalah soal pembangunan pusat studi (riset) kopi. Pusat studi kopi ini menjadi sangat fundamental karena berhubungan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat Aceh Tengah yang mana hampir 90 persen menggantungkan hidupnya pada kopi. Tentunya, ketika kita berbicara tentang pusat riset kopi, maka mutlak kita berbicara universitas sebagai tempat menggodok dan mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal.
Hal ini tidak menjadi sulit, karena Aceh Tengah sudah memiliki kampus yang menjadi terminal harapan seluruh masyarakat Aceh Tengah dan Gayo secara luas. Namun disinilah mulai muncul problem. Universitas Gajah Putih (UGP) yang menjadi kampus kebanggaan masyarakat Gayo justru kehilangan gairah intelektual, “hidup enggan, matipun segan”. Kondisi ini tentunya sangat merisaukan. Di sukai atau tidak, tanggung jawab utama untuk membawa UGP sebagai pusat “peradaban Gayo” berada di pundak pemerintah Kabupaten Aceh Tengah.
Untuk itu, Ir. Nasaruddin sebagai Bupati harus mengambil langkah yang luar biasa untuk menyelamatkan UGP. Di samping kemauan politik (political will) yang kuat, pengorbanan political (political sacrifice) juga menjadi sangat penting. Persoalan yang kerap mengguncang “tubuh” UGP acapkali oleh karena ada “aroma” politik yang menyelinap dalam jantung UGP. Sehingga jangan heran kalau proses penegerian Universitas Gajah Putih hanya menjadi mimpi yang utopis. Sementara itu political will yang kuat sangat dibutuhkan, sehingga pembangunan infrastruktur kampus akan menemukan jalan keluar yang solutif. Dan sekali lagi, semuanya berpulang pada kebajikan sosial dan politik Bupati Aceh Tengah. Bahkan salah seorang tokoh Gayo di Eropa menyentil dengan sangat keras perihal eksistensi UGP ini. Yusra Habib Abdul Gani dalam status Facebooknya menunjukan kegusaranya. Beliau menulis “jika UGP benar tersingkir, maka demi harga diri orang Gayo, penguasa Aceh Tengah mesti diapkir dan diusir”.
Oleh karena itu, proses restorasi UGP–meminjam slogan yang acapkali digaungkan oleh Surya “Brewok” Palloh–harus segera ditabuh. Dengan catatan Bupati Nasaruddin harus berdiri di shaf paling depan. Singkirkan semua anasir dan interest politik, mari bergandeng tangan dengan langkah dan pikiran yang sama demi terangnya peradaban Gayo.
Pemerhati Masalah Sosial & Politik