Oleh: Hermansyah Kahir*
Beberapa waktu lalu ada 18 Kampus di Jabodetabek dan Kupang, NTT, yang dilaporkan ke Kemenristek Dikti dengan dugaan jual beli ijazah palsu. Praktik ini sudah berlangsung selama lima tahun terakhir (www.detik.com, 20/05/2015).
Kasus jual beli ijazah itu telah membuka memori kolektif kita terhadap kasus serupa yang terjadi pada 2014. Ketika itu Universitas Negeri Makassar (UNM) menemukan 11 ijazah palsu dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Setelah Tim UNM melakukan verifikasi, kesebelas pemilik ijazah tersebut tidak teregistrasi secara adminstrasi di perguruan tinggi tempat mereka belajar selama ini.
Peredaran ijazah palsu bukanlah hal yang baru di negeri ini. Praktik ini sudah berlangsung cukup lama. Bahkan iklan perguruan tinggi yang menyediakan jual beli ijazah kerap menghiasi beberapa media baik media cetak maupun online. Tentu promosi ini banyak disambut antusias oleh kalangan yang ingin memperoleh gelar S1, S2, dan S3 dengan cara yang instan. Dan tidak sedikit kepala daerah dan pejabat yang menempuh jalan pintas ini demi mendongkrak popularitasnya.
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang dengan mudah diperjualbelikan dengan harga tertentu. Praktik ini sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Bukan hanya itu, untuk jangka panjang jual beli ijazah akan merusak mental dan moral masyarakat kita dan pada gilirannya akan merusak karakter bangsa. Penulis pribadi pernah ditawari gelar sarjana dari perguruan tinggi swasta di Jakarta dengan harga Rp 10 juta. Dengan sejumlah uang tersebut siapa pun bisa dengan mudah menyandang gelar sarjana tanpa harus repot-repot kuliah dan tentu sesuai dengan jurusan yang diinginkan.
Tingginya permintaan (demand) untuk memperoleh gelar akademik dengan jalan pintas dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pihak perguruan tinggi tertentu sebagai peluang bisnis yang dapat mendatangkan pundi-pundi uang. Oleh karena itu, terkuaknya praktik perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah palsu mesti menjadi pintu masuk untuk mengungkap lembaga pendidikan tinggi lain—yang melakukan praktik serupa. Sebab kalau hal ini dibiarkan begitu saja akan sangat berbahaya bagi masa depan pendidikan kita.
Sarjana Miskin Kompetensi
Adanya laporan terkait kasus ijazah palsu beberapa waktu lalu semakin memperkuat betapa carut marutnya persoalan pendidikan di republik ini. Alih-alih malahirkan SDM yang berkualitas, yang ada justru adalah SDM yang tak bermoral dan miskin kompetensi. Dalam hal ini pendidikan kita mengalami kegagalan dalam melahirkan individu-individu yang berkualitas secara intelektual.
Ahmad Baedowi, dkk dalam karyanya Potret Pendidikan Kita (2015) menyatakan bahwa pendidikan Indonesia telah gagal melahirkan SDM yang memiliki daya saing kuat dan tangguh untuk bisa bersaing dalam komunitas global.
Pendidikan merupakan proses transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Penguasaan terhadap ilmu tidak bisa dilakukan secara instan dengan membeli selembar ijazah, melainkan harus melalui tahapan dan standarisasi yang telah ditentukan pemerintah. Gelar sarjana tidak lagi menjadi penentu komptentensi seseorang, tetapi hanya simbol dan formalitas belaka. Karena para pembeli ijazah terlahir melalui proses yang tidak wajar dan dibesarkan di lingkungan akademik gadungan yang menggadaikan intelektualitasnya demi kepentingan bisnis.
Sangat tidak masuk akal ketika seseorang hanya satu tahun kuliah atau bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di kampus, namun mendapatkan gelar S1, S2, dan S3 sebagai simbol akademik. Bagaimana mungkin proses instan ini mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing dalam kompetisi global.
Terkait persoalan kualitas pendidikan, baru-baru ini Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melakukan survei tentang kualitas pendidikan di dunia dan OECD menempatkan Indonesia di urutan 69 kalah dibandingkan Thailand dan Malaysia yang masing-masing berada di posisi 47 dan 52. Sementara Singapura dinobatkan menjadi negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia.
Persoalan jual beli ijazah harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Kemenristek harus berani menindak tegas para pembeli dan penjual ijazah palsu. Perguruan tinggi yang terbukti melakukan praktik jual beli ijazah harus ditutup dan jika memiliki izin maka izin tersebut harus dicabut. Selain itu, aparat kepolisian juga harus menindak sesuai proses hukum yang berlaku. Langkah ini sangat penting sebagai upaya untuk membendung pembusukan intelektual melalui jual beli ijazah palsu. Masyarakat jangan mudah tertipu dengan sederet gelar yang disandang seseorang. Sebab, gelar akademik tidak selalu merepresentasikan kepribadian dan keintelektualan seseorang.
Dengan demikian pendidikan di negeri ini tidak tercoreng oleh segelintir oknum yang dengan sengaja memperjualbeilikan ijazah. Seluruh komponen bangsa harus bersama-sama mengembalikan tujuan pendidikan pada jalur yang benar, yaitu untuk mencetak pribadi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Semua ini tidak dapat dicapai dengan proses instan, tetapi harus melaui proses panjang dan berkesinambungan.
Penulis : alumnus Islamic Center Wadi Mubarok, Bogor