Oleh: Hermansyah Kahir*
Kini industri perbankan syariah kita sudah berusia lebih dari 20 tahun dan sudah menunjukkan ketahanannya dalam menghadapi krisis moneter yang terjadi pada 1998 dan 2008 lalu. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sudah memberikan angin segar bagi mereka yang ingin menabung sesuai dengan ketentuan syariah. Setelah beroperasinya Bank Muamalat pada 1992 sebagai bank pertama berbasis syariah, kini perbankan syariah terus mengalami kemajuan signifikan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2015, market share bank syariah baru berkisar 5% dari total aset bank secara nasional. Hingga Oktober 2014, jumlah industri Bank Umum Syariah (BUS) tercatat sebanyak 12 bank, jumlah Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 22 bank, BPRS sebanyak 163 bank, dan jaringan kantor sebanyak 2.950. Adapun total aset khusus BUS dan UUS adalah Rp 260,366 triliun, pembiayaan Rp 196,491 triliun, dan penghimpunan DPK perbankan syariah sebesar Rp 207,121 triliun.
Sayangnya, meskipun sudah lebih 20 tahun berkontribusi bagi perekonomian bangsa, pangsa pasar perbankan syariah masih berada dikisaran 5 persen. Sebagai perbandingan, pangsa pasar perbankan syariah Malaysia hingga saat ini sudah mencapai angka 20 persen. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim semestinya Indonesia bisa melebihi Malaysia dan menjadi global player. Dengan berbagai potensi yang dimiliki bangsa ini, tidak seharusnya kita pesimis untuk berkompetisi dengan negara-negara lain—yang telah berlari cepat mendahului kita. Justru disinilah momentum bagi Indonesia untuk tetap optimis mengejar pangsa pasar dengan cara mengelola semua potensi secara maksimal.
Strategi ke depan
Melihat realitas di lapangan perlu adanya gebrakan dari berbagai pihak untuk memaksimalkan potensi yang ada dengan program nyata. Setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar (market share) perbankan syariah.
Pertama, komitmen pemerintah. Dalam pengembangan perbankan syariah pemerintah tidak bisa lepas tangan. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar industri perbankan syariah negeri ini pertumbuhannya semakin cepat dan tidak stagnan. Indonesia perlu mencontoh Malaysia—di mana intervensi pemerintah di sana cukup besar. Berkat dukungan pemerintah, kini Malaysia cukup diperhitungkan dalam percaturan keuangan syariah di tingkat global.
Karena itu, kita menaruh harapan yang sangat besar kepeda pemerintahan Jokowi Dodo dan Jusuf Kalla untuk lebih serius membangun dan memajukan industri perbankan syariah ke depan. Komitmen tersebut bukan hanya sekadar retorika saja, tetapi harus diikuti dengan langkah nyata. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendirikan bank syariah BUMN dan memperkuat permodalan—terutama bagi bank syariah yang modalnya masih minim. Pendirian bank syariah BUMN bisa dilakukan dengan cara mendirikan bank baru BUMN syariah atau dengan mengkonversi bank BUMN menjadi bank syariah.
Kedua, perbaikan kualitas SDM. Masa depan industri perbankan syariah sangat bergantung pada pemenuhan SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas. Fakta di lapangan menyebutkan, setiap tahunnya industri perbankan syariah membutuhkan SDM kurang lebih 11.000 sementara lembaga pendidikan saat ini hanya mampu memasok SDM sekitar 3.750 per tahun. Di sini terjadi ketimpangan antara permintaan pasar dengan SDM yang tersedia.
Akhirnya, untuk memenuhi SDM sebesar 11.000 itu dilakukan secara instan dengan cara memberikan pelatihan singkat kepada SDM konvensional dan kemudian disalurkan ke industri perbankan syariah. Untuk mencetak SDM yang berkualitas tentu diperlukan dukungan dari dunia pendidikan untuk membuka lebih banyak lagi program atau jurusan ekonomi dan perbankan syariah sehingga ketimpangan SDM ini dapat teratasi.
Ketiga, meningkatkan pelayanan. Pelayanan prima perbankan syariah perlu ditingkatkan lagi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat luas sehingga pada gilirannya mampu memengaruhi masyarakat lain untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Layanan prima (service excellence) ini dapat dilakukan dengan menyediakan lebih banyak lagi layanan ATM, internet banking, dan memperluas jaringan kantor sehingga dapat dijangkau masyarakat dengan mudah.
Keempat, sosialisasi dan edukasi. Keengganan masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah salah satu penyebabnya adalah karena minimnya pengetahuan mereka tentang keuangan syariah. Untuk meningkatkan pengetahuan tersebut, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi secara maksimal dan berkesinambungan. Hal demikian senada dengan pendapat Ketua OJK Muliaman D Hadad ketika memberikan pengantar buku Dua Dekade Keuangan Syariah, karya Anif Punto Utomo dkk. Menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih gencar dan dilakukan terus-menerus agar awareness masyarakat terbangun secara kuat.
Banyak pihak yang bisa berperan dalam program ini. Misalnya, melibatkan ulama dan pesantrennya, organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulma (NU)-Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi yang concern mempromosikan ekonomi syariah seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Forum Silaturrahmi Studi Ekonomi Islam (Fossei). Keterlibatan ulama’, pesantren dan berbagai organisasi dalam memperkenalkan ekonomi syariah kepada masyarakat menjadi sebuah keharusan guna mendorong perkembangan ekonomi syariah agar menjadi lebih besar.
Dengan demikian, apabila langkah ini dapat dilakukan dengan baik, maka penulis optimis pangsa pasar perbankan syariah Indonesia akan unggul dan mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Pada akhirnya, mimpi menjadi global player di industri keuangan syariah segera terwujud.